Oleh: Tedi Kholiludin
“Ini fotoku waktu di Mekkah kemarin, mas” ujarnya sembari menunjuk dua buah foto. Pada gambar yang warnanya sudah agak kabur itu terlihat seorang laki-laki berbadan agak tambun sedang mencium Ka’bah. Kanan kirinya bergerombol jamaah haji yang juga ingin melakukan hal yang sama. “Aku haji tahun 2019, mas” tambahnya lagi memberi informasi.
Dua foto tersebut bertumpuk dengan foto-foto lain yang dipajang di tembok sebuah kamar. Dua foto itu terlihat beda dengan yang lain, karena, selain dua itu, semuanya adalah foto anak-anak. Wajar, karena tempat dimana saya dan laki-laki tersebut bersua adalah panti asuhan bagi anak-anak.
Namanya Puger Mulyono. Ia adalah bapak bagi kurang lebih 50-an anak-anak yang ada disana. Laki-laki kelahiran 20 Juli 1974 itu dengan hangat menyambut saya serta dua orang teman dari ELSA yang turut menyambangi panti. Sesaat setelah bercakap-cakap di ruang depan, Puger mengajak saya menyisir jengkal demi jengkal ruangan dimana anak-anak dari seluruh wilayah nusantara itu tinggal bersama. Langkah kami hentikan tatkala pandangan saya fokuskan dimana ada gambar Puger yang sedang mencium Ka’bah tadi.
Puger sesaat masuk ke ruangan sempit yang berisi persediaan logistik untuk anak-anak; beras, minyak goreng, susu, dan sebagainya. Tak lama di ruangan, ia kembali menemui kami yang sedang khusyu menyaksikan polah 7 orang anak-anak yang sedang bermain di taman depan panti. Di tangan kanannya, ada kertas lima lembar yang beberapa diantaranya sudah terlipat.
“Ini, anak-anak semua ta masukkan KK (Kartu Keluarga, red) semua,” ujarnya menyodorkan kertas fotokopi Kartu Keluarga kepada saya. “Yang asli sudah gak pernah aku ambil. Ada di Dinas Kependudukan,” imbuhnya. Maksudnya, ia memilih membiarkan Kartu Keluarga yang asli di dinas, karena akan selalu ada penambahan dalam waktu dekat. Saya membolak-balikan lima kertas yang penuh dengan deretan nama. Semua anak-anak yang tinggal di panti ada di Kartu Keluarga Puger. “Besok ke Dinas (Kependudukan) lagi, nambah tiga orang,” terangnya.
Kamis (14/04) kemarin merupakan silaturahmi yang kedua saya ke panti asuhan yang ada di Kawasan Taman Makam Kusuma Bhakti Surakarta, Jawa Tengah Pada Maret 2021 lalu, saya bersua dengan Yunus Prasetyo. Puger dan Yunus adalah karib yang sama-sama memiliki kepedulian pada anak-anak yang terinfeksi HIV. Mereka berdua (bersama Kefas Lumatefa) kemudian mendirikan Yayasan Lentera sebagai wadah bagi anak-anak tersebut.
Cerita tentang heroiknya perjuangan Puger, Yunus bersama Yayasan Lentera telah banyak ia utarakan dan ditulis berbagai media. Keputusannya untuk merawat anak-anak yang terinfeksi HIV (yang orangtuanya meninggal), tidak serta merta mendapat dukungan. Berkali-kali ia ditolak warga dari rumah kontrakan yang dijadikan sebagai tempat tinggal anak-anak malang tersebut. Hingga kemudian, salah satu televisi swasta mengundangnya untuk berbincang-bincang. Itulah jalan Tuhan. Banyak para dermawan yang terketuk hatinya. Pemerintah Kota Surakarta menyediakan tanah kurang lebih 400 meter persegi. Donatur dari latar belakang profesi membantu membangunkan rumahnya. Puger kembali menceritakan kepada saya asam manisnya cerita sepuluh tahun lalu itu, hal yang kurang lebih ia sampaikan juga kepada mereka yang ingin tahu jejak yayasan tersebut.
Di tengah obrolan, salah satu pengasuh anak-anak datang mendekat sembari menggendong seorang bayi. Usianya baru tiga bulan. “Keluarganya baru saja menyerahkan ke kami, beberapa hari setelah lahir,” Puger mengisahkan. Kami memandangi serius wajah bayi yang sedang minum susu tersebut sembari membiarkan pikiran berselancar.
Sesekali kami bergantian memegang bayi mungil yang keluarganya berasal dari timur Indonesia. “Namanya, Mario (bukan sebenarnya),” Puger mengenalkan kepada kami. “Njenengan hafal semua nama anak-anak, Mas?” saya bertanya. “Lha dia bapaknya kok mas,” pengasuh yang tengah menggendong Mario mendahului Puger untuk menjawab. Puger tak canggung untuk memanggil anak-anak di panti itu dengan sebutan “anakku.” Mereka menjadi berkat dalam kehidupan Puger dan keluarganya.
***
Tahun 1943, India, khususnya di Benggala, dilanda bencana kelaparan yang hebat. Dunia mengenalnya dengan “Bengal Famine.” Anjezë Gonxhe Bojaxhiu atau Maria Teresa Bojaxhiu (1910-1997), yang lebih dikenal dengan Bunda Teresa, ketika bencana itu terjadi sedang bertugas sebagai guru di sekolah biara Loreto di Entally, sebelah timur Kalkuta dan diangkat sebagai kepala sekolah pada 1944 (Spink, 2011). Peristiwa “Bengal Famine” menggugah nuraninya dan menjadikan hidupnya tak lagi nyaman.
Setelah meminta izin, Bunda Teresa kemudian memilih untuk keluar dari Loreto dan tinggal pada sebuah perkampungan kumuh di Kalkuta. Disana, ia mengajar anak-anak membaca dan menulis, mengobati orang sakit, dan seterusnya. Ia menjadi lebih bersemangat menyapa yang papa setelah didirikannya “the Missionaries of Charity pada 1950. Konggregasi baru ini memantik para perempuan muda tergabung untuk menjadi sukarelawan.
Bunda Teresa sangat mencintai anak-anak, termasuk mereka yang masih menunggu kelahiran. (Sullivan dan Ingpen, 2014). “Bayi yang belum lahir adalah yang termiskin di antara yang miskin. Mereka paling dekat dengan Tuhan kita,” katanya. Dia ingin semua anak dicintai dan diinginkan oleh keluarga mereka. Dia juga percaya bahwa semua orang, lahir dan belum lahir, memiliki hak untuk hidup dan dirawat.
Meski tidak lagi mengajar penuh waktu di sekolah, Ibu Teresa tetap merasa bahwa pendidikan adalah kunci kehidupan yang lebih baik bagi semua anak. Dengan pengetahuan, orang memiliki pilihan; mereka tidak harus miskin.
Peraih Nobel Perdamaian pada 11 Desember 1979 tersebut memimpikan Pendidikan bagi semua anak. Mimpinya itu ia teruskan pada para biarawatinya. Meskipun mereka tidak punya uang untuk membangun gedung sekolah, namun para biarawati membuat papan tulis darurat dengan membersihkan rumput dari kotoran-kotoran. Mereka mengajar anak-anak miskin dengan menulis di tanah dengan tongkat. Tanpa meja, tanpa kursi, tanpa kapur dan tanpa pensil, anak-anak ini agar bisa membaca dan dan menulis.
Sapaan lembutnya juga ditunjukan pada pasien AIDS, yang mulanya belum sepenuhnya diterima oleh gereja. “AIDS comes because of immoral acts… Why is it doing charity work to bring them in?” tanya salah seorang Rohaniwan (Spink, 2011). Bunda Teresa tak bergeming. Kristus, baginya, harus hadir dimanapun, pada siapapun. AIDS, Lepra, Kusta, dan lainnya, harus dilihat sebagai “tanda bahwa Tuhan ingin kita membuka hati dan mengasihi satu sama lain”.
Melihat perjuangan orang-orang yang begitu gigih untuk mengangkat derajat kemanusiaan, mengingatkan saya akan pesan yang dinisbatkan sebagai ucapan Bunda Teresa, “Beberapa orang datang dalam hidup kita sebagai berkat. Beberapa datang dalam hidupmu sebagai pelajaran.”