Oleh: Tedi Kholiludin
Perjumpaan saya (secara personal maupun bersama teman-teman di Yayasan Pemberdayaan Komunitas [YPK] Lembaga Studi Sosial dan Agama [eLSA]) dengan kelompok Mennonite di Indonesia lebih banyak terjadi di lapangan. Tahun 2009, saya mengisi konven pendeta Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) di Bandungan. Kebetulan salah satu teman kuliah di Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga adalah pendeta di GITJ Jepara. Beliaulah yang mengundang saya ke sidang tahunan para pendeta di Gereja “Menonit Jawa” tersebut.
Tema yang saya bawakan di konven itu adalah soal konflik, negara dan dinamikanya di Indonesia. Bahasan yang sealur dengan tesis di UKSW. Setelah sesi, seorang pendeta menghampiri saya, mengenalkan diri. Ia berkisah tentang gerejanya yang sudah 5 tahun lamanya kurang lebih tidak bisa digunakan. Padahal prosedur formal sudah ditempuh. Pemerintah tetap tak bergeming. Mereka akhirnya hanya bisa beribadah dari rumah ke rumah dan terkadang, harus menempuh perjalanan 7 kilometer untuk bisa bergereja. Sejak saat itu, saya kerap dimintanya untuk bertukar pendapat mengenai strategi advokasi. Sayangnya, hingga sekarang, beragam cara yang telah diupayakan belum menemukan hasil.
Tahun 2010, Sumanto Al Qurtuby yang tengah menempuh program doktoral di Boston University mengirimkan beberapa naskah kepada saya. Tulisan-tulisan itu, katanya, adalah kisah ia ketika hidup bersama kelompok Mennonite Amerika kala dirinya nyantri di Eastern Mennonite University (EMU). Saya dan teman-teman eLSA kemudian mempermak paper-paper tersebut hingga terbitlah buku “Among the Believers: Kisah Hidup Seorang Muslim Bersama Komunitas Mennonite Amerika” pada 2011. Ketika menyunting buku inilah saya belajar tentang teologi kelompok, yang oleh Sumanto disebut “Kristen Salafi” ini. Untuk memperdalamnya, saya mengaji kepada teman-teman Pendeta GITJ maupun Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI). Tak lupa, tahun 2012 saya ziarah ke Makam Tunggul Wulung di Bondo, Bangsri, Jepara.
***
Ada banyak pertanyaan hinggap dalam benak saya tentang potret kelompok Mennonite di Indonesia. Apakah perkembangan kelompok ini juga mengikuti ritme kebudayaan masyarakat Indonesia? Setiap ajaran yang hendak mendarat di satu masyarakat, pasti akan bernegosiasi. Fleksibilitas dan dinamisasi mungkin terjadi jika ada agen yang mampu melakukannya. Scott Appleby (2002) setidaknya menyinggung peran pemimpin atau tokoh agama dalam mengaktualisasikan peran agama; sebagai sumber konflik atau penyembuh luka. Dalam situasi tersebut, negosiasi antara yang sakral-profan, universal-partikular, akan terjadi. Ini yang sebenarnya, ingin saya ketahui, elemen-eleman manakah dari doktrin atau ajaran Mennonite yang kemudian dicerna ulang sesuai dengan konteks lokalnya.
Pertanyaan berikut yang ingin saya ketahui adalah perspektif Mennonite tentang negara. Dalam rentang sejarah Mennonite, ada kecenderungan untuk menjaga jarak dengan negara. Penerimaan terhadap pemerintah terjadi, tetapi ada otoritas yang harus dijaga batasnya dengan baik. Hanya pada aspek yang bersifat duniawi saja negara boleh mengintervensi warganya. Dalam hal yang berhubungan dengan iman, maka negara tidak boleh masuk ke dalamnya. Untuk negara yang memiliki relasi biner dalam soal agama-negara (teokratis atau sekuler) masalah tentu tak pelik dipecahkan. Lagi-lagi, jika kemudian dihadapkan pada hubungan agama dan negara seperti yang terlihat di Indonesia, maka menarik mencermati kelompok Mennonite menerjemahkan dasar doktrinalnya. Apa pasal? Kita semua tahu bahwa hubungan antara agama dan negara tidaklah pada posisi diametral berhadap-hadapan, juga tidak menubuh.
Pertanyaan lanjutan yang memenuhi rasa penasaran saya adalah tentang kondisi yang memungkinkan mereka bisa bertahan dengan gerakan nir-kekerasan. Saat menemani teman-teman GITJ memperjuangkan bangunan gereja yang tak jua diizinkan, saya bertanya di dalam hati, “kira-kira dalam batas apa semangat nir-kekerasan itu terhenti?” Saat intimidasi, “kekerasan verbal,” “violence by judicial” menerpa mereka, apakah harus terus bertahan di garis demarkasi?
***
Tahun 2019, saya diminta membaca dan memberi tanggapan atas karya yang ditulis Intelektual sekaligus Pendeta Menonite, Daniel K. Listijabudi. Judulnya, “Spiritualitas Mennonite.” Buku itu memang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan, tetapi, masalah pokok yang mesti dipahami sebelum melakukan konstekstualisasi, didedahnya. Pertama, sejarah dan perkembangan kelompok Anabaptis-Mennonite. Mengetahui dinamika sosial, politik maupun doktrinal, bermakna banyak hal. Selain bisa menjadi jembatan untuk memahami situasi kebatinan para guru moral di massa-masa awal, pengetahuan terhadap sejarah melahirkan nilai-nilai edukatif juga inspiratif. Kedua, nilai-nilai pokok yang disarikan dari iman kelompok Anabaptis-Mennonite. Perdamaian dan gerakan nir-kekerasan sebagai elan vital gerakan Mennonite menjadi tema besar kaitannya dengan tema ini. Non-resistance dan non-violent resistance menjadi ranah spiritualitas dari Anabaptis-Mennonite (hlm. 47).
Seperti yang ditelaah oleh Listijabudi, sejarah awal Anabaptis-Mennonite, akan dikenang sebagai episode yang berdarah. Penguasa kota dengan “agama resminya” memenjarakan, mendenda, menyiksa orang-orang Anabaptis (hlm. 21). Anabaptis dituduh sebagai kelompok sesat, bukan pengikut Yesus, dan karenanya, tidak hanya sekadar dikucilkan, tapi juga dihilangkan nyawanya. Yang selamat dari persekusi, berhijrah ke tempat lain untuk mendapatkan perlindungan. Begitulah yang dialami kelompok-kelompok Anabaptis; Mennonite, Amish, Hutterite, Brethern dan lainnya.
Karenanya, kelompok Anabaptis tegas terhadap soal hubungan agama dan negara. Mereka menolak adanya gereja negara atau “agama resmi”. Negara tidak mengurusi iman. Tidak boleh ada warga negara yang dianggap sesat dan bidat oleh negara. Institusi ini harus netral dan terbebas dari klaim-klaim agama.
Jika diperinci, pandangan para pendiri Anabaptis soal negara sesungguhnya juga tidak tunggal. Ada yang memilih berdiri di tengah (tidak menolak berpartisipasi tetapi juga tidak mendukungnya), mendukung pemerintah sejauh mengikuti kebenaran Kristus, atau memilih untuk tidak berpartisipasi jika dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Meski berbeda pada tekanan detailnya, gerakan Anabaptis-Mennonite sepakat bahwa tidak ada “official religion”, karena jika itu terjadi, maka persekusi terhadap kelompok “non-official”, sangat mungkin dilakukan negara.
Daniel K. Listijabudi lalu merumuskan nilai-nilai Spiritualitas Mennonite atas bacaannya terhadap sejarah dan ulasan para guru moral Anabaptis. Pertama, Kepatuhan yang Membuah. Kedua, Kemuridan Radikal. Ketiga, nilai Pantang Kekerasan. Keempat, nilai peacemaking praxis untuk perjuangan keadilan restoratif dan transformasi konflik. (hlm. 41). Dua nilai pertama, bersifat internal. Ia terbangun sebagai sebuah kesadaran spiritual penganut Mennonite yang berasal dari tradisinya. Dua nilai berikutnya, adalah sisi yang bersifat universal. Ajaran tentang perdamaian dan kehendak menolak kekerasan adalah kontribusi Mennonite bagi publik. Gerakan perdamaian adalah artikulasi yang merupakan hasil pertautan antara penghayatan iman dengan sejarah sosialnya.
***
Ada banyak hal yang bisa diinternalisasi dari sejarah kelompok Anabaptis-Mennonit ini. Tapi saya hendak mengelaborasi dua hal singkat saja. Pertama, di fase awal, kita menyaksikan bahwa betapapun tiang gantungan sudah disiapkan untuk mereka yang mengimani gerakan Anabaptis, toh itu tak mengubah apapun. Mereka memilih menjadi martir untuk sebuah keyakinan. Persekusi terhadap kelompok yang dianggap bidat kerap terjadi karena banyak hal. Dan biasanya, itu tak hanya murni soal teologis. Kadang, ada soal lain yang bertaut dengan tuduhan penistaan, penodaan dan pengkhianatan.
Kedua, ini yang hemat saya, sebuah transformasi yang sangat radikal. Jika dalam sejarahnya penganut Anabaptis-Mennonite ini dikejar-kejar, bahkan dibunuh, tetapi situasi itu tidak lantas terinternalisasi dalam spiritualitas mereka. Justru, malah sebaliknya. Mennonite menjadikan perdamaian dan semangat tanpa kekerasan sebagai ruhnya. Tidak ada dendam kepada yang menindas. Mereka menyerukan untuk mengakhiri perang, meletakan senjata dan membangun kehidupan baru yang lebih humanis.