Tanggapan terhadap Narasi Sumanto Al-Qurtuby tentang hidup bersama dengan Komunitas Mennonite di Amerika
Oleh: Pdt. Yusak B. Setyawan[1]
“… saya akan mengawali perbincangan … dengan membahas tentang wacana ambiguitas agama.” (hlm. 1)
“… jika Mennonite bisa mengesampingkan urusan kemanusiaan dengan aktivitas missionarisme, mampu menjalankan misi kemanusiaan dengan tetap menghargai pluralitas agama, maka nama mereka akan semakin harum dan berkharisma sebagai kelompok agama yang komitmen terhadap nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan.” (hlm. 217)
Pertama-tama saya menyambut dengan hangat terbitnya buku yang ditulis oleh Sumanto Al-Qurtuby yang mencakup pengalaman-pengalamannya bergaul secara langsung dengan komunitas Mennonite Amerika Serikat, yang merupakan salah satu komunitas Mennonite tempat saya melakukan pengembaraan intelektual juga. Saya adalah bagian dari komunitas Mennonite global, dan bahkan sebelum saya menyadari identitas saya, sebelum saya dilahirkan, saya adalah orang Mennonite sama seperti Sumanto yang sebelum dilahirkan telah ditempeli dengan identitas ke-islamannya sebelum menyadarinya. Mennonite sendiri begitu beragam, namun sejauh yang saya tahu, identitas, sejarah, teologi terlalu banyak dikonstruksi oleh ahli-ahli Barat, terutama dari Amerika Utara dan Belanda, dan sebagian besar dari mereka adalah orang-orang Mennonite sendiri. Maka tulisan Pak Manto menolong saya untuk memahami apa itu Mennonite –yang adalah identitas saya- dari perspektif orang Indonesia, yang bukan Mennonite, dan bukan pula Kristen, sama seperti Sumanto mungkin semakin memahami identitas keislamannya melalui perjumpaan dengan komunitas Mennonite di Amerika Serikat.
Barangkali telah ada banyak cara pembacaan terhadap narasi pengembaraan intelektual-religius karya Sumanto Al-Qurtuby dalam buku Among the Believers (2011). Namun saya menyarankan cara lain untuk membaca buku setebal 217 halaman tidak termasuk bibliografi dan lampiran-lampiran serta autibiografi, yakni mempertautkan halaman 1 dan halaman 217 (halaman terakhir), dengan penekanan pada masing-masing satu kalimat sebagaimana telah saya kutipkan di atas. Dari dua kalimat pada alfa dan omega bukunya, ambiguitas dalam perilaku beragama mendominasi pergulatan pemikiran Sumanto tentang bagaimana memposisikan agama dalam masyarakat plural, trans-nasional dan global. Wajah kebaikan agama sering tak dapat dipisahkan dengan wajah beringas agama yang tampil dalam warna kekerasan, pembunuhan, perang, penindasan, kolonialisme, yang semua berkaitan dengan sisi lain dari agama. Sumanto, dipengaruhi oleh David Shenk mengusulkan agar agama dipahami secara lebih komprehensif, artinya, tidak melulu mengemukan wajah beringasnya saja, melainkan juga wajah agaman yang lebih santun, humanis, positif dan toleran.
Ambiguitas-ambiguitas tampil dalam lembaran-lembaran halaman di sepanjang narasi tentang pengalaman hidup, a life-changing experience, bersama dengan orang-orang Mennonite Amerika Serikat, terkhusus di Horrisonburg, Virginia, tempat yang juga telah mengasuh saya dalam perjalanan intelektual khususnya pada tahun 1989-1990 sebelum melakukan pengembaraan lebih jauh. Orang-orang Mennonite yang sungguh memberi inspirasi bagi Sumanto yang karena begitu terkesan menghiasi halaman-halaman bukunya adalah hampir sebagian besar adalah orang-orang yang saya kenal secara pribadi bukan hanya melalui perjumpaan intelektual melalui buku atau jurnal. Mereka adalah orang yang mempunyai komitmen tinggi terhadap keyakinan religiusitasnya, namun tetap membuka diri pada pengalaman keberagamaan yang berbeda bahkan dikatakan oleh Sumanto sebagai konservatif-inklusif yang berkesalehan sosial (hlm. 6 dan 7). Dan nampaknya corak keberagamaan semacam ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Sumanto yang barangkali sedang dalam proses ambiguitas religiusitasnya.
Pengakuan (confession) pribadi tentang diri sendiri menegaskan ambiguitas kepribadian Sumanto yang sangat mewarnai corak keberagamaannya (sesuatu yang tidak perlu dibaca secara negatif prasangkawi, melainkan sebagai suatu keunikan yang perlu penghargaan). Terlahir dari dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ambiguitas (Islam abangan), Sumanto Al-Qurtuby menunjukkannya bahkan dalam nama dirinya sendiri, yakni gabungan antara nama Jawa yang berakarkan bahasa Sansekerta (diberikan untuk suatu penghargaan persahabatan dengan guru Kristen Jawa yang mempunyai hubungan baik dengan ayahanda) dengan nama belakang yang beraroma Arab-Islam. Pada awal kariernya, ambiguitas terlihat dari keberaniannya sebagai lulusan IAIN yang bekerja pada tabloit yang didirikan oleh tokoh-tokoh keturunan Tionghoa Indonesia. Sebagai muslim yang belajar di UKSW dan di EMU/S dengan sponsorship dari MCC dan bergaul dengan tokoh-tokoh Kristen memperlihatkan dimensi lain dari ambiguitasnya.
Bahkan buku yang ia tulis yang sedang saya ulas ini penuh dengan nuansa ambiguitas. Ia adalah muslim Jawa, yang menyebut Nabi Muhammad dengan gelar keningratan Kanjeng, namun Sumanto yang mengemukakan gagasan-gagasannya dengan mempertautkannya dengan ajaran-ajaran Kristen yang diketahuinya plus kutipan-kutipan dari Alkitab dengan menggunakan kata-kata tercampur Indoensia yang beraroma Bahasa Inggris dengan sengaja atau tidak sengaja walaupun padanan-padanan kata Bahasa Inggris telah tersedia dalam bahasa Indonesia, misalnya Greek untuk Yunani (hal. 115), atau forgiveness untuk pengampunan, non-violence untuk anti-kekerasan (117). Namun di sisi lain kata-kata Arab khas muslim juga dipakai dengan begitu bebasnya. Ambiguitasnya lainnya, Mennonite yang telah membuat dia terpesona, adalah komunitas minor tetapi mempunyai peranan mayor dalam diskursus perdamaian global. Walaupun menolak usaha untuk meng-Kristenkan orang lain, namun Sumanto senang juga kalau ada orang yang memeluk Islam (hal. 110). Amerika Serikat yang dikenal melalui genre film Hollywood, ternyata juga Amerika Serikat yang mempunyai komunitas-komunitas semacam Old Order Mennonite (dan juga Amish) yang anti kehidupan hedonis ala Hollywood yang dianggap unholy.
Dalam bingkai ambiguitas kehidupan (beragama) semacam itu, concern utama dari Sumanto adalah bagaimana kekerasan, dehumanisasi, penindasan, pembunuhan yang terjadi termasuk yang dilakukan atas nama agama dapat diminimalisasikan agar dunia dapat ditransformasikan menjadi tempat yang damai di mana manusia-manusia yang beragama hidup bersama, terutama di Indonesia. Sambil memperkenalkan Mennonite yang menekankan peacemaking dan peacebuilding, Sumanto juga bergelut dengan persoalan bagaimana mendudukkan agama dalam realitas plural masyarakat yang rentan terhadap persoalan-persoalan kekerasan berbasis agama. Ia menekankan pentingnya ide pluralisme sebagai usaha sengaja, suatu perjuangan bersama untuk hidup bersama mengatasi perbedaan, given diversity and plurality. Maka, Sumanto tidak boleh dikritik sebagai penulis yang secara superficial memperkenalkan apa itu Mennonite, karena bukan itu maksud utama dari buku ini. Misalnya, konsep tentang adult baptism (hal. 12), bagi komunitas Mennonite istilah ini amat jarang dipakai karena mereka karena mereka memakai istilah yang lebih mencerminkan keyakinan iman mereka, yakni biliever baptism, baptisan orang percaya. Bagi mereka yang mau mendalami sejarah kemunculan Mennonite, bisa dibaca buku Anabaptism in Outline yang diedit oleh Walter Klaassen (Waterloo/Scottdale: Herald Press, 1981), atau Anabaptist History and Theology, oleh C. Arnold Snyder (Kitchener: Pandora Press, 1995). Versi singkatnya dari buku yang terakhir telah saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Bagi yang sekedar ingin tahu tentang Mennonite, buku kecil yang pernah saya terbitkan berjudul Radikalnya Reformasi: Sekilas Sejarah dan Teologi Anabaptis bisa dijadikan refrensi. Tulisan-tulisan yang ditulis oleh penulis-penulis Mennonite, khususnya tentang perdamaian dapat dilihat dalam Annotated Bibliography of Mennonite Writings on War and Peace: 1930-1980, diedit oleh Williard M. Swartley dan Cornelius J. Dyck (Scottdale/Kitchener: Herald Press, 1987).
Namun kiranya perlu untuk digaris bawahi bahwa komunitas Mennonite tidak secara instan menemukan identitasnya sebagai gereja yang menekankan pada perdamaian. Saya harus menegaskan bahwa dalam perkembangan awal gerakan Anabaptis (yang menjadi cikal bakal dari Mennonite), Thomas Muntzer salah satu tokoh Anabaptis menyerukan pemberontakan bersenjata dengan menggalang kaum petani dengan melawan tentara profesional dibawah kepemimpinan Philip Hesse pada tahun 1525. Pemberontakan bersenjata yang dilakukan untuk menyongsong kedatangan zaman akhir seperti yang dinubuatkan oleh Kitab Daniel berakhir dengan kematian tragis 6.000 petani dan akhirnya pada akhir Mei 1525, Muntzer akhirnya ditangkap dan dipenggal kepalanya di Muhlhausen. Perkembangan yang terjadi dalam komunitas Mennonite khususnya berkaitan dengan konsep pacifism, khususnya di Amerika Utara pada era sesudah Perang Dunia I, telah diteliti dengan amat cermat oleh Leo Driedger dan Donald B. Kraybill dan dipublikasikan di bawah judul Mennonite Peacemaking (Scottdale/Waterloo: Herald Pres, 1994) yang menyimpulkan adanya pergeseran signifikan dalam pergumulan komunitas Mennonite berkaitan dengan pacifism, yakni mulai dari queitism menuju menuju ke arah actively peacemaking yang telah disemaikan pada sekitar tahun 1950-an. Dengan kata lain, penekanan identitas sebagai komunitas Kristen yang menekankan pada peacemaking bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit melainkan melalui jalan panjang yang berliku dalam pergumulan iman berhadapan dengan perubahan-perubahan mendasar yang terjadi tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga yang terjadi secara global.
Secara tepat, Sumanto menangkap energi penggerak bagi orang-orang Mennonite dalam memberlakukan secara aktif nilai-nilai perdamaian, yakni pribadi Yesus (hal. 214). Yang perliu ditegaskan di sini adalah bagi teolog-teolog Mennonite, Yesus tidak pertama-tama dipahami sebagai Tuhan yang menguasai alam semesta yang dengannya semua makhluk di bumi harus tunduk. Bagi komunitas-komunitas Mennonite, Yesus lebih utama dipahami sebagai Sang Teladan dalam kehidupan dan dalam tindakan. Hans Denck, tokoh Anabaptis Jerman yang amat kesohor dengan ungkapannya dan yang sampai pada masa selalu disitir oleh teolog dan etikus menggambarkan pentingnya Yesus sebagai Sang Teladan, “No one may truly know Christ except one who follows Him in life.” Jadi, energi penggerak bukan merupakan sesuatu yang datang secara mistis, melainkan melalui tindakan-tindakan praksis mengikuti teladan Yesus. Implisit di dalamnya, secara prinsipial komunitas Mennonite menekankan pada pentingnya mengikuti teladan Yesus, dan bukan menjadi anggota gereja Kristen dan menjadikan orang lain menjadi Kristen. Dalam hal ini, pernyataan Mahatma Gandhi benar adanya ketika ia berkata dalam konteks India yang dijajah oleh Inggris Raya: Aku mengikut Yesus, tetapi aku tidak mau menjadi Kristen, karena orang-orang Kristen tidak mengikut Yesus. Maka, Gandhi yang adalah Hindu adalah Kristen anonim (hal. 146), menurut istilah Sumanto, walaupun sebenarnya istilah Kristen anonim tidak cukup memadai untuk dibandingkan dengan konsep mengikut teladan Yesus.
Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi Mennonite, saya harus mengakui complain dari Sumanto terhadap hasrat dari komunitas Mennonite untuk menghendaki orang-orang lain yang dilayani untuk menjadi Kristen, namun sebagaimana komunitas Mennonite juga bersifat heterogen, maka ada baiknya untuk dikatakan bahwa sebagian orang Mennonite di Amerika Serikat memang sulit memisahkan antara pelayanan humanitarian dan aktifitas evangelisasi. Saya sendiri bersama-sama dengan Shenk, Yoder, dan tokoh-tokoh Mennonite yang lain berada jalur pemikiran yakni bahwa pelayanan dilakukan kepada siapa saja tanpa bermaksud untuk menginginkan orang lain melakukan pertobatan dengan cara apapun juga karena pertobatan adalah karya dari Roh Tuhan.
Buku Sumanto, saling memahami, saling berdialog satu sama lain di antara pengikut agama menjadi kata-kata kunci, yakni dialog dengan semangat empati. Karena perjumpaannya dengan Lawrence Yoder (Profesor emiritus dalam misiologi di EMU/S, maka tekanannya ada pada dialog tentang misi atau tentang dakwah. Namun sebagaimana yang dilakukan oleh Sumanto, dialog menjadi bagian dari hidup dengan berada bersama dengan orang-orang dari tradisi agama yang berbeda. Dalam proses itu hidup bersama dengan orang Mennonite menjadi hal yang membuka horizon pemahaman, tetapi tidak menjadikannya sebagai orang Mennonite, karena itu tidak perlu, ia justru melihat realitas kehidupan beragama baik lingkungan Islam maupun Kristen di Indonesia. Nilai-nilai perdamaian, pengampunan, toleran, anti kekerasan, dan cinta kasih yang ditekankan oleh komunitas Mennonite perlu “dikloning” oleh umat beragama di Indonesia, begitu menurut istilah Sumanto.
Buku ini sangat inspiratif dalam mendorong relasi antara Islam dan Kristen dengan lebih baik, jujur, berkualitas, genuine, agar kehidupan bermasyarakat dalam konteks Indoensia semakin dirembesi oleh nilai-nilai perdamaian. Namun perlu juga disadari bahwa komunitas Mennonite Amerika Serikat walaupun telah begitu memberi inspirasi bagi Sumanto, komunitas itu tidak perlu dijadikan standar mutlak, karena di sana-sini kita jumpai persoalan-persoalan internal yang menggerogoti kedamaian di antara mereka sendiri. Komunitas Mennonite di Amerika Serikat walaupun bersama-sama menggeluti persoalan perdamaian, namun toh berkonflik tentang posisi orang-orang homosexual dalam gereja. Konflik tentang homosexual ini yang mulai diperdebatkan sejak sekitar tahun 2000-an masih membekas luka-lukanya sampai sekarang ini. Di atas semuanya itu, penyajian yang enak dan sederhana mempermudah pembacanya untuk memahami alur pemikiran tentang hal yang serius dan krusial dari penulisnya. Walaupun di sana-sini dijumpai salah ketik dan repetisi, khususnya Bab 4, namun hal-hal itu tidak mengurangi pentingnya substansi yang dipaparkan.
Satu hal yang perlu saya kemukakan sebagai teolog atau scientist yang menggeluti postcolonial studies and biblical interpretation serta berada pada jalur pergulatan feminisme, saya merasa (mungkin perasaan sensitif saya keliru), dalam perjumpaan intelektual hidup bersama komunitas Mennonite itu, Sumanto agak mengesampingkan peran istrinya, atau peran perempuan secara keseluruhan. Misalnya, ulasan-ulasan tentang bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuan sebagaimana dipraktekkan oleh laki-laki perempuan Mennonite hanya sebatas dikagumi (hal. 68), tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting dalam praktek kehidupan relasi antara perempuan dan laki-laki. Maka, mungkinkah ini yang menjadi sebab bahwa nama istrinya hanya muncul sekali atau dua kali saja dalam bukunya sebagai interior minor. Semoga saya salah….atau ini justru merupakan bentuk lain dari ambiguitas pemikiran Sumanto sendiri, yang jangan-jangan merupakan pintu masuk ke arah perjuangan pluralisme, dialog antar agama yang genuine, jujur dan penuh empati serta jalan sempit menuju kehidupan bersama.[e]
[1] Pdt. Yusak B. Setyawan, S.Si., MATS, Ph.D adalah dosen pada Program Pasca-Sarjana Sosiologi Agama dan Ketua Program Studi Teologi, Fakultas Teologi, UKSW. Memperoleh gelar MATS (Master of Arts: Theological Studies) dari Associated Mennonite Biblical Seminary (AMBS), Indiana, USA, kemudian memperoleh gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) dari Flinders University, Australia. Pdt. Dr. Setyawan juga mempunyai minat pada Poscolonial Hermeneutics, New Testament Studies, Feminist Theologies, Pece Studies, dan Sosiologi Gereja Perdana.