Oleh: Khoirul Anwar
Salah satu persoalan besar yang mengganggu kerukunan umat beragama yang sudah lama berjalan dan dipupuk setiap saat adalah pemisahan tempat pemakaman mayat. Di beberapa daerah seringkali kita menjumpai papan di gerbang makam bertuliskan “kuburan khusus umat Islam”, “kuburan muslim”, dan tulisan lainnya yang pada intinya papan tersebut hendak menyatakan bahwa jenazah yang boleh dimakamkan di tempat tersebut khusus jenazah muslim, sedangkan bagi warga setempat yang tidak beragama Islam dilarang mengambil bagian tanah di tempat pemakaman tersebut.
Dalam Islam demarkasi tempat pemakaman yang disesuaikan dengan agama jenazah memang mendapatkan justifikasi dari sarjana hukum Islam masa lalu (fuqaha`). Dalam karya-karya fikihnya para fuqaha` mengklasifikasi non muslim menjadi dua; non muslim yang memusuhi umat Islam (kafir harbi) dan non muslim yang tunduk dan hidup berdampingan dengan umat Islam (kafir dzimmi). Konsep demikian sesungguhnya tidak memiliki landasan teologis, baik dari al-Quran, Hadis, maupun sejarah sahabat (atsar al-shahabah). Rumusan ini murni berdasarkan kondisi sosial masyarakat di mana para penulis kitab-kitab fikih itu hidup. Saat itu umat Islam di sebagian daerah sedang menghadapi serangan dari daerah luar yang kebetulan beragama lain, sehingga untuk membedakan mana kawan dan mana lawan para fuqaha membahasakannya dengan “muslim” dan “kafir”, bagi kafir yang masih memusuhi umat Islam disebutnya dengan “kafir harbi”.
Pemisahan umat agama lain dari masyarakat muslim ini tidak hanya dalam tataran istilah, melainkan juga dalam hak-haknya secara keseluruhan, termasuk di dalamnya persoalan pemakaman jenazah. Menurut fikih klasik non muslim dilarang dimakamkan di tempat yang berdampingan dengan makam umat Islam kecuali dalam keadaan terpaksa (dlarurah) seperti tidak ada tempat lain yang layak digunakan untuk pemakaman. Non muslim dimaksud adalah kafir dzimmi, sedangkan bagi kafir harbi haram dimakamkan, tapi harus dibuang jauh-jauh, disingkirkan dari daerah yang dikuasai umat Islam. (Syihabuddin al-Ramli, vol. III, hal. 8, 1984).
Rumusan fikih demikian yang sangat terlihat kurang bijak terhadap non muslim. Apabila rumusan fikih ini dibandingkan dengan perilaku nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya maka akan terlihat kontras. Nabi Muhammad Saw. dan sahabatnya dalam memperlakukan umat agama lain yang memusuhinya tidak dengan cara-cara yang kejam hingga dapat merusak martabat kemanusiaan. Nabi Saw. hanya memperbolehkan memerangi musuh di medan peperangan. Ketika musuh menyerah maka tidak boleh dibunuh. Dalam membunuh musuh dilarang dengan menggunakan cara yang tidak manusiawi seperti dengan memotong anggota tubuh musuh yang sudah mati, menyalib, dan yang lainnya walaupun musuh melakukan tindakan seperti itu. Ketika hendak berperang nabi Muhammad Saw. membaca doa: “Allahumma inna ‘ibaduka wa hum ‘ibaduk, nawashina wa nawashihim biyadik, Allahumma ihzamhum wan shurna ‘alaihim (Ya Allah, sesungguhnya kami adalah hamba-Mu, mereka juga hamba-Mu, kemenangan kami dan kemenangan mereka ada dalam kekuasaan-Mu. Ya Allah kalahkanlah mereka, tolonglah kami untuk mengalahkan mereka).” (Abu Zahrah, hal. 54-56, 2008).
Dalam do’a tersebut nabi Muhammad Saw. menyebutkan musuh-musuhnya dengan ungkapan “mereka juga hamba-Mu”, penyebutan hamba Allah seperti dirinya sendiri dan umat Islam lainnya, merupakan salah satu sikap Nabi Saw. yang tidak pernah merendahkan manusia, baik manusia yang memusuhinya maupun tidak.
Mengkritik Hukum Diskriminatif
Rumusan fikih klasik yang melarang pemakaman jenazah non muslim di makam umat Islam di atas selain sudah tidak memiliki relevansi dengan kondisi kekinian, juga bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang memerintahkan umat Islam untuk menghormati kepada semua umat manusia (QS. 17:70).
Penghormatan terhadap sesama manusia yang diperintahkan al-Quran meniscayakan kemutlakan, yakni melampaui sekat agama, ras, suku, dan budaya, karena dalam Islam semua manusia dengan beragam jenis kelaminnya, agama, ras, suku, dan budayanya diyakini berasal dari satu sumber (min nafs wahidah) yang diciptakan Allah (QS. 4:1). Dalam menafsirkan QS. 4:1 ini Rasyid Ridla menyatakan bahwa inti sari dari ayat ini adalah perintah untuk saling tolong menolong dan menebar kasih sayang, karena semua manusia berasal dari asal yang satu sehingga satu sama lain saling bersaudara (Rasyid Ridla, vol. IV, hal. 277, 1990).
Persaudaraan atas nama manusia ini berlaku dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk di dalamnya memakamkan jenazah secara berdampingan, baik antar sesama muslim maupun bukan.
Alasan keberatan mempersandingkan pemakaman jenazah antar agama yang seringkali menggelayuti benak umat Islam adalah kepercayaan bahwa jenazah muslim akan ikut serta merasakan pedihnya siksaan Tuhan yang ditimpakan kepada non muslim yang dimakamkan di sampingnya. Apabila dikaji lebih lanjut sesungguhnya alasan ini tidak berdasar, karena dalam al-Quran maupun Hadis dinyatakan bahwa balasan amal perbuatan manusia di dunia hanya akan dilaksanakan kelak di akhirat, bukan di dunia. Dalam Islam kuburan hanyalah tempat penampungan jasad mati, sementara ruhnya diyakini kembali ke hadapan Allah (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Jika demikian halnya memakamkan jenazah non muslim di samping jenazah muslim atau sebaliknya sesungguhnya dibenarkan dalam Islam.
Saya sarankan supaya penulis di atas belajar agama yang benar, yaitu dari para ulama.supaya bisa membedakan mana aqidah dan mana perasaan.ulama dahulu dalam menentukan, berijtihad mengenai hukum standartnya sangat ketat.jadi jangan sok mengkritisi pendapat mereka para ulama salaf.level anda dalam masalah agama ini, belum sampai ke sana.ini masalah aqidah bukan toleransi, apalagi perasaan.tolong hati2 kalau menulis.terima kasih