Argumen Gender Berbasis Wahyu: Kritik Atas Tulisan Alhilyatuz Zakiyyah

Oleh: M. Ali Masruri
(Redaktur Jurnal Justisia UIN Walisongo Semarang)

Esai ini merupakan komentar terhadap tulisan Alhilyatuz Zakiyyah yang berjudul “Ayah Memasak: Keadilan Gender di Ruang Privat.” Sebagai prolog, pertama, saya tidak bermaksud untuk menggurui. Kedua, saya ingin mengatakan, judulnya unik, alur bahasa tulisannya juga santai dan tidak melelahkan saat dibaca, apalagi kalimat terakhirnya. Kesetaraan gender ini adalah buah pemikiran manusia yang harus diapresiasi sebagai bentuk khasanah ilmu.

Namun ada bagian yang saya kurang sependapat. Salah satunya tentang penyoalan terhadap kewajiban istri meminta izin ketika hendak keluar rumah sedangkan suami cukup memberitahu, dan kemudian kaum feminis mulai menggugatnya. Saya pikir kajian gender semacam ini perlu dilihat konteks epistemologinya; kemudian untuk siapa dan di mana ruang lingkup aksiologinya, sehingga dapat berimbang.

Konstruksi Gender Berbasis Wahyu

Kajian gender ini jika dibenturkan dengan maskulinitas yang shalih pasti berbeda tujuannya. Bukankah begitu kira-kira? Gender ini tetap tidak bisa dilepaskan dari kajian yang bersifat kasuistik, “lain ladang lain belalang” kurang lebih begitu. Sebut saja pendapat Syafi’iyah yang memang mengatakan istri harus izin kepada suami ketika hendak keluar rumah.

Di sini saya tetap memakai kaca mata kasih sayang dan keadilan kepada kaum perempuan. Namun, bisa jadi pendapat Syafi’iyah tersebut bermaksud untuk melindungi kaum perempuan tanpa ada unsur menonjolkan superioritas laki-laki. Husnudzon (berbaik sangka) lebih baik daripada su’udzon (berburuk sangka). Sebab kejahatan terhadap perempuan yang masif terjadi.

Kemudian, mengapa jika suami hendak keluar rumah tidak memerlukan izin istri? Sebelumnya saya tegaskan, bahwa ini murni asumsi saya. Hal tersebut menurut saya lebih disebabkan oleh laki-laki yang memang bertanggung jawab atas nafkah dalam keluarga. Bayangkan jika perempuan sedang “bad mood”, apalagi ngidam berat saat hamil, lalu minta ditemani makan mangga muda seharian. Ia akan cenderung rumit dan tidak logis. Sedangkan suami harus tetap beraktifitas di luar rumah mencari nafkah.

Baca Juga  Tentang Si Pitung dan Arabisasi Pulau-pulau di Nusantara

Akan tetapi, hal ini mungkin bisa dikompromikan. Maksudnya suami juga harus izin kepada istri ketika hendak keluar, dengan ketentuan ketika istri sedang moodnya baik atau tidak ngidam berat yang dapat membuat rumit suasana. Tapi kita juga tidak boleh lupa dengan riset kedokteran yang mengatakan: konstruk biologis bentuk otak antara laki-laki dan perempuan berbeda.

Begini penjelasannya. Secara fisiologis, pada otak perempuan ada semacam jembatan neuron antara lobus kanan dan kiri otak besar, sedangkan pada laki-laki tidak ada. Kedua lobus otak kita ditakdirkan untuk memikirkan hal dengan cara berbeda; satu secara logika dan satu secara estetika. Jadi kalau perempuan memang cenderung akan selalu menghubungkan satu hal dengan yang lainnya, sementara laki-laki tidak.

Otak perempuan seperti sebuah ruangan server, dengan kabel warna warni yang saling bergumul kusut tak karuan. Sebuah jaringan yang luar biasa berantakan bekerja dengan cepat dan hampir semuanya aktif dalam waktu yang bersamaan menghasilkan kerlap kerlip yang rumit dan cantik dari kejauhan. (Baca m.kumparan.com)

Kondisi biologis seperti itu alami diciptakan oleh Allah SWT. Sehingga keadaan semacam itu membuat perempuan cenderung tidak bisa fokus. Contohnya, jika laki-laki mengajak bicara perempuan tentang sebuah judul film, maka si perempuan akan merespon dengan seluruh jaringan otaknya secara bersamaan, dikaitkan dengan keadaan bedaknya yang hampir habis, belum lagi lipstiknya yang warna merah juga mulai habis, sehingga harus segera membeli lagi dengan ketentuan budget yang tipis. Belum lagi jika teman sekelas besok ulang tahun dan lain sebagainya.

Tetapi sekali lagi, yang ingin saya katakan adalah, ada sebagian konstruk gender yang memang sengaja dibentuk oleh wahyu Tuhan, seperti kewajiban memberi nafkah istri dan anak-anaknya dibebankan kepada suami. Terhadap ayat Ar-Rijalu Qawwamuna Ala An-Nisa’, sebagian mufassir mengartikan ini sebagai kewajiban memberi nafkah, sandang dan papan suami kepada istri. Kemudian apa boleh perempuan menggugat, “kenapa kami tidak juga diberi kewajiban memberi nafkah kepada suami?”

Baca Juga  Perbedaan Agama dan Kepercayaan itu Hidayah

Namun, yang mengherankan sampai detik ini, saya belum pernah mendengar gugatan yang semacam itu, whay is that so? Ada satu ayat yang cukup membuat saya diam ketika akal liar saya mulai bergejolak: “Dan seandainya kebenaran itu harus menuruti keinginan manusia, pasti binasalah langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya”, (QS. Al-Mu’minun: 71)

Kita sebagai manusia memang dibekali akal sehingga mampu menerka-nerka segala yang wujud di dunia ini. Naasnya, kita lebih sering mendewakan akal dan melupakan ajaran yang bersifat “naqlan”. Dalam filsafat hukum Islam kita mengenal tiga istilah korelasi antara filsafat dan wahyu, dalam hal ini filsafat diartikan sebagai akal (logika). Pertama, filsafat sebagai servant. Kedua, filsafat sebagai tool of analytic. Ketiga, filsafat adalah agama itu sendiri.

Ketiga bentuk korelasi tersebut harus bisa ditempatkan sesuai tempatnya tidak boleh dibolak-balik sesuka hati. Jika dalil tersebut adalah qath’i (pasti) maka filsafat sebagai servant, namun jika bersifat dzanni (prasangka), maka filsafat berperan sebagai tool of analytic. Terakhir jika masuk pada persoalan etika atau budaya yang tidak terdapat nas di dalamnya, maka filsafat adalah agama itu sendiri.

Ya begitulah, karena Allah jelas tahu bahwa makhluk yang bernama manusia yang Ia ciptakan diberi bekal nafsu juga. Kecerdasan nafsu adalah ia mampu berkamuflase menjadi nurani yang fitri. Terakhir, saya lebih mengagumi para perempuan yang menjadikan narasi wahyu sebagai fondasi pertama kerangka berpikir, tentunya tetap memakai koridor atau metode pemahaman wahyu yang memiliki riwayat jelas dan mutawatir.

Jika nalar mulai mengajak untuk acuh terhadap aturan wahyu, kita harus katakan secara tegas pada diri kita “ini adalah bisikan nafsu, aku harus menutup telingaku”. Sebab apapun yang keluar dari diri kita dalam keadaan sadar, akan dipertanggungjawabkan kelak pada waktunya.

Baca Juga  Sapta Darma Sejak Dulu Terbuka Kepada Pemerintah

Wanita sholihah! Aku akan mencintaimu dengan sentuhan cahaya wahyu. Wahyu ilahi yang diturunkan kepada Nabi sang pejuang gender pertama di dunia Arab abad pertengahan.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan (Bagian Pertama)

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini