Hikmat

Oleh: Tedi Kholiludin

Amsal (Bahasa Inggris: Proverbs) merupakan kitab yang berisi kebijaksanaan-kebijaksanaan Salomo. Isinya sangat penting untuk menjadi bahan refleksi. Jika didudukkan dalam konteks keindonesiaan sekarang, substansi Amsal betapa penting untuk mengajak seseorang menjadi rendah hati, jujur, adil, penuh hikmat, bijaksana serta nasihat-nasihat lainnya. (1:1-6)

Mereka yang berpengetahuan, seturut diingatkan dalam Amsal, mula-mula adalah orang yang takut akan Tuhan. Orang bodoh atau tak berpengetahuan justru menghina hikmat dan didikan. Amsal mengingatkan bahwa pengetahuan yang didapat itu atas “restu” Tuhan. Ada kuasa di luar diri manusia yang menjadi jalan bagi diterimanya pengetahuan. Ia hadir sebagai anugerah bagi manusia. Karenanya, orang berilmu tapi sombong atau congkak, bukanlah karakter yang dikehendaki oleh Amsal.

Salah satu dari 39 kitab dalam Perjanjian Lama ini ditulis oleh Salomo pada kurang lebih tahun 945 SM. Ia ditulis untuk anak sang Penulis, yang kemungkinan adalah Rahabeam. Makanya dalam banyak kutipan, Amsal selalu memulainya dengan “Hai Anakku”.

Karena strukturnya yang puitik, maka para sarjana Teolog mengingatkan untuk menggali makna ini secara eksegesis, juga hermeneutis untuk menangkap hakikatnya.

***

Perjanjian Lama terdiri dari tiga bagian; Torah (Hukum-hukum), Nebim/Nevi’im atau nabi-nabi dan Ketubim/Ketuvim yang kurang lebih berarti tulisan. Tentang hukum-hukum, kita bisa mendapatinya dalam kitab Kejadian-Ulangan.

Sementara Nabi-nabi awal yang ada di Perjanjian Lama adalah Yoshua-2 dan Raja-raja. Nabi kemudian Yesaya-Jeremiah-Yehezkiel dan 12 nabi (Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikah, Nahum, Habakuk, Zefannya, Hagai, Zakaria, Maleakhi).

Bagian ketiga dari Perjanjian Lama adalah tentang Tulisan-tulisan atau Ketuvim. Amsal termasuk dalam salah satu kitab-kitab puitik selain Mazmur dan Ayub.

Sebagai sebuah nasihat, Amsal penuh dengan kalimat-kalimat epigramatik. Terdiri dari kalimat pendek berisi nasihat dan dalam.

Baca Juga  Rakyo: Penganut Sapto Darmo Mencari Keluhuran Budi

Saya kutipkan satu nasihat Amsal yang bisa menjadi bahan perenungan.

Amsal 24:5 menjelaskan tentang siapa orang yang berwibawa itu. Yang berwibawa, bukanlah mereka yang memiliki harta ataupun tahta. Kekuasaan bukanlah alasan bagi seseorang untuk menjadi yang berwibawa. Bukan juga karena ia adalah keturunan dari keluarga bangsawan.

“Orang yang bijak lebih berwibawa dari pada orang kuat, juga orang yang berpengetahuan dari pada orang yang tegap kuat.” Bijak adalah alasan kenapa seseorang menjadi berwibawa. Hikmat atau bijaksana memancar dalam diri seseorang bukan karena ia menciptanya. Orang yang bijak, kata Shakespeare adalah mereka yang menganggap dirinya bodoh, sementara orang bodoh itu kerap menilai dirinya sebagai orang bijak.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini