Pertengahan September 2012, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang secara definitif masih berkantor di Perumahan Pandana Merdeka Blok N.23 Ngaliyan Semarang. Di kantor yang masih ngontrak itu tinggal lima aktifis eLSA, Tedi Kholiludin (Direkturnya), Yayan M Royani selaku Koordinator Divisi Advokasi dan Ubbadul Adzkiya, Koordinator Divisi Penerbitan.
Selain mereka bertiga, ada Munif Ibnu, ia juga staf Divisi Advokasi. Kelima saya sendiri yang kebetulan masuk staf divisi peneribitan. Bulan-bulan itu, eLSA baru saja dapat kantor permanen di Perumahan Bukit Walisongo Permai Gang Sunan Ampel Blok 5 No.11. “Meskipun hasil ngutang, tapi tak masalah. Yang penting sudah ada kantor definitif,” tukas Tedi.
Di kantor baru itu, tinggal dua orang staf eLSA Khoirul Anwar dan Nazar Nurdin. Rumah itu pemandangannya sangat bagus. Hampir separuh Kota Semarang kelihatan. Kelap-kelip lampu di Pelabuhan Tanjung Mas dan pusat Kota Semarang Simpang Lima tampak jelas. Terutama saat malam tahun baru.
Suatu malam saya bersama pak Dir Tedi sore-sore main ke kantor baru itu. Sembari menikmati pemandangan sore hari dan lalu lalang kereta api, kami ngobrol ringan. Ketika itu dalam benak saya terlintas angan-angan untuk membuat warung eLSA kecil-kecilan.
Hemat saya, dengan adanya warung itu paling tidak ada pemasukan untuk membayar air dan listrik tiap bulan. Setelah angan-angan itu saya sampaikan kepada pak Dir ternyata disetujui. Tak lama setelah itu, pak Dir kemudian mengajak untuk survei alat-alat dapur di pasar Ngaliyan.
Hari-hari itu kami berdua banyak bicara soal rencana membuat warung itu. Ia mendukung pembuatan warung dengan pikiran yang sangat panjang. Harapan kami, warung itu sedikit-sedikit menjadi besar. Sehingga bisa mencukupi operasional kantor.
Kami sadar, bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus mempunyai sumber pendanaan mandiri. Supaya bisa bekerja sesuai idealisme dan visi misi harus mempunyai sumber pendanaan yang bebas dari muatan politik. Bersih juga dari intervensi kepentingan dari luar eLSA.
“Betul juga, kita harus mempunyai sumber pendanaan yang mandiri. Kita rintis meskipun kecil-kecilan,” sahut Tedi, di sela memilih alat-alat dapur seperti gelas, sendok dan beberapa alat lainnya.
Singkatnya lengkaplah alat-alat itu. Setelah peralatan semua lengkap kemudian saya diberi uang sebesar Rp. 250.000 untuk modal awal. Dengan modal sebesar itu, tentu tak bisa belanja terlalu banyak. Seingatku waktu itu, hanya cukup membeli mie rebus dengan berbagai mereka 40 bungkus, soda gembira lima botol, rokok beberapa bungkus, kopi sasetan/instan dan sayuran untuk mie.
***
Dengan penuh optimis, Selasa 18 September 2012, awal mula dibuka kucingan (yang kata anak-anak rasa Cafe) eLSA. Malam pertama saya menyediakan nasi bungkus, mie rebus, kopi, es teh dan gorengan. Alhamdulillah, kurang lebih semalam rata-rata ada untung bersih sekitar Rp. 50.000.
Tiap hari saya belanja ke pasar dan sore-sore membuka untuk mulai jualan. Satu dua bulan berjalan lancar. Karena terasa capek kemudian saya sempat meminta bantuan kepada anak PMII As’ad dan Didik. Tentu mereka berdua tanpa imbalan yang pantas karena masih merangkak.
Beberapa bulan warung itu berjalan. Namun, karena waktu itu saya sedang menyelesaikan skripsi warung terpontang panting. Kadang anak-anak juga tak datang, sehingga kadang buka, kadang juga tidak. Karena merasa repot kemudian warung tutup.
“Mas Ted, kayaknya warungnya tutup saja. Rasanya kepontal-pontal sembari garap skripsi,” ujar saya kepada dia selaku direktur. “Iya sudah, kalau merasa berat,” jawab Tedi, singkat. Dalam hati saya merasa berdosa, karena saya yang mempunyai inisiatif untuk membuka warung, namun saya juga yang meminta untuk menutupnya.
Terlebih, kala itu sejatinya pelanggan lancar, karena anak-anak PMII ketika rapat dan nongkrong di kantor eLSA. Termasuk Tomy Andreas selaku pelanggan tetap, tiap ia hampir jajan terus dan pasti ntraktir anak-anak PMII. Selain para aktifis PMII, kantor eLSA, kerap dijadikan tempat rapat-rapat besar, seperti FKUB Muda besutan Iman Fadhilah.
Dengan berat hati akhirnya tutuplah warung itu diakhir-akhir 2012. Jika tak salah nominal modal plus untungnya kala itu Rp. 750.000. Uang yang tak banyak itu kemudian saya serahkan kepada Putri Kirana, kala itu belum menjadi staf bendahara eLSA, untuk mengelola menjadi agen pulsa, khusus untuk staf eLSA.
Dari Putri, kemudian modal itu gantian dipegang Cahyono, sama masih jualan pulsa. Jika tak salah, sekarang modal semua sudah mencapai satu juta lebih. Untuk sementara, agen pulsa di Yono sekarang menjadi penyelamat bagi semua staf eLSA jika dalam kondisi keuangan masih kosong.
Penerbitan Buku
Selain membuka cafe, hingga sekarang eLSA juga rajin menerbitkan buku. Dibanding cafe tadi, yang hingga sekarang eksis adalah menerbitkan berbagai buku. Tentu, dengan penerbitan ini sedikit-sedikit ada pemasukan. Semasa saya masih aktif menjadi mahasiswa banyak belajar tentang keredeaksian, dari Justisia.
Bagaimana cara mengedit, menyusun naskah hingga layout. Soal layout, Abdul Salam ahlinya. Pemuda yang baru saja menjadi jomblo asal Rembang ini merupakan staff desain grafis eLSA hingga sekarang.
Penerbitan ini sudah agak sedikit mapan dan profesional, meskipun dengan honor yang tak banyak, namun setidaknya sudah bisa memberi honor bagi siapa saja yang mengerjakan kredaksian. Berbeda dengan jualan pulsa, Yono gak pernah ada imbalannya. (Hehe,,,, sabar ya Yon).
Saat masih berkantor di Pandana, penerbitan biasanya dikerjakan bareng-bareng antara saya dengan mas Ubbadul Adzkiya selaku koordinator penerbitan. Mas Ubed jauh lebih berpengalaman dalam akses jaringan percetakan di Jogjakarta dan dalam mengurus supaya mendapat ISBN.
Usai lulus IAIN, mas Ubed kemudian banyak di Ungaran untuk membuat sekolah di salah satu yayasan. Setelah itu selesai, kemudian mas Ubed juga harus ke Jogjakarta dan UKSW Salatiga untuk kuliah magsiternya. “Untuk sementara, Cecep dulu yang ngurus percetakan buku ya,” saran mas Tedi, kala itu. Karena mas Ubed sudah tak memungkinkan lagi dari segi jarak.
Atas bimbingan Mas Ubed, perlahan saya bisa menjalankan tugas itu. Beberapa buku hasil penelitian dosen di IAIN diterbitkan eLSA. Meskipun lebihnya tak banyak, namun lumayan ada pemasukan sedikit demi sedikit untuk divisi penerbitan. Sekarang bendahara penerbitan dipegang M Zainal Mawahib.
Buku terbitan terbaru, karangannya Maksun. Ia terbilang sering mencetak buku di eLSA dengan berbagai judul penelitian. Dari mengurus ISBN, ngedit, memberikan kata pengantar sekarang sudah bisa mapan, saya sendiri, Zainal Mawahib dan Mas Ubed sudah terbiasa.
***
Tahun 2008 lalu, ketika saya baru masuk IAIN, eLSA hanya menerbitkan satu produk, berupa buletin dengan nama At-Taharurriyah. Ketika hendak berangkat kuliah saya kerap membawa beberapa buletin itu untuk disebar di perpustakaan dan juga di lobi fakultas.
Seiring dengan bertambahnya personel, terbitan eLSA semakin bertambah. Ada buletin bulanan, laporan tahunan dan web elsaonline.com. Kemudian ditunjang juga dengan beberapa penelitian tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Tengah.
Di ulang tahun yang ke 9 ini, eLSA bisa dibilang mapan dari sisi karya. Dibanding dengan beberapa LSM di Semarang, mungkin eLSA mempunyai keunggulan lebih dari sisi produk dan karya. Saya, dan kiranya staf yang lain juga berharap kedepan bisa lebih mapan.
Mapan dari sisi karya, pendanaan mandiri dan juga manajemen. Tentu hal ini bukan hal yang mudah bagi kami yang mengemban tugas untuk melanjutkan perjuangan ini. Pendanaan mandiri ini sangat dibutuhkan untuk menunjang kreatifitas dan produktifitas karya eLSA. Semoga di usia yang ke 9 ini, elsa semakin berkembang dan terus maju dengan tangan terkepal. Amin.