Islam sangat memuliakan manusia dan Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Inilah pesan yang terkandung dalam al-Quran maupun Hadis. Dalam QS. Al-Isrâ` [17]:70 Allah menyatakan bahwa diri-Nya telah memuliakan manusia ketimbang makhluk-Nya yang lain. Untuk menjaga stabilitas kehidupan di dunia dan nilai-nilai kemanusiaan Allah mengutus para nabi yang bertugas untuk menebar kasih sayang (QS. al-Anbiyâ` [21]:107), karena dengan kasih sayang kehidupan akan menjadi aman dan tentram.
Ketika sebagian sahabat berkata kepada nabi Saw. “Wahai rasul, aku selalu menebar kasih sayang kepada istri dan anak-anakku.” Rasulullah bersabda, “Menebar kasih sayang yang aku hendaki bukan hanya kepada keluarga, tetapi kepada semua umat manusia di muka bumi.” Demikianlah nabi Muhammad Saw. selalu mengajarkan umatnya untuk selalu menebar kasih sayang kepada siapapun. Namun, menebar kasih sayang tidak selamanya dilakukan dengan berbuat ramah terhadap sesama, tapi dalam satu waktu menebar kasih sayang dapat dilakukan dengan cara berperang. Yaitu ketika terdapat sekelompok manusia yang merampas hak asasi manusia lainnya, maka demi menjaga hak asasi tersebut tindakan zalim mereka harus dihentikan walapun dengan cara berperang.
Oleh karena itu dalam rentang sejarah para ulama dengan beragam bidang kajiannya banyak yang mengkonsentrasikan diri dalam membahas perang. Konsep perang yang mereka rumuskan tentunya seperti kajian-kajian keislaman lainnya, yakni berpijak pada al-Quran, Hadis, dan atsâr Sahabat. Dengan demikian pembahasan perang dalam perspektif para sarjana masa lalu yang kini terekam dalam karya-karyanya atau biasa disebut dengan kitab kuning sangat menarik untuk diungkap. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk mengetahui bagaimana konsep perang dalam pandangan mereka, tapi juga untuk “menimbang” pernyataan arogansi sebagian umat Islam yang menyatakan bahwa kitab kuning sudah usang dan tidak relevan dengan kondisi kekinian. Benarkah demikian?