Oleh : Alhilyatuz Zakiyyah
(Pengelola Sekolah Kajian Gender eLSA)
Pada hari Sabtu (24/11) saya mengikuti sekolah gender di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islamiyah (PPTI) Salatiga yang kebetulan diasuh seorang perempuan, Bu Nyai Hj. Latifah Zoemri. Saya berangkat dari Semarang dengan semangat menggebu karena pembicaranya seorang laki-laki, yaitu Nur Hasyim pendiri Aliansi Laki-Laki Baru. Sesekali saya mengingat siapa saja tokoh feminis laki-laki yang pernah saya jumpai, sayangnya waktu itu tidak untuk membicarakan masalah gender. Ya, Tommy F. Awuy, dan Buya Husein Muhammad semoga panjang umur.
Kelas dimulai dengan mengajukan lima pertanyaan kepada peserta. Pertanyaan itu tentang: perasaan khawatir dilecehkan di angkutan umum, perasaan khawatir diperkosa pada malam hari ketika berjalan sendirian, perasaan bersalah ketika meninggalkan pekerjaan domestik rumah, keharusan meminta izin ketika keluar rumah, dan jenis kelamin yang memengaruhi untuk melanjutkan pendidikan. Jawabannya, perempuanlah yang selalu mengangkat tangan ketika pertanyaan itu diutarakan. Kecuali pertanyaan terakhir tidak ada yang mengangkat tangan.
Riset kecil di atas menunjukkan potret bagaimana ruang sosial yang patriarki masih mengakar pada masyarakat. Generasi muda dibebani kesalahpahaman warisan kultur yang seharusnya menjadi mitos, bukan ideologi yang dipatuhi. Nur Hasyim memberikan dua gambaran ketidakadilan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Ketidakadilan itu disebabkan adanya priviledge (perlakuan istimewa) dan power (kekuasaan) yang disandarkan terhadap laki-laki.
Pertama, perihal perlakuan istimewa. Nur Hasyim menceritakan pengalaman kehidupannya ketika berada di India tahun 2006. Sebagai seorang laki-laki dia mendapatkan perlakuan agung seperti Dewa. Perempuan di sana melayani laki-laki secara berlebihan. Pelayanan mulai dari dimasakkan air hangat untuk mandi, sampai disiapkan susu seperti perlakuan seorang Ibu terhadap anak. Potret perempuan mengurusi pekerjaan domestik terlihat di sini.
Sedangkan pada masyarakat kita sendiri contoh nyata yang dianggap final telah melalui proses perjuangan ialah pendidikan perempuan. Tetapi tetap saja kesejajaran laki-laki dan perempuan belum tuntas pada aspek lainnya. Dari riset kecil yang saya sampaikan di awal tadi sebenarnya menunjukkan bahwasanya konsep maskulin laki-laki telah merubah sesuatu yang sosial menjadi biologis. Sehingga sesuatu yang bernilai kultur berubah menjadi natural.
Perlakuan istimewa terhadap laki-laki ini mengakibatkan terbentuknya konsep maskulin yang memengaruhi citra ideal. Citra ideal ini akan merumuskan karakter bagaimana seorang laki-laki dan bagaimana karakter seorang perempuan yang seakan-akan stagnan. Misalnya seorang lelaki itu secara umum digambarkan tegas, bijaksana, bertanggungjawab, dan pemberani. Sedangkan perempuan itu lemah lembut, penurut, pandai memasak, rapi, rajin, sopan, dan ramah.
Belum lagi citra ideal yang berkaitan fisik. Laki-laki berbadan sispek, tinggi, gagah, sedangkan perempuan itu berkulit putih, berambut lurus hitam, dan badan langsing. Saya memahami bahwa Nur Hasyim mengkritik konsep maskulinitas laki-laki yang dekat dengan pembentukan individu superior, sehingga mudah melakukan kekerasan. Ini sebabnya banyak tindakan kriminal yang pelakunya adalah laki-laki.
Kedua, yaitu kekuasaan. Nur Hasyim menerangkan dengan memberikan contoh kehidupan rumah tangga. Saya rasa pendekatannya adalah penggunaan bahasa. Begini, jika seorang suami hendak bepergian, suami akan memberitahu kepada istri, sedangkan jika istri akan bepergian akan izin kepada suami. Meski sama-sama mengabarkan, tetapi konsekuensi bahasanya berbeda. Jika memberitahu konsekuensinya tidak perlu persetujuan sedangkan izin itu harus melalui persetujuan suami.
Perlakuan istimewa dan kekuasaan adalah analisa Nur Hasyim dalam memposisikan laki-laki. Wacana keadilan gender selama ini selalu memposisikan perempuan sebagai subjek dan objek. Menurut saya, Aliansi Laki-Laki Baru memberikan trobosan baru terhadap kajian keadilan gender yang merangkap pembahasan wacana dan ideologi praksis. Artinya, gerakan ini menempatkan posisi laki-laki sebagai subjek terhadap wacana keadilan gender.
Wacana pembongkaran konsep maskulin menjadi senjata penanaman ideologi. Konsep maskulin menjadi ramah berelasi dengan perempuan. Misalnya, yang baru-baru ini terjadi adalah kampanye memulai kesetaraan gender dari dapur. Anda dapat melihat iklan kecap ABC di televisi yang mengangkat isu ini. Saya bergeming, andai iklan sampo di televisi memperlihatkan perempuan yang berambut keriting, pasti citra perempuan cantik itu tidak hanya yang berambut lurus dan hitam berkilau.
Saya menyimpulkan bahwa isu keadilan gender harus dimulai dari ruang privat. Sebagaimana gerakan Aliansi Laki-Laki baru yang memulai gerakan dari ideologi yang sehari-hari, yang biasa dan umum untuk diluruskan. Skala besar tentu dimulai dari skala kecil. Ruang publik tidak akan terjadi tanpa adanya ruang privat yang membentuk.
Ruang privat saya umpamakan seperti relasi dalam keluarga. Keluarga adalah relasi paling penting, paling utama dan pertama terjalin dalam interaksi manusia. Saya pikir konsep keadilan gender yang dimiliki sebuah keluarga menjadi kerja untuk masa depan. Sebab di dalam keluarga terdapat generasi yang mewarisi pola tindakan orang tua yaitu anak. Maka, melakukan gerakan keadilan gender di dalam keluarga adalah sebuah keharusan demi mewujudkan keadilan sosial. Jika ditelisik lebih jauh keadilan gender bagian dari keadilan sosial.
Seorang Ayah turut melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga tidak hanya menjadi pekerjaan Ibu. Tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Rumah diciptakan oleh dua orang, seharusnya yang merawat pun Ayah dan Ibu. Ayah membantu Ibu di dapur, Ayah memasak, mencuci dan menyapu bukanlah keistimewaan. Tetapi hal wajar yang harus dibiasakan. Sebagaimana jika Ayah membaca koran, pun Ibu memiliki keluangan waktu membaca koran seperti Ayah.
Saya memiliki Ibu dan Ayah. Kedua orang tua saya bekerja. Saya melihat bahwa Ayah saya turut melakukan pekerjaan domestik, seperti mencuci, melipat pakaian dan mengepel lantai. Saya mengenang Ayah saya sebagai maskulin yang tidak keras, penuh kasih sayang dan tegas. Maka jika kekerasan banyak dilakukan lelaki, itu kemungkinan besar konstruksi sosial konsep maskulin yang tidak dirubah.
Mempelajari keadilan gender tidak cukup sebatas wacana dan berhenti pada pembacaan buku-buku. Apalagi sebagai seorang perempuan, tentu harus dimulai dari dalam diri sendiri melawan ketidakadilan yang menghampiri baik secara privat atau publik. Dalam paradigma ilmu pengetahuan kita tidak berhenti sebatas epistimologi atau ontologi tetapi bagaimana dunia aksiologi itu bekerja. Dalam Islam dikenal akhlak, jadi bagaimana suatu ilmu itu harus diamalkan.
Ketika hendak pulang, ada pertimbangan dalam hati saya untuk berziarah ke makam Jugun Ianfu termuda se-Asia Tenggara. Ia bernama Sri Sukanti yang meninggal tahun lalu. Pada usia 9 tahun diculik Jepang. Sebagai perempuan, jiwa saya turut menangis mendengar kisah Sri Sukanti yang menjadi korban perbudakan seks sekitar tahun 1942-1945. Karena waktu mengharuskan segera pulang, akhirnya saya hanya bisa mengingat dalam hati saya tentang Sri Sukanti.
Sebuah pondok pesantren yang diasuh seorang perempuan, pembelajaran dari Aliansi Laki-Laki Baru yang saya terima, juga memori tentang Sri Sukanti adalah tiga hal dalam satu titik temu perihal gender yang sekaligus menjadi the prejudice of comparison (prasangka perbandingan) dalam pendangan saya. Prasangka itu lebih jauh, barangkali akan menilai laki-laki yang saya hadapi memiliki perspektif keadilan gender atau tidak.
Terakhir saya ingin memuji para Ayah yang memasak; “Ayah memasak, Ayah keren!” (Red: Fais-009)
[…] ini merupakan bentuk komentar dari tulisan Alhilyatuz Zakiyah yang judulnya “Ayah Memasak: Upaya Keadilan Gender di Ruang Privat” sebagai prolognya, pertama, saya tidak bermaksud menceremahi. Kedua, saya ingin mengatakan: judulnya […]