Budaya, Pengaruhi Diskriminasi Difabel

Peserta Kampanye Positif Imej dan Advokasi Tentang Isu-isu Disabilitas yang Berhubungan dengan Sosial, Budaya dan Agama. [Foto: Munif]
Peserta Kampanye Positif Imej dan Advokasi Tentang Isu-isu Disabilitas yang Berhubungan dengan Sosial, Budaya dan Agama. [Foto: Munif]
[Semarang-elsaonline.com] Islam tidak mengukur kualitas manusia berdasarkan kondisi fisiknya, tetapi berdasarkan kualitas mentalnya. Sejarah Islam juga membuktikan peran kaum difabel yang sepadan dengan kaum normal, yakni Nabi Musa as dan Nabi Ya’qub as. Karena itu, diskriminasi difabel dipengaruhi idealisme kebudayaan dan bias normalisme.

Pandangan tersebut diungkapkan Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, Dr. Hasyim Muhammad, dalam workshop kampanye positif image dan advokasi tentang Isu-isu Disabilitas yang berhubungan dengan Sosial, Budaya dan Agama di Kampus Universitas Wahid Hasyim, Selasa (20/1) siang.

Hasyim menuturkan bahwa jika semua manusia sempurna, bagaimana dengan difabel? Jawabnya, kata dia, kesempurnaan dalam Islam bukan pada bentuk fisik, tetapi dalam kepemilikan akal. “Yang menjadikan manusia sempurna dibanding makhluk lainnya adalah karena akal. Manusia punya akal, makhluk lain tidak,” ungkap dia.

Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, ini, menegaskan, bahwa keluhuran dan kehinaan manusia tidak diukur secara fisik. Makanya, Hasyim menambahkan, bahwa Tuhan tidak menilai manusia dari jasad dan pakaiannya, tetapi pikiran dan perbuatannya. “Inna akromakum ‘indallahi atqakum,” sebut dia.

Selain itu, dia menilai, selama ini sudah banyak sesama individu yang peduli terhadap penyandang difabel, seperti pengadaan fasilitas umum di pusat perbelanjaan serta perkantoran. Akan tetapi, sambung dia, yang perlu diperhatikan serius oleh kita adalah keberpihakan Negara terhadap para difabel tersebut. “Sebab, penyandang difabel, bukanlah individu yang serta merta tanpa daya dan upaya,” terangnya.

Sementara berdasarkan data Pusat Pengembangan dan Pelatihan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) Solo, disebutkan, di Jawa Tengah terdapat sekitar 120 ribu difabel. Dari 10 daerah, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, Surakarta, Solo, Grobogan, Tegal, Brebes dan Blora, terhitung ada sekitar 67 ribu. “Kalau seluruh Indonesia, ada sekitar 3,8 juta,” beber Direktur PPRBM, Sunarman.

Baca Juga  Dari Klenteng Hingga Gereja; Ucapkan Selamat Hari Santri

Sunarman menambahkan, PPRBM Solo juga mencatat bahwa status ekonomi difabel di Indonesia terdapat 25,6 persen yang bekerja. Menurutnya, itu pun pekerjaan di bidang informal seperti buruh, tani dan jasa. Untuk PNS atau pegawai BUMN presentasenya sangat kecil. “Maklum, mayoritas hanya menempuh pendidikan higga tingkat sekolah dasar. Karena itu, kami berharap kaum difabel mendapat perlakuan yang setara,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini