(Semarang, elsaonline.com) – “Setiap individu manusia itu mempunyai jiwa Buddha, karena Buddha itu ada dalam bawah roh keajaiban yang bersifat welas asih,” ungkap oleh Hadi Santoso, Ketua Dewan Pemimpin Wilayah (DPW) Nichiren (ada yang menulis Niciren) Shoshu (ada yang menulis Syosyu) Indonesia (NSI) salah satu aliran dalam agama Buddha. Pernyataan itu diungkapkan Hadi saat menerima rombongan peneliti dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Selasa (7/8) di kediamannya daerah Kedungmundu, Tembalang, Semarang.
Manusia hidup itu sejatinya harus berlandaskan dengan rasa welas kasih terhadap sesama. Tanpa mempertimbangkan kelompok, suku, ras, agama, kepercayaan tertentu. Artinya tentu bukan semua manusia itu harus beragama Budhha, melainkan sifat-sifat manusia yang harus berdasarkan dengan kasih sayang. Ajaran kasih sayang terhadap sesama tentu ada dalam agama apa pun.

Hadi Santoso yang juga pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah menceritakan awal mula perkembangan Buddha Nichiren di Indonesia. Di Indonesia aliran Nichiren merupakan kelompok minoritas di Indonesia. Bahkan di negara asalnya, Jepang, Nichiren juga merupakan kelompok minoritas, yang sangat mudah pecah. “Saya pernah baca, aliran Nichiren di Jepang saja terpecah ke dalam 300an aliran” terang Hadi. Nichiren kemudian masuk dan berkembang di Indonesia sekitar tahun 1957. “Aliran Nichiren sebenarnya berkembang pesat di Jepang. Lalu masuk ke Indonesia Sekitar tahun 1957,” papar Hadi.
Sebagai aliran minoritas Hadi mengaku sangat berat mempertahankan kepercayaanya. Setelah berkembang pesat di Indonesia kemudian aliran Nichiren terpecah menjadi tiga bagian. Yaitu NSI yang sekarang masih Hadi anut, Sokagakai, dan Yayasan Pandhita Buddha Dharma Indonesia. Sebelum pecah, Nichiren di Jawa Tengah banyak dianut masyarakat Sragen, Wonogiri, Solo dan lainnya. “Di Semarang, dulu penganutnya hampir 600an. Setelah pecah menjadi hanya 100an” pungkas Hadi. (Ceprudin/elsa-ol)