Islam Politik dan Represi Orde Baru

Judul Buku: Menjinakan Islam; Strategi Politik Orde Baru
Penulis: Tabrani Syabirin
Penerbit: TERAS

Peresensi: Mustaqim

Fase orde baru merupakan catatan penting dalam sejarah kalangan Islam politik. Sedari awal, penulis buku ini menegaskan tentang posisi negara terhadap kalangan Islam, yakni menjinakan. Perjalanan Islam politik di Indonesia, sangat dinamis. Ada banyak faktor yang menjelaskan situasi tersebut. Salah satunya fenomena Islam Yes, Partai Islam No yang dideklarasikan oleh Nurcholis Madjid pada tahun 1970-an. Buku berjudul “Menjinakan Islam Strategi Politik Orde Baru” yang ditulis oleh “Tabrani Syabirin” ini menjelaskan tentang bagaimana perjuangan politik Islam untuk Indonesia dan sikap pemerintah terhadapnya.

Salah satu upaya kelompok Islam politik adalah merubah mencoba memasukan tujuh kata seperti yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Ini bisa kita lihat dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dimana UUD 45 sebagai dasar negara Indonesia tidak lahir begitu saja, namun melalui suatu proses yang panjang dan perdebatan-perdebatan yang alot.

Tabrani Syabirin, penulis buku ini menyebut bahwa ada dua kalangan yang diwaspadai di era orde baru; Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berideologikan komunisme dan kelompok Islam yang diduga mempunyai keinginan untuk mendirikan negara Islam seperti yang dilakukan kelompok Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII). Islam politik dianggap menjadi ancaman dan sumber konflik yang dapat mengganggu stabilitas politik.

Pemberontakan yang dilakukan PKI dengan mencoba merebut kekuasaan di Madiun serta memproklamasikan berdirinya “Soviet Republik Indonesia” dan membentuk pemerintah Front Nasional yang jelas-jelas menyalahi dan mengkhianati Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tapi akhirnya TNI bisa merebut Madiun kembali dan menembak mati muso, tokoh-tokoh PKI seperti Amir Sjarifuddin, Suripno, Sardjono, Harjono, dan Djokosujono juga terbunuh. Sedangkan anggota PKI yang berhasil melarikan diri, seperti Abdul Madjid, Alimin, Ngadiman, Hardjosuprapto, D.N. Aidit, Nyoto, Tan Ling Djie, dan Sumarsono.

Baca Juga  Bonhoeffer, Sekularisasi Dan Geografi Kebebasan

Masa orde baru juga begitu phobia dengan komunisme yang dianggap melakukan pemberontakan yang dikenal dengan gerakan 30 (Gestapu) September tahun 1965. Setelah peristiwa Gestapu tersebut pemerintah Indonesia melarang ajaran dan ideologi komunis ada dan berkembang di Indonesia karena dengan jelas ajaran komunis bertentangan dengan Pancasila. Atas dasar pertimbangan itulah keluar TAP MPR XXVI/1966 membubarkan PKI dan melarang menyebarkan paham komunisme.
Negara Islam Indonesia (NII), yang dimotori oleh gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo di Jawa Barat. Di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh, Kahar Muzakkir di Sulawesi Selatan untuk bergabung dengannya dan melantiknya sebagai Panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia (TII) yang disebut juga dengan Divisi Hasanuddin.

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam, proklamasi Negara Islam. Pemberontakan Darul islam ini, baik di Jawa Barat maupun Aceh, dapat ditumpas oleh pemerintah. Dihukum matinya Kartosuwirjo pada tahun 12 September 1962 mengakhiri aktivitas Darul Islam di Jawa Barat. Sedangkan konflik di Aceh dapat diredam setelah tercapainya persetujuan dengan pemerintah, bahwa Aceh adalah Daerah istimewa.

Pemerintahan Orba yang disokong oleh ABRI menerapkan kebijakan-kebijakan yang kerap merugikan politik Islam. Salah satu alasannya adalah karena pemerintah Orba menganggap gerakan Islam politik sebagai ancaman persatuan nasional. Soeharto pun melihat kalangan Islam sebagai saingan dalam mempertahankan kedudukan sebagai presiden, maka tak heran dalam berbagai kebijakan-kebijakan Orde Baru yang berkaitan dengan partai politik selalu berusaha mematikan gerakan Islam politik.

Gerakan-gerakan Islam politik di masa Orba hampir bisa dikatakan mati, mereka tidak dapat berbuat apa-apa melawan sikap keras rezim Orba. Ali Murtopo, seorang kepercayaan presiden dan menjadi asisten pribadi presiden, telah berhasil menciptakan image di masyarakat bahwa Islam senantiasa menjadi rival dan musuh Pancasila.

Baca Juga  Suara Kelompok Rentan Belum Diperhatikan

Penjinakan terhadap kalangan politik Islam seperti yang menimpa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Di awal lahirnya Orba, tokoh-tokoh Muhammadiyah hendak mendirikan partai baru bernama PII (Partai Islam Indonesia). Kegagalan pendirian PII tidak lepas dari ketidaksetujuan pemerintah atas berdirinya PII, seperti Bung Hatta yang gagal mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). (h 168)

Begitu juga dengan NU. Hal menarik terjadi di tahun 1967 di saat DPR menggodok Rancangan Undang-undang (RUU) yang mengusulkan pemilu menggunakan sistem distrik yang memberikan jatah 50% kursi di DPR. Tentu saja sistem distrik ini tidak disetujui oleh NU. Sistem distrik akan memangkas kekuatan NU karena di luar Jawa massa NU relative sedikit. Pemberian jatah 50% untuk ABRI juga akan mengelimenir kekuatan NU di DPR. (h. 175)

Begitu juga dengan langkah yang dilakukan pemerintah otoriter Orba adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 1969 yang terkenal dengan akronim Permen, yang secara tidak langsung mendorong anggota-anggota departemen meninggalkan partai politik. Tentu hal ini merugikan partai politik NU dan lainnya, karena sebagian simpatisan dari mereka berada di birokrasi. (h. 181)

Strategi orde baru terhadap kalangan Islam politik sesungguhnya tidak linier. Abdul Aziz Taba menunjukan ada tiga model hubungan kalangan Islam dengan negara pada era orde baru. Perama adalah model antagonistik yang terjadi pada tahun 1966 sampai 1982. Kedua, hubungan yang bersifat resipokral kritis. Era ini terjadi pada 1982 hingga 1985. Ketiga, hubungan akomodatif yang tercermin pada tahun 1985 hingga 1996.

Buku ini, sesungguhnya bukan karya pertama yang menjelaskan dinamika Islam dan orde baru. Ada karya lain seperti Islam dan Negara yang ditulis oleh Bachtiar Effendi. Jika dibandingkan dengan bukunya Bachtiar, karya Tabrani memang agak longgar dalam pengambilan data. Rujukannya pun tidak cukup kaya, sehingga detail persoalan tentang dinamika Islam politik pada masa orde baru tidak bisa tersampaikan secara baik. Persoalan lain yang tampak dalam buku ini adalah ketiadaan kesimpulan yang dituju, sehingga sulit untuk mengerti maksud terdalam dari penulisan karya ini.

Baca Juga  Kartun Nabi dan Politik Hasrat
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini