Peringatan 1000 Hari Gus Dur di Semarang
[Semarang – elsaonline.com] – “Aku hanya pulang, bukan pergi,” kata singkat namun bermakna dalam ini nampak terlihat dalam foto sang maha guru bangsa, KH. Abdurrahman Wahid. Foto yang amat sederhana dengan ukuran 10 R, terpampang di samping Romo Budi, sapaan akrab Romo Aloys Budi Purnomo (Keuskupan Agung Semarang), dalam acara peringatan 1000 hari Wafatnya Gus Dur, Jum’at (28/9).
Acara tersebut terselenggara atas kerjasama antara Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Syari’ah Komisariat Walisongo dan Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. “Acara ini terselenggara atas kerjasama eLSA,Semarang, PMII Rayon Syari’ah dan LPM Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,” papar Yayan M Royani selaku pemandu acara tersebut. Acara dihelat di depan gerbang kampus 3 Jalan Prof. Dr. Hamka km 3 Ngaliyan, Semarang.

Ada ratusan aktifis mahasiswa dan pegiat diskusi yang tergabung dalam Gusdurian Semarang. Refleksi terhadap pemikiran Gus Dur dibawakan Rofiudin, mantan ketua umum PMII Komisariat Walisongo, Nur Shoib, mantan ketua BEM Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo serta Muhammad Syukron, mantan aktifis PMII dari STAIN Salatiga dan Romo Budi.
Kebesaran Gus Dur (sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid) selalu dibumbui oleh sikapnya yang terkadang kurang dimengerti orang banyak. Ketika mendengar nama Gus Dur orang bisa berpikiran bermacam-macam.Adayang berpikir kalau Gus Dur sosok orang yang nyeleneh, lucu dan bersahaja.Adapula orang yang menganggap kalau Gus Dur orang sosok orang yang pemberani, cepat mengambil sikap dalam situasi yang genting seperti konflik yang mendiskreditkan kaum minoritas.
Dalam kibaran nama baiknya, Gus Dur tak luput dari cap-cap miring kepadanya. Gus Dur kerap kali dicap sebagai antek Barat. Agen liberalisme yang bersumber dari dari barat. Ini terjadi memang karena pernyataan-pernyataan Gus Dur yang banyak menarik perhatian publik. Salah satu pernyataan Gus Dur yang banyak menyita perhatian publik salah satunya berkaitan dengan ucapan salam yang boleh diganti dengan selamat pagi atau kulo nuwun.
Siapa saja yang mengucapkan kulo nuwun itu sama halnya dengan mengucap asalamu’ alaikum. “Kata Gus Dur, bahwa orang yang menucapkan kulo nuwun itu sudah bisa dikatan sebagai muslim. Tanpa harus mengucapkan assalamu’ alaikum. Alasan Gus Dur sangat sederhana. Ia menganggap bahwa lebih baik orang mengatakan kulo nuwun daripada mengucapkan asalamu’ alaikum tapi tidak terlalu pasih pengucapanya,” jelas Rofiudin dalam acara refleksi tersebut.
Pernyataan-pernyataan Gus Dur yang demikian kerap disalahtafsirkan oleh wartawan. Kemungkinan juga bukan salah tafsir, tapi disengaja untuk mencari popularitas medianya. Akhirnya wartawan yang memberitakan, mencari sudut tepat yang sekiranya menimbulkan kontroversi di masyarakat.
“Dalam keadaan demikian, pernyataan Gus Dur kerap dipelintir oleh wartawan. Untuk mencari popularitas medianya kemudian memberitakan bahwa Gus Dur meminta agar assalamu’ alaikum diganti dengan selamat pagi. Inilah sudut yang diambil oleh wartawan,” lanjut Rofi. Imbas dari pemberitaan dari media itu, publik akhirnya salah pemahaman. Akhirnya Gus Dur banyak yang mengatakan bahwa Gus Dur itu Syiah dan antek-antek barat. Gus Dur semasa hidupnya, dalam persoalan-persoalan sosial dan politik lebih suka terjun langsung ke lapangan.
Gus Dur pernah juga ditolak ketika hendak mendaftar menjadi calon presiden RI pada tahun 2004. KPU menolak pendaftaran Gus Dur untuk mencalonkan menjadi presiden dengan alasan bahwa Gus Dur secara fisik tidak memenuhi persyaratan. Atas keputusan KPU tersebut kemudian para aktifis beunjuk rasa.
Di Semarang aktifis pergerakan berunjuk rasa, kala itu dengan mogok makan di depan Kantor KPU Jawa Tengah. Hingga akhirnya, Syukron, salah satu demonstran jatuh sakit. “Ketika itu saya demo mogok makan dan akhirnya jatuh sakit. Akhirnya dirawat di Rumah Sakit Telogorejo. Waktu itu Gus Dur menjenguk,” ujar Syukron yang kini menjadi wartawan Suara Merdeka. Syukron memberikan refleksi atas kerja-kerja intelektualtual Gus Dur. Banyak sekali tulisan Gus Dur yang menjadi inspirasi anak bangsa ini. “Meneladani Gus Dur kita harus dimulai dengan hal-hal yang paling kecil dulu. Hal yang paling kecil itu bisa diwujudkan dengan menulis. Menulis apa saja yang berkaitan dengan kebangsaan, agama, politik dll,” pungkas Syukron.
Dalam acara refleksi 1000 hari wafatnya Gus Dur, Romo Budi juga menyempatkan hadir. Meskipun seorang Romo Katolik, namun hal tersebut tidak mengurangi rasa kecintaannya terhadap Gus Dur.
“Saya saja sebagai seorang Katolik ingin selalu ada dalam jalan perjuangan yang sesuai untuk mengikuti perjuangan Gus Dur. Bisa mengayomi kaum minoritas. Memperjuangkan hak-hak setiap anak bangsa. Jika seorang katolik saja memiliki rasa kepemilikan terhadap Gus Dur, apalagi seorang muslim. Anda semua yang satu iman dengan Gus Dur yaitu Islam, harus lebih memiliki rasa kepemilikan terhadap Gus Dur yang lebih, ketimbang umat Katolik. Kita semua harus bersama-sama berjuang meneruskan ide-ide Gus Dur, pemikiran Gus Dur dan kepribadian Gus Dur. Gus Dur bukan hanya Gus Dur. Tapi ia merupakan wujud dari kritik sosial yang tajam terhadap kondisi bangsa ini,” pungkas Romo Budi. (elsa-ol/Ceprudin)