“Di era 1990-an, Ramadhan di media tentu tidak semeriah tahun sekarang,” kata Tedi Kholilludin, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) pada pengantar diskusi tentang “Citra Ramadhan Di Media Massa”, Jumat (4/6). Diskusi yang dihelat di aula Kantor eLSA itu menghadirkan M. Rofiuddin, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang serta diikuti oleh belasan aktivis mahasiswa dan pers kampus di sekitar Semarang.
“Saya melihat, fenomena ramadhan di media massa tentu terus bertambah keriahannya dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ada semacam komodifikasi. Ramadhan menjelma sebagai momentum komodifikasi. Ada keuntungan yang didapatkan secara ekonomi dari Ramadhan ini,” tutur Tedi.
Mengutip Greg Fealy, alumnus program doktor Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana itu menambahkan bahwa ada irisan yang sangat khas antara Ramadhan dengan pasar ekonomi terutama di tahun ini dimana pemilihan presiden dan Piala Dunia juga ada di waktu yang bersamaan. “Tanpa bermaksud meragukan kualitas keagamaan, yang secara kasat mata terlihat adalah Ramadhan begitu sangat menguntungkan bagi pelaku ekonomi. Ibadah Ramadhan ternyata tidak mengurangi aktivitas masyarakat. Berkat ramadhan, masyarakat mampu meraup keuntungan yang melonjak. Dari pedagang hingga pengusaha-pengusaha lainnya,” tambah Tedi.
Sementara Rofiudin menyampaikan, Ramadhan seperti yang tersaji di media, nampak menjadi rutinitas semata. Sajian media tentang puasa, nyaris tak berubah dari tahun ke tahun. “Tanggalnya saja mungkin yang berubah,” kritik Rofi.
Baik media cetak maupun media online berlomba-lomba menyajikan kolom khusus Ramadhan. “Isinya itu-itu saja. Berita buka puasa bersama, sahur, persediaan bahan bakar, perbaikan jalan untuk mudik dan aktivitas-aktivitas lain yang berhubungan dengan Ramadhan,” terang Rofi. Itu terjadi, tambah Rofi karena mungkin memang menyesuaikan dengan kebutuhan publik dan berharap akan menarik perhatian masyarakat luas.
Justru yang memberikan tampilan lebih meriah adalah televisi. “Televisi itu sangat memperhatikan rating atau ukuran kesukaan publik. Rating inilah yang terus digenjot oleh media. Lalu pertanyaannya di sini, apa nilai-nilai Ramadhan yang penting untuk diserap dan kemudian disebar setelah ramadhan? Sepertinya nilai-nilai itu hilang atau terlupakan setelah Satu syawal. Padahal, spirit ramadhan lebih penting dilaksanakan pasca ramadhan,” jelas ayah satu anak ini.
Televisi kerap melakukan kompetisi dalam jam-jam tertentu. Pas sahur misalnya. Hampir semua stasiun televisi berlomba memberikan suguhan yang dianggap menarik bagi masyarakat. Mulai dari kuis hingga sinetron-sinetron religi digenjot untuk menyesuaikan selera penonton. “Tapi hampir semuanya tidak edukatif, hanya hura-hura dan sama sekali tidak menampilkan nilai Ramadhan” tegas Rofi.
Makanya, tandas Rofi, Media harus dikritik, agar momentum Ramadhan dijadikan pijakan untuk kehidupan setelahnya. Ramadhan sebagai pijakan untuk mengkampanyekan nilai yang bisa diaplikasikan pasca Ramadhan. “Media itu kan isinya tiga hal, iklan, berita dan hiburan. Kalau iklan mungkin agak sulit bagi masyarakat untuk mengendalikan karena itu berkaitan dengan modal. Tapi berita dan hiburan bisa kita awasi dan kritisi,” tukas mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Walisongo tersebut.
Sementara, peneliti eLSA, Khoirul Anwar menunjukan kekhawatiran jika Ramadhan di media justru dikhawatirkan malah jatuh pada penyelewengan makna Ramadhan sesungguhnya. “Ramadhan membentuk budaya hedonism. Makna ramadhan yang sesungguhnya hanya keshalehan dhohir semata. Sahur misalnya, sahur yang bermakna peningkatan spiritualitas tapi di sini dipersempit semata-mata makan untuk persiapan puasa. Sehingga, media seolah-olah membawa Ramadhan ke makna lahirnya semata,” pungkas Awang, sapaan akrab mahasiswa Jurusan Politik dan Pidana Islam IAIN Walisongo Semarang tersebut. [elsa-ol/Cahyono-@cahyonoanantato]