Ayah satu anak ini pun menyebutkan bahwa gebyar tradisi dugderan sudah menjadi pesta rakyat. Ia menuturkan, karena perayaan tersebut turut menampilkan tari japing, arak-arakan dan tabuh beduk oleh walikota Semarang. Namun, imbuh dia, proses ritual atau pengumuman awal puasa tetap menjadi puncak acara yang masih bersifat sakral bagi para tokoh masyarakat. “Makanya, jangan tonjolkan soal untung-rugi di dugderan, tapi perjelas sebagai peristiwa budaya dengan dasar religiositas kosmologis,” ungkap penulis buku ‘Photagogos: Terang Gelap Fotografi Indonesia,’ Jumat (20/6).
Tubagus memaparkan, akar sejarah dugderan kali pertama dicanangkan Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Adipati Aryo Purboningrat. Menurutnya, hal ini lantaran sebagai symbol kedekatan pejabat dengan rakyat yang secara spontan lalu menjadi produk budaya. “Sehingga peristiwa dugderan ini hanya perlu ditata rapi dengan sekala diperkecil, asalkan konsepnya seperti awal sejarahnya. Tak perlu jadi peristiwa gigantik,” ujar pria berkacamata ini.
Selain itu, lanjut dia, bila dugderan diswastakan dan sponsor datang, bisa jadi hajatan rakyat tersebut kehilangan rohnya. Tubagus menyatakan bahwa peristiwa dugderan yang diswastakan tersebut kelak bisa menghilangkan narasi kerakyatan dan religiositasnya. “Coba periksa saja dengan cermat. Apa beda keramaian di Kota Lama, Pasar Imlek Semawis atau Festival Pandanaran? Cuma keramaian tak berisi,” terang suami Sia Poo Ing.
Meskipun demikian, pihaknya mengakui, orang sering lupa bahwa suatu tradisi rakyat yang bersifat religi kosmologis semestinya tak perlu dirusuhi dengan inovasi atawa tumpukan kapital. Padahal, kata dia, yang jadul dan merakyat tak mesti diubah dengan tampilan kinyis-kinyis. “Yang penting esensi dijaga dan tatanannnya dirapikan. Biarkan dugderan sebagai santir pesta rakyat kecil yang ngalap berkah jelang ramadhan. Wujudnya yang jadul hingga abad 21 ini akan elok dan nostalgis,” beber penyuka sayur hijau.
Lebih jauh Tubagus menambahkan, Kota Semarang ini memang nanggung dan terasa cemplang. Pasalnya, kata dia, akademisi dan birokratnya tak pernah belajar apa itu kebudayaan. Tubagus menyampaikan, mereka yang kreatif dugderan tak mesti kalangan swasta saja. Yang penting, saran dia, pejabat mau belajar dengan dasar nalar pelayanan kepada publik. “Sehingga bahwa pengelolaan dugderan harus kreatif itu benar. Tapi tetap harus berorientasi kepada nalar peristiwa itu pesta rakyat dengan ciri religi kosmologis,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]