[Semarang – elsaonline.com] Semua orang pasti merasa terpukul atas kepergian Kiai kharismatik Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz. Kiai panutan semua kalangan yang menjadi Rois Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini pada Jumat (24/1) dini hari pukul 01.05 WIB, wafat pada usia 78 tahun.
Kiai yang akrab disapa Mbah Sahal ini berpulang setelah mengalami sakit beberapa bulan terakhir ini dan sempat dirawat di RSUP Dr Kariadi Semarang. Mbah Sahal meninggal di kediamannya, kompleks Pesantren Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Almarhum dimakamkan di Kompleks Pesantren Mathaliul Falah pada Jumat sekitar pukul 09.00 WIB.
Wafatnya mbah Sahal tentu meninggalkan kenangan bagi semua kalangan. Dalam setiap tindakan, perkataan dan lakunya, Mbah Sahal ini selalu berpedoman pada prinsip ajaran Islam. Hampir tak ada pembicaraan tanpa berpedoman pada referensi khas pesantren .
Dalam menahkodai NU, Mbah Sahal juga dikenal orang selalu konsisten pada aturan Jamiyah NU. Dalam kesederhanaannya, Mbah Sahal selama menjadi pucuk pimpinan di NU selalu setia mengawal acara-acara NU.
“Beliau itu orang yang susah sekali ditemui saat ini. Sekaliber beliau, kalau ada acara-acara NU, selalu mengawal dan memantau hingga acara selesai. Beliau dalam memimpin juga selalu konsisten mengikuti aturan-aturan Jamiyah NU,” Kata Rois Syurian PWNU Jateng KH Ubaidillah Shodaqoh.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini lahir di Pati 17 Desember 1937. Sejak 1963, Kiai Sahal memimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda di Kajen Margoyoso, Pati yang merupakan peninggalan ayahnya, KH Mahfudz Salam.
Dalam sisi keilmuan yang sangat menonjol Mbah Sahal banyak menghasilkan karya-karya fiqh (aturan) seputar kehidupan sosial. Dengan kemasan bahasa yang sangat sederhana, Mbah Sahal menerbitkan buku-buku untuk konsumsi masyarakat yang mudah dimengerti.
“Dalam bidang keilmuan terutama fiqh beliu sangat mahir. Mengakar hingga betul-betul tuntas ketika mengkaji dalam suatu persoalan. Beliu ketika menyikapi suatu persoalan dengan menggunakan kacamata hukum Islam sangat detail. Sehingga masyarakat menjadi betul-betul paham dan merasa ada solusinya,” kata Pengasuh Pesantren Al-Itqon Tologasi Semarang itu.
Semasa hidupnya, mendiang banyak menciptakan karya yang sangat aplikatif dalam kehidupan sosial. Buku “Nuansa Fikih Sosial” adalah salah satu mahakaryanya. Beliau menulis puluhan karya, baik bahasa Indonesia maupun Arab.
Di antaranya kitab Al Faroidlu Al Ajibah (1959), Intifahu Al Wadajaini Fi Munazhorot Ulamai Al Hajain (1959), Faidhu Al Hijai (1962), Ensiklopedi Ijma’ (1985), Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial, dan Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab). [elsa-ol/Ceprudin]