Oleh: Nazar Nurdin
Sebelum menulis bagian ini, saya hanya ingin menulis sedikit pesan pembuka. Saya tak ingin menulis pesan yang terlampau muluk-muluk, juga buat impian yang terlampau besar. Mungkin, bagian ini hanya bagian kecil dari harapan saya di masa mendatang ketika mengkiprahkan diri di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA).
Sesuai harapan di masa lalu, saya tentu mengharapkan agar lembaga ini bisa menyerupai Satu Nama, lembaga swadaya masyarakat non nirlaba di Sleman yang hidup murni mendampingi masyarakat dengan usaha yang dimilki. Hidup bukan dari donatur asing.
Usaha Satu Nama murni berasal dari kanting untuk pendampingan, motivasi, dan pelatihan terencana dan terstruktur. Jaringan alumni juga dibangun dengan baik. Untuk sementara ini, saya tentu berharap demikian, dan tentu impian di ulang tahun ke depan akan berbeda, jika target ini sudah bisa terlampaui.
Bagi saya, pribadi tentu momentum bagi eLSA untuk berkembang tidak semudah dibayangkan. Langkah awal dengan menempatkan orang di beberapa tempat publik bisa cenderung mempermudah sosialisasi dan orang bisa mengenal eLSA dengan mudah. Saya memang diposkan di media, agar gagasan dan kiprah baik bisa dibaca publik luas.
Gagasan demikian tentu benar. Saya bisa menularkan gagasan itu dengan tanpa beban, asal sudah ada bahan. Benar, terkadang itu bisa efektif dan terkadang juga tidak. Efektif karena berhasil bisa menembus Kompas, Vivanews, Suara Merdeka, Tempo, atau media lainnya. Tentu, yang tidak efektif jika ditulis akan lebih banyak, terutama apakah itu efektif dan bisa bertahan lama.
Soal sosialisasi gagasan memang cara tersebut sangat ampuh agar bisa dibaca publik ramai. Tapi cenderung mengajak kita untuk manja, dan tidak mau bekerja keras. Sosialisasi gagasan yang bagus, bukan hanya media, adalah mengadvokasi masyarakat, langsung terjun ke pelosok permasalahan, syukur itu nanti bisa ditulis di reportase berita. Itu nilai kemasan dan rasa simpatik akan lebih besar, jika hanya mengirim gagasan. Meski begitu, gagasan media itu perlu dilanjutkan, saya cuma menulis satu gagasan ideal.
Kita sekarang ini terlalu manja. Saya juga demikian. Karena tak ada tuntutan, jadi tak ada sikap kerja keras. Ke depan, butuh kerja keras lebih, seperti awal mendirikan lembaga ini.
Terjun langsung investigasi dan menyapa pihak terdholimi tentu bisa meningkatkan kemampuan peneliti. Bukan saja difahamkan materi secara langsung, bukan dibalik meja atau diskusi, tapi bersentuhan langsung. Diskusi memang penting, dan dibalik meja itu sangat penting. Akan lebih baik dilengkapi dengan tindakan nyata, dan hal itu memang agak susah, selain juga butuh waktu, fulus dan tenaga serta tekad para punggawa eLSA.
Standar Harus Lebih
Terlepas dari itu semua, saya mengapresiasi ulang tahun eLSA yang sudah bisa bergerak sejauh ini. Sosialisasi, terjun langsung hingga kepunyaan aset tentu ukuran sangat mahal. Direktur kerja sangat all out dan membawa standar yang agak tinggi, sehingga tanpa ada komando, harapan ini tentu tidak berjalan.
Saya bilang standar, karena perjalan eLSA ke depan tidak bisa dengan cara konvensional. Mencari pasangan ada standarnya, bukan sekedar asal ambil. Itu menunjukkan kualitas, meski kerapkali dihina seringkali “jomblo” atau apa. Itu tidak masalah, karena ada standar yang dipakai, dan bukan sekedar ambil.
Standar eLSA ke depan harus ditingkatkan. Tidak bisa berjalan lagi dengan cara konvensional. Sasaran tidak bisa diarahkan ke mahasiswa IAIN atau seputar Ngaliyan. Juga sasaran bukan kepada relasi sesama LSM. Itu semua memang penting, tapi perlu juga standar lain agar lembaga ini bisa masuk ke semua kalangan.
Ke depan, saya berharap eLSA bisa masuk ke jajaran pemerintahan, atau juga ke legislasi. Ketika ada punggawa eLSA yang dimasukkan ke pengadilan untuk litigasi, itu jauh lebih baik. Jadi kompak, di semua instansi itu ada dan akan sangat full power mengkampanyekan gagasan bagus eLSA. Dengan catatan, mental dan karakter punggawa eLSA tidak berubah dan tidak serba uang.
Seorang pemikir abad pencerahan dari Prancis, Voltaire, penah berujar singkat soal pendapat. Seperti yang disampaikan Presiden SBY di sidang papipurna jelang kemerdekaan RI ke-69, dia berpesan singkat. Ada pendapat Voltaire yang patut untuk dipatuhi. “Meski dari kita saling membenci, dan tidak ada kekompakan, tapi sekuat tenaga, saya akan tetap menghormati dan melindungi anda untuk berbicara dan tampil di publik.” Ini artinya, semua harus berpendapat, meski tidak ada kekompakan.
Jalinan kekompakan eLSA, saya rasa bukan sebatas kompak, tapi sudah menyatu seperti keluarga. Ada yang senyam-senyum, suka gasai, berpenampilan menor, playboy, jomblo, ada juga yang sudah punya anak, yang selalu menjaga kekompakan. Mungkin, satu dua kali ada gosip, hinaan itu menjadi hal biasa agar bisa menjadi penyemangat. Jika tanpa itu, tentu sangatlah hampar.
Untuk itulah, pada ulang tahun ke-9 ini tentu ada kado yang harus diterima. Ya ulang tahun masa tak ada kadonya. Kan lucu. Saya pribadi tentu tidak akan memberikan kado “uang” buat eLSA, karena hadiah bukan semata fisik. Saya lebih ingin memberi kado spesial secara spirit dan dukungan. Mungkin gagasan saya bersama Cahyono dan Bayu untuk mengibarkan bendera Indonesia di puncak pegunungan akan bisa menambah spirit tersebut. Biarlah eLSA berkibar di puncak dan berkibar bersanding dengan bendera bendera Indonesia raya.
Saya hanya bisa melakukan itu, semoga tetap jaya. Kejayaan eLSA akan dipersembahkan oleh para punggawa eLSA. Jaga kekompakan, dan tentu silahkan berkreasi sebanyak-banyaknya tanpa ada cacian buruk, tapi saling menghormati.
Selamat Ulang Tahun eLSA ke-9.
Good Bless, Bravo !!!.