Machasin mengajukan lima kriteria tentang agama yang bisa dilayani tersebut. “Pertama adalah adanya sistem ajaran, kemudian sistem peribadatan dan ada umatnya,” terang Staf Pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta itu. Ia kemudian menambahkan dua syarat yang lain, yakni bisa dibuktikan secara historis bahwa agama tersebut dipeluk oleh orang Indonesia dan ada yang bisa mewakili dalam hubungannya dengan pemerintah.
Sementara Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Imam Azis mengatakan jika praktik diskriminasi terhadap umat beragama di Indonesia karena didasarkan pada pandangan yang salah kaprah mengenai agama. “Cara pandang kita terhadap agama itu sering memakai perspektif ideologis, benar dan salah . Ini menjadi masalah yang berkepanjangan,” terang Imam.
Salah satu dampaknya adalah muncul politik pemisahan, ada agama dan kepercayaan. “Agama itu juga kemudian dipilah lagi, ada agama yang diakui dan tidak diakui, agama yang sesat dan lain-lain,” kritik alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta tersebut. Agama kemudian diatur oleh Kementerian Agama sementara Kepercayaan ada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Imam Azis menyerukan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap apa yang kita pikirkan sebagai agama. “Agama itu pengalaman penghayatan yang otentik. Inilah yang semestinya menjadi titik tolak dalam membangun peradaban kemanusiaan. Mestinya tidak ada pemisahan (agama dan kepercayaan, red), karena semuanya sama di hadapan hukum,” tambah pria kelahiran Pati Jawa Tengah itu.
Praktik diskriminasi, dalam amatan Machasin, sering muncul dan dilakukan oleh pemangku kepentingan di level kabupaten dan provinsi. “Misalnya problem dalam pemberian soal Kartu Tanda Penduduk dan pencatatan pernikahan bagi Jemaat Ahmadiyah di Manislor, Kuningan. Tidak ada peraturan di level nasional yang membatasi (KTP dan pencatatan pernikahan) itu. Tapi faktanya itu terjadi di tingkatan kabupaten,” tutur Machasin.
Ia menyayangkan praktik demikian yang dalam dugaannya sebagai imbas tawar menawar kepentingan antara para bupati, walikota atau gubernur dengan konstituennya. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin/001]