Faktor Ekonomi sebagai Penyebab Konflik

[Semarang –elsaonline.com] Saat Geger-geger Pacinan di Jakarta, di Semarang tak terlalu menguat konflik horizontalnya. Sekira tahun 1740-an di Batavia ada pembantaian, Begitu juga di Solo dan Medan. Namun di Semarang tak terjadi huru hara seperti dikota lain.

Menjawab hal itu, Sejarawan Semarang Rukardi mengatakan, dalam Geger Pacinan, warga Tionghoa di Semarang justru berkoalisi dengan orang Jawa melawan kompeni. Inilah fakta menarik yang ada di Semarang. Sekira awal abad ke-20, terjadi konflik sosial antara warga pribumi dengan Tionghoa di Kampung Brondongan.

“Ada seorang warga Tionghoa berseteru dengan pribumi karena melemparkan sekerat daging babi di musala kampung itu. Tapi peristiwa itu lebih dilatari oleh faktor ekonomi,” kata Ketua Pegiat Sejarah (KPS) Semarang, beberapa waktu lalu.

Dalam kejadian itu, lanjut Rukardi, orang Tionghoa bernama Liem Mo Sing alias Bligo dicincang warga. Konflik itu berawal dari warga pribumi yang berafiliasi pada Sarekat Islam mendirikan warung semacam koperasi. Akibat pendirian warung itu, toko milik Liem Mo Sing dan warga Tionghoa lain di kampung itu tidak laku.

Nuansa Politis
Pemimpin Redaksi Tabloid Cempaka ini menceritakan, pada masa kemerdekaan, terjadi beberapa konflik rasial di Semarang. Terutama antara warga Tionghoa dengan pribumi. Namun tak berhubungan dengan sentimen keagamaan. “Misalnya kerusuhan pasca peristiwa 1965 dan kerusuhan November 1980. Kerusuhan-kerusuhan itu lebh bernuansa politik,” paparnya.

Konflik sejenis juga sempat terjadi pada masa Reformasi. Ketika di Jakarta, Solo dan sejumlah kota lain terbakar oleh kerusuhan rasial, namun di Semarang justru aman-aman saja. “Permukiman warga Tionghoa di Pecinan, justru dijaga oleh warga pribumi,” terangnya. Inilah yang membuat unik Kota Semarang.

Baca Juga  Selama 2011, Terjadi Sembilan Pelanggaran

Sempat terjadi aksi teror terhadap gereja. Namun ini tak menjadi konflik yang membesar. ”Pada Natal 2001, Gereja Alfa Omega di Jalan Gajahmada dibom oleh orang tak dikenal. Tidak ada korban tewas dalam peristiwa itu. (Tapi) peristiwa itu tidak memicu konflik lebih besar,” tandas Rukardi. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin-Ceprudin-@Ceprudin/001]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Harmoni, Kemanunggalan dan Rasa: Menyelami Jawa yang terus Bergerak

Oleh: Tedi Kholiludin Budaya Jawa yang Adaptif Saya hendak mengawali...

Panggung Sosial dan Lahirnya Stigma

Oleh: Tedi Kholiludin Kapan dan bagaimana stigma bekerja? Karya klasik Erving...

Meritokrasi dan Privilege: Dua Wajah dari Keadilan yang Pincang

Oleh: Alfian Ihsan Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Setiap...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini