Oleh: Sidik Pramono
Tetes air di daun bunga kamboja depan rumah masih berjatuhan setelah diguyur hujan lebat sejak matahari mulai tergelincir ke barat. Langit masih kelabu ketika itu. Semua komponen biotik maupun abiotik setelah disiram banyaknya banyu langit seakan dengan senang hati membagikan rasa sejuk cenderung dingin kepada diriku dan bapak ketika duduk di kursi panjang teras rumah kami yang terletak di pelosok timur Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Hawa dingin yang mengantar kedatangan malam saat itu, seakan tidak ingin mengalah dengan kehangatan yang kami bangun melalui dialek. Tentu momen seperti itu merupakan sebuah kemewahan bagiku ketika kembali ke kampung halaman. Ketika itu pertanyaan serta jawaban mengalir cukup deras seperti hujan sebelum kami duduk di tempat yang sama.
Bagiku bapak memang representasi kata ‘bapak’ dalam kerata basa Jawa yang berarti bab apa-apa pepak. Aku kira, itu tidak sepenuhnya salah. Pada momen tersebut, aku sedang kepo dengan hal-hal Kejawen. Tentu pertanyaan tentang Kejawen ini dilatarbelakangi oleh perasaan diriku yang merasa sudah mulai jauh dan tidak mengetahui substansi dari tradisi, budaya atau ritual dari leluhurku.
Obrolan aku buka dengan menanyakan sajen (red: sesaji) itu sebenarnya untuk apa? Kebetulan ketika itu pada 1 Ramadhan 1443 H, di rumah terdapat sajen yang sudah ditata sedemikian rupa oleh ibu dan kakak sejak sore. Sekerdar informasi, sesaji yang ada di desaku biasanya dibuat pada momen tertentu seperti 1 Ramadhan (yang biasa disebut mapak tanggal), dan 1 Syawal.
Sebenarnya pertanyaanku di atas bukan didasarkan pada kebencian atau mencari pembenaran jika sesaji itu adalah syirik sebagaimana beberapa orang menilai demikian. Sebaliknya, intuisi di dalam diriku mengatakan jika sebenarnya sesaji tidak syirik namun aku lebih mencari legitimasi dari asumsi pribadiku dengan cara mencari substansi dan makna lain dari keberadaan sesaji itu.
Bapak ialah salah seorang dari masyarakat yang masih nguri-nguri adat-sesaji-di desa. Tak menunggu waktu lama, bapak memberikan jawabannya. “Sajen ki tinggalane mbah-mbah mbiyen. simbah-simbah biyen pas meh kirim duo iku gunakne piranti. Iku lantaran kanggo kunjuk dungo maring Gusti,” tutur bapak. [“Sesaji sebenarnya peninggalan dari leluhur dahulu. Para leluhur dulu ketika hendak mengirimkan doa menggunakan sarana. Sarana ini menjadi jalan menghaturkan doa terhadap Tuhan,”].
Sesaji bisa diartikan sebagai uluk salam (simbol penghormatan). Atau juga bisa dimaknai sebagai doa bisu. Alih-alih dilantunkan dengan suara, doa bisu yang diungkapkan/dimanifestasikan pada hal-hal yang mewujud. (A.W, 2022)
Obrolan dengan bapak sempat terpotong ketika salah seorang tetangga berjalan di samping rumah untuk membeli makan guna berbuka puasa. Pasca bertegur sapa obrolan kembali berlanjut. Kata bapak, sesaji–yang dibuat pada 1 Ramadhan dan 1 Syawal–ini juga bentuk sedekah dari orang yang sudah meninggal tapi kita yang membuatnya. Saat saya tanya kenapa bisa begitu? “Pada akhirnya apa yang tersaji pada sesaji akan kita makan sendiri,” ungkap beliau.
Kata bapak, sesaji bukan sebuah praktek kesyirikan. “Karena pada saat membuat (seperti menyembelih ayam) hingga selesai ditata dan dipasrahne [baca: didoakan] semuanya dengan menyebut nama Allah SWT dan hanya meminta kepada-Nya bukan untuk selain-Nya,” demikianlah kira-kira penjelasan bapak.
*****
Ketika waktu menjelang berbuka puasa semakin dekat, hujan kembali turun dengan derasnya. Bersamaan dengan suara air yang menghantam asbes rumah, beliau membagikan keprihatinan tentang keadaan di desa kami yang tidak jauh dengan sesaji. “Sak iki sing gelem nggawe sajen iku wis akeh sing kelong. Ora koyo mbiyen,” papar bapak. “Pancene bener kui, wong enom sing wis omah-omah dewe biasane ora gawe sajen,” timpal ibu–tanpa ada niat untuk menghakimi– yang duduk di sampingku.
Perkataan bapak dan dibenarkan oleh ibu tentang mulai banyak yang tidak membuat sesaji di rumah ketika datang bulan Ramadhan dan bulan Syawal aku amini. Pasalnya saat berjumpa dengan tetangga yang usia relative lebih muda dari orang tuaku banyak yang bercerita atau mengatakan kalau dirinya tidak lagi membuat sesaji.
Mencermati cerita yang disampaikan oleh bapak serta ibu tentang keadaan di desa, saya mencermati jika ada sedang terjadi sesuatu yang disebut oleh sosiolog Pitirim A. Sorokin dalam bukunya Social and Cultural Dynamics, sebagai perubahan sosiokultural (Rohimah et al., 2019).
Ada banyak sosiolog yang mengemukakan teori tentang perubahan sosiokultural seperti PB Horton, CL Hunt, Pitirim Sorokin, William F. Ogburn, James M. Henslin, dan masih banyak lagi (Djazifah, 2012).
Pada suatu kesempatan, saya berbincang dengan generasi yang lebih muda dibandingkan dengan orang tua saya. Inti perbincangan tersebut ialah tidak ingin disusahkan oleh segala kerepotan ketika menyiapkan segala uba-rampe dalam sesaji. Kian kemarin gaya hidup pragmatis mengalami penguatan pada generasi di bawah orang tua saya. Menguatnya pragmatisme dipengaruhi juga oleh kemajuan teknologi yang mulai masuk ke hingga daerah-daerah (Ngafifi, 2014).
Kondisi tersebut menurut William Fleding Ogburn disebut sebagai cultural lag atau (ketertinggalan budaya). Bagi Ogburn, kemajuan benda-benda (budaya materi) lebih cepat dibandingkan sistem atau struktur sosial (budaya non materi). Perbedaan tersebutlah yang membuat kacau keseimbangan dalam masyarakat (Djazifah, 2012).
Sebagai misal dalam kasus yang terjadi di desa saya, kemajuan teknologi jauh lebih cepat dibandingkan struktur sosial di masyarakat. Mengacu pendapat Ogburn situasi ini akan mempengaruhi struktur sosial masyarakat yang pada akhirnya miulai meninggalkan sesaji.
Di sisi lain generasi yang lebih muda dari orang tua saya juga terdapat anggapan daripada pengeluaran digunakan untuk menyiapkan sesaji, akan lebih baik jika dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal tersebut bersesuaian dengan functionalist theory (Teori Fungsionalis) dalam perubahan sosial yang salah satu tokohnya adalah Ogburn. Dalam teori fungsionalis dikenal premis, jika perubahan yang dinilai memiliki kebermanfaatan akan diterima dan yang tidak berguna akan ditolak masyarakat.
Ketika tradisi, kebudayaan dan sosiokultural di desa saya berjalan lebih lambat dibanding teknologi, maka, jurang cultural lag akan semakin lebar. Tentu, besar kemungkinan jika sesaji yang seringkali saya lihat sedari kecil akan tinggal nama dan cerita saja tanpa dapat ditemukan kembali.
*****
Pada akhirnya, obrolan saya dan orang tua berakhir tatkala rintik hujan mulai berhenti membasahi bumi dengan dibarengi terdengarnya kumandang adzan maghrib dari toa masjid sebagai tanda telah masuk waktu berbuka puasa pertama di Ramadhan 1443 H.