Banyak hal yang menjadikan NU berbeda dengan ormas lain. Gus Mus, sapaan akrabnya, menyebut salah satunya ada welas asih untuk masyarakat. Sejak awal berdirinya, NU memfokuskan untuk pemberdayaan masyarakat.
”NU itu beda dengan organisasi lain, unik. Meski sebelum 1926 (tahun berdirinya NU-red), sudah ada komunitas yang hampir sama. Ada santri dan kiainya,” tutur pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang ini, pada kesempatan Muskerwil PWNU Jateng, Minggu (8/6) malam.
Kiai yang punya banyak karya sastra ini menyebut, titik perbedaan NU dengan ormas Islam lain adalah ghirroh perjuangan untuk masyarakat. Selama 88 tahun, NU sangat getol keliling kampung untuk mengadakan pengajian di surau-surai.
Dengan cara itulah, NU berperan besar dalam menyebarkan Islam yang toleran, ramah dan menghargai perbedaan. Kiai-kiai kampung dengan suka rela keliling dari mushola ke mushola untuk memberikan pemahaman agama yang rohmatan lil alamain (rahmat bagi seluruh alam).
”Kiai-kiai NU, tak hanya ngurusi santri, juga rakyat banyak. Ada kiai yang mengurusi masyarakat, pedagang, dan ada pula yang mengurusi orang sakit. Masyarakat mau menanam, hajatan, dan minta jimat juga ke kiai. Semuanya sama, tak di Jatim atau Jateng, karena ghirroh berkhidmah pada umat itu (ruh) keturunan,” tandasnya.
Diikuti
Besarnya jasa-jasa kiai NU terdahulu tak terkira. Kala itu, para kiai welas asihnya pada umat awam itu besar. Sehingga rela berjihad keliling kampung untuk membantu masyarakat memahami ajaran Islam yang benar. Tentu Islam ala Indonesia.
Pada kesempatan itu, Gus Mus menyinggung sauatu ormas yang berdakwah di masyarakat hanya dengan mengartikan Alquran dan Hadis. Masyarakat awam, tidak pas jika diberikan definisi-definisi Alquran dan Hadis dengan mentah. Tanpa ditafsirkan menggunakan syarat-syarat dalam tata bahasa arab.
“Tidak seperti mereka (ormas lain) yang tak punya welas asih kepada umat. Umat awam ko suruh belajar langsung pada Qur’an dan Hadits. Terkadang mereka sendiri belum tentu paham Quran dan Hadis dengan baik,” tuturnya, sembari tersenyum simpul.
Ruh welas asih yang ada dalam tubuh NU itu, tak lepas dari penyebar Islam di Indonesia, Walisongo. Welas asih itu telah ditunjukan oleh Sunan Ampel yang kemudian oleh ulama-ulama sesudahnya.
“Mbah Soleh Darat (Semarang), dan ulama lain-lainnya contoh kiai yang welas asihnya sangat besar untuk umat. Karena itu, NU potensinya sangat besar,” tandasnya di hadapan ketua PCNU se-Jateng ini. [elsa-ol/cep-@ceprudin]