Oleh: Tedi Kholiludin
Di sebelah utara Danau Tondano, atau kurang lebih 35 KM dari Kota Menado, Sulawesi Utara, ada kampung yang sangat erat memiliki keterkaitan dengan masyarakat Jawa, baik secara historis maupun geneologis. Nama administratifnya adalah Desa Kampung Jawa Kecamatan Tondano Utara Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Di desa yang berpenduduk kurang lebih 2215 jiwa itu, hidup masyarakat keturunan Jawa yang bangga mengaku sebagai orang Minahasa.
Kampung ini bukan merupakan wilayah transmigrasi seperti yang kita kenal pada saat pemerintah orde baru menggalakkan program itu. Kampung Jaton (singkatan dari Jawa Tondano) itu adalah saksi perjuangan masyarakat Jawa melawan kolonialisme. Lebih tepatnya, Jaton terbentuk dengan latar Perang Jawa 1825-1830 yang dikobarkan salah satunya oleh Pangeran Diponegoro.
Seperti yang kita baca dalam sejarah, Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Minahasa. Selain Diponegoro ada juga Kyai Muslim Muhammad Halifah atau Kyai Mojo yang adalah panglima perang pasukan Diponegoro. Selain Kyai Mojo pimpinan pasukan Diponegoro yang juga dibuang ke Sulawesi Utara, antara lain, Sataruno, Joyosuroto, Banteng, Kertosono dan lain-lainnya. Gelombang awal masyarakat Jawa di Jaton tercatat dimulai sekitar tahun 1829, persis ketika Perang Jawa memulai babak akhir.
Kampung Jaton itu sendiri berdiri kurang lebih dua tahun setelah kedatangan Kyai Mojo, yaitu tahun 1831. Bersama Kyai Mojo datanglah 63 orang pasukan perang Jawa yang juga dibuang Belanda. Mereka semuanya adalah laki-laki dan menikah dengan wanita asli Minahasa sehingga perpaduan dua etnis inilah yang kemudian menghasilkan keturunan yang memiliki dua darah sekaligus, Jawa dan Minahasa.
Di Kampung Jawa Tondano ini terdapat masjid tua (didirikan pada 1854) yang menjadi simbol kekhasan kampung tersebut. Masjid itu sempat beberapa kali direnovasi, yaitu pada tahun 1974, 1981, dan terakhir pada 1994. Masjid itu diberi nama Masjid Al-Falah Kiai Mojo (Pinontoan, 2010). Konon, saat membangun mesjid itu, masyarakat sekitar Jaton seperti Tonsea yang mayoritas beragama Kristen juga turut serta membantu masyarakat Jaton. Saat datang di Minahasa, Kiai Mojo dan balatentaranya juga ikut memperkenalkan pertanian dan bercocok tanam kepada masyarakat Minahasa.
Pasca kehadiran Kiai Mojo dan 63 pasukannya, Kampung Jaton menjadi wilayah “buangan” para “pemberontak” dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Aceh pada periode 1845–1900.
Selain Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo dari Jawa Tengah ada pahlawan yang juga dibuang ke Jaton, antara lain Pangeran Ronggo Danupoyo (Surakarta, dibuang tahun 1848) dan K.H. Ahmad Rifa’i (Kendal, 1861). Sementara KH. Hasan Maolani dari Lengkong Kuningan Jawa Barat dibuang tanggal 6 Juni 1842 dan meninggal pada tanggal 29 April 1874 di Jaton.
Pahlawan dari Banten yang dibuang ke Jaton diantaranya adalah Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid. Mereka semuanya adalah pemimpin “Geger Cilegon” yang meletus pada 9 Juli 1888 di Cilegon, Banten melawan pemerintah kolonial.
Dari luar Jawa, tercatatlah nama Sayid Abdullah Assagaf ulama asal Palembang yang diasingkan tahun 1880. Kemudian pada tahun 1884, Jaton kedatangan Gusti (Pangeran) Perbatasari dari Banjarmasin, Kalimantan serta Tengku Muhammad/Umar dari Aceh pada Tahun 1895.
Identitas Hibrid
Demikianlah, Jaton kemudian menjelma menjadi sebuah kampung yang unik dengan identitasnya yang hibrid. Budaya masyarakat Jawa seperti lebaran ketupat, masih bisa kita temui di kampung ini. Seni terbangan dengan langgam Jawa, juga masih ada.
Meski darah Jawa mengalir, mereka dengan tanpa ragu mengaku sebagai orang Minahasa tulen. Saat ini, masyarakat Jaton tidak hanya berdomisili di Kampung Jaton dan Tondano, tetapi sudah menyebar hingga Bolaang-Mongondow, Gorontalo, Menado dan kota lain di Sulawesi Utara. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi setiap harinya pun adalah bahasa Minahasa. Beberapa orang masyarakat Jaton yang sempat saya temui pada tahun 2008, mengaku sudah merasa menjadi Tou Minahasa dan tidak berniat tinggal di Jawa meski ada kerabatnya di sana.
Tipe masyarakat Jaton mengingatkan saya akan ungkapan Claude Levi Strauss dalam Race Et Historie. Strauss mengatakan bahwa tidak akan bermanfaat seseorang yang terus menerus memperdebatkan perbedaan (ras) sementara ia tidak memahami bahwa perbedaan (ras) itu justru menghadirkan satu hal yang positif.
Sebagai identitas hibrid, masyarakat Jaton tidak kemudian mengakar pada satu etnis, tetapi juga tidak meleburkan keduanya hingga membentuk identitas baru. Tipe melting pot atau peleburan identitas sepertinya bukan pilihan yang baik bagi mereka.
Bahkan, identitas hibrid itu semakin menunjukkan kekayaannya karena Sayid Abdullah Assagaf, yang keturunan Arab itu juga “menyumbangkan” kulturnya dalam masyarakat Jaton. Walhasil, Jaton semakin kaya budaya, yang semakin menunjukkan keunikannya.
Di atas semua itu, masyarakat Jaton pun tetap berkomitmen untuk menjaga jati diri Tou Minahasa yang bercirikan baku-baku tolong, baku-baku sayang dan baku-baku bae. Tak hanya itu perwujudan hidup bermasyarakat mereka pegang dengan berpegang pada prinsip yang pernah diperkenalkan Sam Ratulangi, Si Tou Timou Tumou Tou atau manusia hidup untuk menghidupi (sesama) manusia.
wow.. tulisan anda bagus sekali… memang orang Jawa menyebar kemana-mana yah..