Semarang, elsaonline.com Selain Semarang dan Lasem, mungkin hanya Parakan-Temanggung yang memiliki komunitas Pecinan. Atau barangkali lebih tepatnya, ada sisa-sisa dari sejarah eksistensi kelompok Tionghoa di wilayah setempat.
Situasi demikian disampaikan R. Soenarto, peneliti sekaligus pemerhati Budaya Tionghoa, beberapa waktu lalu. Ia menuturkan hal tersebut di sela-sela kegiatan Tasyakuran Kelancaran Pasar Imlek Semawis 2020 dan Cap Go Meh di Gedung Perkumpulan Boen Hian Tong, Semarang.
Penulis buku “Budaya Tionghoa Pecinan Semarang” itu menambahkan, bahwa di Jawa Tengah, jejak historis Pecinan sebagai komunitas, mungkin hanya tinggal tersisa di tiga wilayah itu. Di luar ketiganya, mungkin terdapat klenteng, namun komunalitasnya sudah tak lagi terasa.
“Bahkan, kalau anda lihat, bangunan-bangunan di Pecinan Semarang sendiri, sudah jauh berbeda,” ulasnya. Ia menunjuk salah satu bangunan di depan Gedung Boen Hian Tong atau juga biasa disebut sebagai Rasa Dharma. “Gedung itu sudah sangat modern. Sejak tahun 1970-an, ada perubahan besar dalam struktur bangunan,” imbuhnya.
Sehingga, kata Soenarto, perubahan bangunan tersebut juga mempengaruhi ingatan masyarakat tentang Tionghoa. “Boen Hian Tong sendiri juga mengalami perubahan. Saya kira wajar karena memang harus ada pembaharuan. Kayu-kayu sudah agak mengeropos dan genteng sudah harus diganti, karena sudah terlampau lama,” jelasnya.
Dengan segela keterbatasan, pengurus Perkumpulan Sosial Rasa Dharma terus berusaha merevitalisasi bangunan ini. Tak hanya bangunannya, gedung yang berada di Gang Pinggir 31-31A, juga merevitalisasi pelbagai kebudayaan Tionghoa serta produk materialnya; foto, Wayang Potehi, riset tentang Tionghoa Semarang dan lain sebagainya. Lembaga yang berdiri di Semarang pada tahun 1876 ini, adalah perkumpulan tertua yang masih eksis hingga kini. (T-Kh/001)