Oleh: Tedi Kholiludin
Skisma atau schism biasa diartikan sebagai perpecahan, yang biasanya terjadi dalam sebuah organisasi atau gerakan. Dalam tradisi agama-agama, skisma lebih sering digunakan dalam tradisi gereja. Yang sudah pasti menjadi catatan penting adalah great schism, atau skisma besar pada tahun 1054 yang menyebabkan berpisahnya Gereja Barat dan Timur. Kata Yves Congar O.P (1959: 1), seorang imam Dominikan, teolog, Kardinal dan promotor dialog ekumene, tahun 1054 adalah yang paling sering dikenal dalam sejarah gereja. Meski begitu, bibit skisma juga sudah terasa dalam Konsili Efesus dan Khalsedon pada abad ke 5. Namun, dibandingkan dengan Reformasi Protestan (1517) atau Revolusi Perancis (1789), skisma besar 1054 mungkin lebih menyimpan fakta yang sangat menyejarah.
Dalam pengertiannya yang luas, skisma sebagai perpecahan, memang dikenal banyak dalam tradisi agama. Dalam Islam, skisma seringkali diperdebatkan apakah ia ada dalam tradisi agama tersebut atau tidak. Mereka yang tidak terlalu bersepakat dengan skisma beralasan kalau di Islam tidak pernah ada dua Paus yang berseberangan.
Jalaludin Rakhmat (2006) atau Kang Jalal, pernah menulis risalah singkat ihwal skisma dalam tradisi Islam. Di satu sisi, mungkin terlalu “memaksakan diri” menisbatkan perpecahan dalam Islam sebagaimana skisma dalam tradisi Kristen. Tapi, di sisi lain, skisma yang dimaknai sebagai perpecahan, adalah fakta sejarah dalam Islam. Dan rekayasa politik kerapkali memberikan ruang yang lebih luas atas perbedaan pemahaman keagamaan. Perpecahan yang disebut-sebut sebagai “skisma besar” dalam Islam adalah kemunculan Sunni-Syiah. Ada yang mengatakan kemunculan Khawarij adalah permulaan skisma dalam Islam. Yang jelas, sejarah Islam juga tak bisa dilepaskan dari persoalan skisma.
Ini artinya, secara sosiologis sebuah komunitas yang mulai beranjak membesar dan menciptakan communal closure, punya peluang untuk memunculkan para skismatis. Suatu grup yang yang berhasil membangun strategi demikian, selalu akan berjumpa dengan countermobilization yang bertujuan untuk memelihara otonomi individu, desentralisasi keputusan dan mendorong persaudaraan yang setara. Konter mobilisasi inilah yang mendorong terciptanya skisma. (Ansel, 2003: 16).
Perbedaan aliran-aliran (denominasi) memang fakta yang tidak bisa dikaburkan. Bahkan karena perbedaan itu, saling serang, bunuh, caci dan maki antar kelompok menjadi tak terhindarkan. Kebanyakan, pertarungan yang bersifat politis seringkali menghinggapi perdebatan ilmiah soal perbedaan akidah itu. Sayangnya, tak sedikit pemimpin agama yang tidak bisa menerima kenyataan kalau sejarah agama juga berkelindan dengan kepentingan-kepentingan non-agama.
Selain karena sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan, bisa dikatakan terjadinya skisma itu sebagai hal yang wajar, lumrah. Dalam kenyataan sosial, kekecewaan terhadap kelompok mapan, tak jarang memunculkan gerakan-gerakan pinggiran, baik karena masalah teologis murni ataupun soal politis yang dibungkus baju teologis.
Belakangan ini, kita disuguhi panorama yang buram sebagai implikasi dari adanya skisma dalam sejarah agama. Pembakaran terhadap rumah dan pesantren milik komunitas Syiah di Sampang, Madura adalah salah satunya. Apapun dalihnya, apa yang terjadi di pulau garam itu tetap menyimpan cerita yang tak sedap soal skisma dalam Islam.
Meski demikian, sesungguhnya skisma memberikan kesempatan bagi berbagai setiap denominasi untuk bersikap dewasa dalam pergumulannya dalam kehidupan keagamaan. Konsili Vatikan II merupakan salah satu contoh konkretnya. Konsili Vatikan II yang merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja diselenggarakan antara tgl. 11 Oktober 1962 dan tgl. 8 Desember 1965 yang mencakup empat periode sidang. Jumlah Uskup yang hadir tidak kurang dari 2540 orang. Mereka melakukan pembaharuan cara pandang keagamaan yang cukup progresif.
Sebelum itu, di lingkungan Protestan kita mengenal gerakan ekumenisme (oikumenisme) atau gerakan keagamaan yang bertujuan untuk mengembangkan kerjasama yang baik antar denominasi. Inisiatif gerakan ini muncul pada Konferensi Misionaris di Edinburgh, 1910. Konteks awal gerakan ini memang sebatas lembaga misi, bukan wakil dari denominasi. Tapi, pada perkembangannya, gerakan ekumenisme menjadi inspirasi untuk memperluas horison dialog tidak saja di internal Kristen, tetapi juga antara Kristen dengan Katolik Roma dan Ortodoks serta Islam dan agama-agama lainnya.
Jika konsili bersifat mengikat, tidak demikian halnya dengan gerakan ekumene yang sebatas menghasilkan seruan moral. Baik Konsili Vatikan maupun gerakan ekumene adalah buah dari proses panjang dalam menghadapi perbedaan-perbedaan membaca teks-teks keagamaan.
Tujuan utama gerakan ekumenisme, sesungguhnya adalah cita-cita semua kelompok agama. Tentu saja harapannya bukan meleburkan perbedaan-perbedaan teologis ke dalam satu format baru agama. Peningkatan kerjasama, toleransi, dan dialog konstruktif harus terus didorong dan menjadi solusi atas berbagai pemahaman keagamaan, bukan dengan intoleransi, anarkhisme dan kekerasan.
Ide untuk membangun dialog yang berkesinambungan ini sejalan dengan kehadiran ”etika global” yang telah menjadi komitmen dari pemimpin agama-agama se-Dunia pada tahun 1993. Etika global merupakan prinsip dasar kemanusiaan yang menekankan pada upaya untuk memanusiakan manusia.
Mereka merumuskan empat hal pokok dalam dinamika hubungan antar/inter umat beragama yakni, komitmen terhadap budaya non kekerasan dan menghargai hidup, komitmen terhadap budaya solidaritas dan tatanan ekonomi yang adil, komitmen terhadap budaya toleransi dan hidup yang benar serta komitmen terhadap budaya kesetaraan hak dan kemitraan laki-laki dan perempuan.