Oleh: Tedi Kholiludin
Letak Dusun Krucil, Desa Winong, Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara, tidak persis ada di jalan utama menghubungkan ke Purwokerto. Tak terlalu jauh juga sebenarnya dari jalan utama, karena hanya sekitar 1,5 kilometer saja. Meski ada perhelatan oleh salah satu kelompok keagamaan yang ada di sana, tak nampak penanda yang mencirikan sedang berlangsungnya kegiatan. Yang terlihat hanyalah plang kecil bertuliskan “Krucil” di setiap belokannya.
Dari Semarang, kami berangkat bertiga mewakili teman-teman ELSA; saya, Jaedin dan Sunandar. Sejatinya, kami tidak mendapatkan undangan resmi. Kepada salah satu pengurus jemaat lokal, kami mengabarkan, kalau diizinkan datang, saya ingin hadir di kegiatan Jalsah Salanah (Pertemuan Tahunan) sekaligus peringatan seratus tahun kehadiran Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Panitia mempersilahkan kami datang pada kegiatan yang dihelat pada 5-7 Desember 2025 tersebut.
Di Jawa Tengah, Dusun Krucil bisa disebut sebagai konsentrasi Jemaat Ahamadiyah terbesar; ada 85 kepala keluarga dengan kurang lebih 370 jiwa yang tercatat sebagai anggota. Jika kegiatan Jalsah Salanah tidak dilakukan di tempat umum, maka Krucil yang paling siap sebagai tuan rumah. Dari tahun ke tahun, Jalsah Salanah untuk warga Jawa Tengah memang selalu digelar di tempat ini, kecuali dua kali kegiatan dipindah ke Wonosobo ketika terbit Surat Peringatan Bupati Banjarnegara pada 2018-2019.
Kegiatan Jalsah Salanah di Krucil, tak hanya dihadiri oleh jemaat dari Jawa Tengah tapi juga berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta Jawa Timur. Dalam catatan panitia, hampir 1000orang jemaat menghadiri Jalsah Salanah. Dalam sebuah percakapan dengan seorang Muballigh dari Jawa Timur, ia memperkirakan hampir 200-an jemaat dari Jawa Timur hadir di Krucil.
Tak ada pengamanan berlebihan pada kegiatan Jalsah Salanah di Krucil. tidak sampai sepuluh orang polisi yang berjaga-jaga ketika kami sampai ke lokasi pada Sabtu siang (6/12/2025). Mereka duduk bersama panitia sembari bercanda seperti sudah saling mengenal satu dengan lainnya. Di dalam ruangan, perwakilan Kepolisian Resort Banjarnegara memberikan sambutan yang disusul oleh Kepala Desa Winong. Saya yang terakhir menyampaikan pesan dan kesan.
***
Meski tenang di permukaan, tetapi seperti ada dinamika yang lebih halus di baliknya. Dalam obrolan singkat dengan beberapa orang, muncul cerita bahwa aparat keamanan sempat mengumpulkan informasi tentang rencana kegiatan jauh sebelum hari-H. Salah satu mubaligh bercerita bahwa ia sempat didatangi pihak keamanan untuk memastikan jumlah peserta dari wilayahnya.
Di titik inilah seperti ada paradoks: sebuah kegiatan keagamaan yang sepenuhnya rutin, berlangsung puluhan tahun, tetap diletakkan dalam kerangka kewaspadaan. Entah kewaspadaan itu muncul dari kehati-hatian institusional yang wajar atau dari residu ketegangan masa lalu yang belum sepenuhnya hilang. Saya tidak memastikan mana yang sebenarnya sedang menjadi pertimbangan. Tapi seperti banyak peristiwa sosial lain di negeri ini, hubungan keamanan–komunitas sering bergerak di ruang liminal: tidak bermasalah, namun tidak sepenuhnya tanpa bayang-bayang.
Toh begitu, kegiatan Jalsah yang bisa berjalan dengan baik, sudah sepatutnya disyukuri mengingat di beberapa tempat, muncul pelbagai pembatasan serta upaya-upaya penggagalan. Di Manislor, Kuningan, Jawa Barat (konsentrasi Jemaat Ahmadiyah terbesar di Indonesia), pihak keamanan tidak mengizinkan jemaat Ahmadiyah dari luar wilayah tersebut masuk. Di Tasikmalaya, Cianjur, dan beberapa wilayah lain, pihak-pihak tertentu meminta agar kegiatan dipercepat, berjalan tidak sesuai rencana dan seterusnya.
Meski Jalsah Salanah terlaksana, tetapi kisah-kisah semacam ini menjadi latar yang tak terlihat, tetapi turut membayang dalam setiap penyelenggaraan Jalsah. Bahwa kegiatan terlaksana bukan berarti tanpa riak. Ada negosiasi kecil dan besar yang mendahuluinya, antara panitia, aparat, pemerintah lokal, hingga tokoh masyarakat, yang kadang berlangsung mulus, kadang tidak. Dan ketika alasan harus dikemukakan, SKB 3 Menteri hampir selalu muncul sebagai piranti legal yang dijadikan landasan pembatasan, sebagaimana terjadi di Cianjur.
Dan ketika alasan harus dikemukakan, SKB 3 Menteri tahun 2008 hampir selalu menjadi rujukan utama bagi pihak-pihak yang keberatan terhadap kegiatan jemaat. Dokumen yang berisi tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, sering memberi legitimasi formal untuk membatasi aktivitas JAI, seperti yang terjadi di Cianjur maupun di sejumlah daerah lain.
Bagi kelompok yang menolak Ahmadiyah, SKB ini berfungsi seperti “pasal siap pakai”: cukup dikutip untuk menguatkan keberatan, dan menjadi alasan sahih untuk memaksa aparat mengambil tindakan pembatasan. Di lapangan, SKB itu bekerja bukan hanya sebagai regulasi, tetapi sebagai simbol bahwa negara memberi mandat tertentu terhadap siapa yang dianggap “normal” dan siapa yang tidak. Karena itu, setiap kegiatan Jalsah yang berlangsung tanpa hambatan besar sesungguhnya juga merupakan hasil dari negosiasi panjang melawan bayang-bayang kewenangan dari dokumen tersebut.
Justru dalam konteks itulah, keberhasilan penyelenggaraan Jalsah di Krucil terasa berbeda: ia bukan sekadar perayaan rutin tahunan, melainkan hasil dari ruang aman (serta nyaman) yang terbentuk melalui hubungan-hubungan lokal yang dibangun lama, antara jemaat, pemerintah desa, dan aparat, para pegiat lintas iman dan lainnya, betapapun tetap ada bayangan kewaspadaan yang menyertainya.

