Oleh: Tedi Kholiludin
Dalam sebuah pertemuan pengurus Dewan Mesjid Indonesia (DMI) di Makassar (22/7), Ketua DMI HM Jusuf Kalla berniat untuk melakukan pengaturan terhadap pengeras suara di mesjid-mesjid (tempo.co). Alasannya, penggunaan pengeras suara yang sangat keras terkadang membuat sebagian orang merasa terganggu.
Sebelum Kalla, Wakil Presiden Budiyono menyampaikan hal serupa saat membuka muktamar DMI, 29/4. Wapres mengusulkan tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Budiyono mengatakan bahwa bahwa suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga. Ini tentu merujuk pada pengaturan suara di mesjid-mesjid bukannya memberikan rasa nyaman dalam beribadah, tetapi justru dirasa mengganggu warga sekitar.
Sesungguhnya aturan mengenai pengeras suara ini bukanlah ide baru. Pada masa orde baru, pemerintah melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam pernah mengeluarkan instruksi tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid dan musholla. Keputusan bernomor KEP/D/101/78 ini merupakan respon atas keputusan yang dihasilkan dalam Lokakarya Pembinaan Perikehidupan Beragama Islam (P2A) tentang penggunaan pengeras suara Masjid dan Musholla yang dilaksanakan tanggal 28 dan 29 Mei 1978 di Jakarta.
Dalam lampiran instruksi yang ditandatangani pada 17 Juli 1978 oleh Dirjen Bimas Islam saat itu, Drs. H. Kafrawi MA, syarat penggunaan pengeras suara antara lain harus digunakan oleh mereka yang betul-betul terampil, bukan mereka yang mencoba-coba atau masih belajar. Ini dimaksudkan agar tidak muncul feedback atau suara dengung yang dapat memunculkan kesan tidak teraturnya masjid atau musholla.
Syarat lain dari penggunaan pengeras suara adalah tidak bolehnya meninggikan suara doa, dzikir dan sholat. Karena suara yang terlalu tinggi bukan akan menimbulkan simpati tetapi justru malah sebaliknya. Bahkan instruksi Bimas Islam itu secara teknis memberkan aturan bahwa suara yang disalurkan ke luar mesjid cukup adzan saja, sebaga tanda waktu tiba. Suara adzan juga harus dilantunkan dengan suara yang merdu.
Sementara sholat dan doa pada dasarnya hanya diperuntukan bagi jamaah, sehingga tidak perlu ditujukan ke luar. Sementara dzikir hakikatnya adalah ibadah individual langsung dengan Allah SWT. Karena itu, tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam ataupun ke luar.
Munculnya aturan pengaturan pengeras suara di mesjid tentu bukan bermaksud mendiskreditkan umat Islam. Meski mengekspresikan keyakinan keagamaan adalah hal yang asasi, tetapi tentu harus memperhatikan hak orang lain untuk merasakan kenyamanan. Dengan melakukan pengaturan ini, negara bukan berarti mengintervensi hak warganya dalam beribadah. Dalam situasi seperti ini, negara tidak mengatur doktrin agama atau forum internum, tetapi lebih pada forum eksternum.
Argumen Pembatasan
Ninan Koshy (1992, 23), dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi kebebasan beragama ke dalam empat aspek. Pertama, kebebasan nurani (liberty of conscience). Kedua, kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization).
Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.
Dalam Jika aspek internal dari kebebasan beragama bersifat absolut, tidak demikian halnya dengan dimensi eksternalnya yang bersifat relatif. Relativitas sifat dari dimensi eksternal ini dipahami karena agama tidak selalu berbicara tentang keyakinan personal. Agama juga hadir dan bersentuhan dalam wilayah sosial serta berkaitan dengan institusi lainnya. Atas dasar ini, maka sekali lagi, kebebasan beragama termasuk juga di dalamnya kebebasan untuk mengekspresikannya. Karena agama, tidak hanya menyangkut keyakinan personal, tetapi juga berarti di dalamnya adalah manifestasi atas keyakinan tersebut.
Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 18 ayat 3 dijelaskan bahwa pembatasan terhadap ekspresi keyakinan keagamaan (forum eksternum) memang bisa dilakukan. Pembatasan itu hanya bisa dilakukan melalui hukum, dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Dengan begitu, pemerintah memiliki dasar untuk melakukan pembatasan dengan merujuk pada ICCPR yang sudah diratifikasi melalui UU nomor 12 tahun 2005.
Meski umur dari instruksi Dirjen Bimas Islam ini cukup lama, tetapi dalam batas-batas tertentu aturan itu masih sangat relevan untuk kondisi saat ini. Aturan yang dikeluarkan ketika Menteri Agama dijabat oleh Alamsyah Ratuprawiranegara ini memang butuh beberapa penyesuaian. Tetapi, semangat dari “Instruksi Kafrawi” itu memang masih layak untuk dijadikan sebagai bahan dasar, sebagai upaya pemerintah untuk mengatur lalu lintas hak warga negara.
Respon terhadap pengaturan pengeras suara tsb, merupakan gambaran sejauh mana umat islama memahami ajarannya, Anjuran pak Budiono maupun Pak Kalla sangat positif bagi citra agama islam itu sendiri.