Ibu-ibu Menciptakan Pasar Untuk Meredam Konflik

Semarang -elsaonline.com, Diskusi rutin seri kedua “Sekolah Gender dan Analisis Sosial” mengetengahkan tema Perempuan Sebagai Agen Perdamaian. Kegiatan yang dihelat di kantor Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), menghadirkan Mariana Amirudin, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Perempuan.

“Jika bapak-bapak terus berperang, maka tembaklah kami, bunuhlah kami, supaya tidak ada lagi yang mengurusi kalian dan anak-anak,” begitu Mariana membuka paparannya, Senin, (7/04/19).

Ungkapan tersebut menjadi strategi politik ibu-ibu. Mariana menceritakan tentang peran ibu-ibu dalam menangani konflik Ambon, Maluku.

Kontribusi perempuan sebagai agen perdamaian sangat diharapkan. Karena dalam sejarahnya dalam situasi tertentu, perempuan berperan menciptakan keamanan dan meresolusi konflik. Tokoh-tokoh agama, dari Islam, Kristen, Katolik, dan aktivis perdamaian yang berperan kebanyakan adalah perempuan.

Kontribusi nyata yang bisa dilihat misalnya ketika ibu-ibu menciptakan pasar, sehingga banyak orang bertemu tanpa memandang agama disana. Mereka kemudian tidak menyadari bahwa satu dan lainnya saling bersosialisasi dan berkomunikasi.

“Saat pertikaian antar kelompok agama dibuatlah pasar ditengah-tengah perbatasan antara Islam dan Kristen. Ini diciptakan oleh agen-agen perempuan,” jelasnya.

Ia kemudian menjelaskan peran perempuan yang tidak bisa diremehkan. Namun dia mempertanyakan, apakah peran tersebut dalam hal negatif atau positif. Perempuan saat ini benar-benar turut kontribusi sebagai agen perdamaian, atau bahkan menjadi agen pertikaian.

“Apakah perempuan saat ini menjadikan politic ethic of care atau freedom of expression,” ungkap Mariana. Ia turut merasa prihatin ketika melihat fenomena saat ini, khususnya menjelang tahun politik. Melihat konteks sosial politik saat ini, perempuan, khususnya ibu-ibu, berani tampil di media menampikan identitasnya; baik itu kelompok Islamis, Pancasilais, dan lainnya.

Sisi Pembeda Perempuan
Perempuan memiliki naluri, rasa dan feeling yang berbeda. Tidak semua larakter perempuan dimiliki oleh laki-laki. Perdamaian menjadi sebuah kebutuhan, dan perempuan lebih peka dibanding laki-laki.

Baca Juga  Kerukunan akan Terbangun Melalui Dialog; Kisah Audiensi di Kabupaten Semarang

“Kalau memang sebuah kebutuhan, memang ia, perempuan identik dengan motherhood, rasa keibuan. Ia sensitif lebih dari pada laki-laki, serta memiliki jiwa pemimpin yang tinggi,” tuturnya.

Kemudian, yang paling penting dari semua itu, adalah keberanian dalam menciptakan perdamaian.

“Saya melihat bahwa perdamaian saat ini adalah harus adanya keberanian. Berani untuk mengatakan ini adil dan tidak adil. Demi keadilan bagi masyarakat dan bagi perempuan,” pungkasnya. (Jaedin/elsa-ol)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini