Wahyu atau Tafsir atas Wahyu?: Kritik Atas Tulisan Ali Masruri

oleh: Fia Maulidia (Pimpinan Umum Justisia)

Walau sudah hampir 4 tahun sejak esai milik Ali Masruri dengan judul “Argumen Gender Berbasis Wahyu: Kritik Atas Tulisan Alhilyatuz Zakiyyah” diterbitkan, saya tetap ingin membalasnya dengan tulisan. Bukan apa-apa, ini adalah satu upaya merawat nalar dan budaya ilmiah yang makin ke sini makin ke sana.

Sejak mula saya membaca, saya langsung mbatin: “Mas Ali banget iki!”. Pilihan diksi, argumentasi yang dipilih, dan cara bertutur dalam esai tersebut benar-benar mewakili sosok yang saya anggap guru pertama di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu. Walau demikian, setidaknya ada dua hal penting yang ingin saya soroti: Pertama, soal logika yang ia bangun dalam tulisan. Kedua, soal argumentasi yang ia pilih dalam mengkritik konsep kesetaraan dalam feminisme.

***

Mari kita mulai dengan kalimat “Kesetaraan gender ini adalah buah pemikiran manusia yang harus diapresiasi sebagai bentuk khasanah ilmu” yang ia tulis di paragraf pertama. Dengan judul tulisan “Argumen Gender Berbasis Wahyu: Kritik Atas Tulisan Alhilyatuz Zakiyyah”, saya berasumsi bahwa Ruri sebenarnya ingin menyorot basis konsep gender yang dikemukakan Hilya sebagai “buah pemikiran manusia” sedang konsep gender yang diusungnya berbasis “wahyu”.

Dalam esai tersebut, terlihat jelas bagaimana Ruri menganggap konsep gender yang dibangun dari pemahamannya atas ayat Ar Rijalu Qowwamuna Ala Nisa (literally hanya ditulis sepotong itu saja, tidak ditulis dan dijelaskan secara utuh) atau pendapat satu mufassir yang ia kutip tanpa menyebut kitabnya itu, sebagai sesuatu yang naqlan, kodrati, dan qoth’i (secara pribadi saya muak dengan argumentasi yang ia pakai untuk mengkritik konsep kesetaraan dalam feminisme).

Sedang argumentasi yang dikemukakan Hilya, dinisbatkannya sebagai produk akal, bahkan “nalar liar” sehingga harus distop dengan ayat QS. Al-Mu’minun: 71. Hal itu tampak semakin jelas ketika ia menulis:

Na’asnya, kita lebih sering mendewakan akal dan melupakan ajaran yang bersifat “naqlan“”.

Lupa, bahwa pemahamannya atas QS. 4:34 itu juga produk akal. Sehingga, ketika didekati dengan analisis atau teori tertentu, tentu saja bisa digugat dan dipertanyakan. Ruri secara ironi menutup pintu diskusi khazanah pengetahuan Islam itu sendiri dengan menempatkan tafsir dan pemahamannya atas ayat QS. 4:34 di kanal qath’i.

Logika yang ia bangun dalam tulisan itu sebenarnya sudah hancur ketika kita melihat kembali bagaimana aturan berdiskusi dalam logika dasar. Ushul tidak bisa berdiri di atas furu’, aturan itu saya kira jelas Ruri ketahui ketika belajar mantiq.

Baca Juga  Politik Sebagai Kontestasi: Tanggapan atas Siti Rofiah

Feminisme berikut konsep dan ide soal kesetaraan seharusnya bisa dipahami Ruri sebagai ushul, suatu pondasi. Sedang ia membantah konsep itu menggunakan satu ayat Al Qur’an yang lebih tepat jika ditempatkan sebagai furu’ atau ranting-ranting dari satu sistem teologi. Hal ini akan lebih lucu jika yang membaca bukan orang Islam, padahal esai itu dirilis di laman elsaonline.com yang mengusung tagline voice of the voiceless.

Selanjutnya, argumentasi yang dikemukakan Ruri sebenarnya sangat lemah bila tidak bisa disebut mansplaining. Lihat saja bagaimana ia melihat kewajiban izin seorang istri kepada suami dalam mazhab syafi’i:

..saya tetap memakai kaca mata kasih sayang dan keadilan kepada kaum perempuan. Namun, bisa jadi pendapat Syafi’iyah tersebut bermaksud untuk melindungi kaum perempuan tanpa ada unsur menonjolkan superioritas laki-laki. Husnudzon (berbaik sangka) lebih baik daripada su’udzon (berburuk sangka). Sebab kejahatan terhadap perempuan yang masif terjadi.

Saya membacanya dengan getir, normativitas lelaki dalam melihat, menganalisis, bahkan memproduksi hukum syari’at sangat kuat bercokol. Lupa, bahwa produksi ilmu pengetahuan periode klasik menjadi sebab dari lahirnya pemahaman agama yang androsentris, otoritas keagamaan yang didominasi laki-laki.

Laki-laki berfikir, menulis dan menafsirkan teks agama menjadi pola berulang yang kemudian melahirkan normativitas etis atau yang disebut Zahra Ayubi dalam Gendered Morality sebagai Normativitas Lelaki. Ruri seharusnya tidak meletakkan lensa “kasih sayang kepada Perempuan” yang seksis itu dalam kaca mata yang dipakainya.

Ia seharusnya bertanya balik, kalau banyak kejahatan terhadap perempuan, kenapa tidak kejahatannya saja yang dihilangkan? Mengapa perempuan yang harus “dirumahkan”? apakah dengan merumahkan perempuan, kejahatan itu kemudian akan hilang?

Logika ini sebenarnya sangat sederhana, bukan? Lagi pula, dalam event tahunan Islamic Studies (ed. acara yang diadakan Justisia) kita juga terus bertanya dan mencari ulang makna di balik teks yang dianggap suci, yang digunakan sebagai senjata politik dan dominasi.

Baca Juga  Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Terjadi?

Memang menjadi salah satu fakta paling mengherankan dalam sejarah Islam, ketika kemapanan agama melahirkan bangunan penindasan terhadap perempuan berdasarkan QS 4:34, ayat yang Ruri kutip sebagai argumentasi utama tulisannya.

Ayat ini menjadi senjata utama untuk menundukkan perempuan dengan argumentasi: pria qawwamun atas perempuan, karenanya harus menjadi pemimpin mereka (walau tidak jelas pula makna qawwamun seperti apa yang dimaksud?), implikasinya, perempuan harus mematuhi suaminya untuk bisa disebut shalihah.

Banyak ulama kita kemudian menghiasi interpretasi mereka atas ayat tersebut dengan beberapa hadis, sebagian berupa hadis palsu dan sebagian lagi hadis yang dipisahkan dari konteksnya. Dalam batas tertentu, secara tidak langsung sampai mengajarkan suatu jenis penyembahan kepada suami.

Sebelum meneruskan tulisan ini, saya ingin menyampaikan hal yang sampai saat ini saya yakini: wahyu Allah pastilah adil, tapi penafsiran manusia atasnya, tidak selalu demikian.

Karena itulah, pandangan konvensional yang tidak mengakomodir kemanusiaan perempuan dapat digugat dengan beberapa prinsip:

1. Tafsir yang benar tidak boleh didasarkan pada ayat tunggal, apalagi yang dipisahkan dari konteksnya. Kita harus melihat ayat al-Qur’an lain yang berbicara tentang tema yang sama.

2. Ayat-ayat al-Qur’an diturunkan dalam beberapa tahap (seperti yang dinyatakan dalam QS. 25:32 dan 87:6) ayat terakhir dari suatu tema harus diambil sebagai penetapan final al-Qur’an tentang hal itu. Ex: ayat tentang khamr yang pertama kali turun adalah QS. 2: 219, ayat tersebut hanya menjelaskan bahwa khamr mengandung madharat besar. Ayat selanjutnya yang turun berkaitan dengan khamr adalah QS. 4:43, di ayat tersebut, mulai ada larangan shalat dalam keadaan mabuk. Ayat terakhir yang turun berkaitan dengan khamr adalah QS. 5:90-91, pada ayat inilah hukum khamr haram.

3. Tafsir al-Qur’an harus cocok dengan kehidupan dan ajaran Nabi Muhammad Saw karena menurut Sayyidah Aisyah, beliau adalah “Al-Qur’an yang hidup”.

Sebagaimana kita lihat, bangunan penindasan terhadap perempuan yang didasarkan pada penafsiran parsial QS. 4:34 akan runtuh berantakan jika diuji dengan prinsip-prinsip tersebut. Beberapa Argumentasi yang bisa kita ajukan adalah:

1. QS. 4:34 Bukan Satu-satunya Ayat yang berbicara tentang relasi suami-istri
2. Jarak waktu pewahyuan
3. Konteks turunnya ayat tersebut

Baca Juga  Fenomena Hijrah dan Kontestasi Islam Eksklusif dan Inklusif

Lalu, bagaimana sebenarnya konteks ayat ini turun?

Ayat ini diturunkan pada periode Madinah awal. Dalam Menggugat Tuhan yang Maskulin (The Struggle of Muslim Women), Dr. Kaukab Siddique menjelaskan bagaimana kondisi sosio-historis ketika ayat ini diwahyukan.

Masyarakat pra-Islam menempatkan perempuan tak lebih dari harta yang dimiliki oleh laki-laki. Bahkan, anak laki-laki bisa “mewarisi” istri ayahnya berikut hewan ternaknya. Secara revolusioner, Al-Qur’an melarang waris-mewaris semacam ini.

Al-Qur’an berisi ayat-ayat yang tegas mengutuk praktek ini dan mencela motivasi yang mendorongnya. Pada tahap awal di mana Islam baru saja menjadi sistem kehidupan, Islam menghendaki agar para suami mengambil langkah-langkah tertentu untuk menghentikan kemaksiatan tersebut.

Kenapa laki-laki? tentu saja karena sistem sosial pada masa itu hanya memungkinkan bagi laki-laki untuk bergerak. Hal tersebut menjadi langkah strategis paling tepat dalam mengorganisir masyarakat.

Dalam bahasa kita hari ini, laki-laki dan para suami pada masa itu sedang diminta oleh Allah untuk melakukan affirmative action untuk menolong perempuan. Dalam konteks inilah QS. 4:34 diwahyukan.

Pada gilirannya, Allah Swt berpesan kepada perempuan untuk menjaga dirinya sendiri. Artinya, ayat ini memerintahkan perempuan untuk memelihara diri mereka sendiri sebagai hamba Allah Swt. Secara tidak langsung, ayat ini justru mendorong agensi perempuan yang dilucuti berabad lamanya.

Ada banyak ayat yang berbicara ihwal relasi suami dan istri, juga memuat spirit kesetaraan dan keadilan. Dalam istilah Dr. Nur Rofi’ah, Bil. Uzm, ayat ini adalah ayat antara, sama sekali belum final. Tujuan finalnya tentu saja rahmat bagi semesta. Saya agak cringe ketika menyebut kalimat itu. Lah bagaimana tidak, wong kemaslahatan saja masih dimonopoli!

Kita seharusnya juga membuka mata bahwa fakta pembebasan perempuan dari Tradisi Jahiliyah yang misoginis dan patriarkal pada masa kenabian (6-7 M) menjadi tasyri’ kesetaraan dan keadilan gender, karena sejak itu, perempuan mulai mengisi ruang publik.

Pada zaman sahabat (7-8 M) pun, banyak bermunculan perempuan-perempuan dengan posisi politik yang kuat, seperti Sayyidah Aisyah RA. Keterlibatan perempuan dalam urusan politik dan tak terbatas pada wilayah pendidikan dan produksi pengetahuan semata.

Lalu, mengapa hari ini arah pembebasan perempuan kembali dibenturkan pada dogma agama? (ed. PS)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini