Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr
(Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang)
Pengantar
Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk memberikan tanggapan atas Laporan Tahunan “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah Tahun 2011” yang dipersiapkan oleh eLSA. Terima kasih atas kepercayaan dan kerja sama yang baik ini.
Kedua, saya sangat mengapresiasi setinggi-tingginya atas kerja keras dan dalam kesungguhan hati, rekan-rekan muda yang tergabung dalam Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, dalam upaya monitoring dan analizing peristiwa dan fakta terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Tengah. Apresiasi setinggi-tingginya karena upaya ini dilakukan justru oleh orang-orang muda, yang memberikan idealisme dan pengharapan masa depan yang lebih baik untuk kehidupan bersama. Apresiasi ini saya tempatkan dalam konteks Pesan Paus Benediktus XVI dalam rangka Hari Perdamaian Sedunia yang ke 45, 1 Januari 2012. Atas penyelenggaraan Tuhan (providential Dei), tema Pesan Perdamaian Paus kali ini adalah, “Mendidik Kawula Muda dengan Keadilan dan Damai”. Dalam konteks ini, eLSA yang sebagian besar beranggotakan orang muda, tak hanya menjadi jawaban atas tema itu. Tetapi, juga bukti nyata yang sangat signifikan dan relevan.
Ketiga, selamat dan profisiat. Sebab, sejak tahun 2009, eLSA telah berusaha ambil bagian dalam melakukan monitoring terhadap kehidupan keberagamaan dan berkeyakinan, khususnya di Jawa Tengah. Tujuan eLSA mendiseminasikan gagasan keberagamaan yang inklusif dan toleran, demokrasi, hak sipil, khususnya kelompok minoritas demi penegakan hak asasi manusia sangat signifikan dan relevan dengan kehausan masyarakat kita akan hadirnya kebenaran, keadilan, harmoni, dan hidup bersama yang rukun, damai, dan sejahtera.
Beberapa Catatan Kecil
Pertama, pada halaman 5-8, Laporan Tahunan ini menyajikan ringkasan laporan yang cukup komprehensif untuk membawa siapa pun yang membaca laporan ini pada konteks menyeluruh fakta kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Tengah. Fakta itu tak semata-mata negatif. Namun, juga positif. Ini yang membuat laporan ini berada dalam disposisi seimbang (belance) dan proporsional. Menurut catatan eLSA, setidaknya ada 9 peristiwa dan 1 regulasi yang diduga mengandung unsur pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan setidaknya ada 16 komponen tindakan yang terkandung didalamnya. Dalam 9 peristiwa itu terhadap dugaan pelanggaran dalam bentuk “komisi” (tindakan langsung) dan “omisi” (pembiaraan) yang menimbulkan kerugian komunitas tertentu. Dari peristiwa-peristiwa tersebut ujung-ujungnya melahirkan intoleransi atas nama agama dan keyakinan. Atau, setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur tersebut. Selain menyebut unsur-unsur negatif, disebut pula hal-hal positif yang terjadi di Jawa Tengah, justru dari sudut pemerintah.
Kedua, pada halaman 25-40, eLSA memberikan deskripsi peristiwa dan tindakan terkait dengan dugaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan secara lebih detail dan rinci. Laporan tersebut terdiri dari dua kategori. Pertama, problematika kebebasan beragama. Dan kedua, tindakan intoleransi berdasar agama dan keyakinan. Untuk bagian ini, saya mengusulkan, metodologi deskripsi menggunakan cara sederhana namun bisa memudahkan siapapun yang membaca dari sisi eyes-catching. Deskripsi peristiwa bisa dirumuskan dengan subjudul per peristiwa. Ini sangat sederhana, namun akan sangat membantu pembaca masuk dalam klasifikasi deskripsi.
Ketiga, pada halaman 40-45, disebutkan beberapa perkembangan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Tengah. Paling tidak, empat hal bisa disebutkan. Yakni, keputusan Gubernur Jateng untuk tidak mengeluarkan peraturan tentang Ahmadiyah; pemenuhan hak sipil warga Sedulur Sikep di Kaliyoso; proses mediasi konflik NU dengan MTA di Purworejo dan kerja sama penyediaan gedung pembelajaran bersama di SD N 03 Getasan untuk pemeluk Islam, Kristen, dan Budha. Untuk bagian ini, catatan sama seperti pada bagian sebelumnya yang saya usulkan juga. Penataan deskripsi dengan subjudul per persitiwa. Kecuali itu, saya member catatan lain pada bagian ini. Ada banyak hal positif di Jawa Tengah yang mengindikasikan penghargaan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan; namun barangkali tidak masuk dalam frame of reference secara metodologis maupun sekala prioritas eLSA sehingga tidak perlu masuk dalam laporan tersebut.
Sebut saja, misalnya, di Tanah Mas saja; terjadi dialog kultural lintas iman dalam rangka 1 Suro dan 1 Muharom; sahur bersama dengan Ibu Sinta Nuriyah Gus Dur, kunjungan pembelajaran FKUB Bantul tentang merajut kerukunan kerja sama dengan FKUB dan Kesbangpolinmas Jateng. Hemat saya, ini juga buah-buah positif peristiwa penghargaan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di GMKA terjadi dialog lintas iman antara Pandhemen Kebatinan Katolik dengan KH. Amin Budi Hardjono tentang Maria serta dialog dengan Gunritno, tokoh Sedulur Sikep Sukolilo. Penghujung 2011, FKUB Jateng membuat terobosan pembentukan FKUB Muda. Ini sebuah terobosan dalam rangka mengawal kerukunan di masa depan.
Keempat, di balik peristiwa negatif, selalu muncul peristiwa positif. Misalnya, dalam kasus Temanggung pascaperusakan Gereja St. Petrus-Paulus, terjadi kerja bareng lintas iman yang pantas untuk disyukuri. Pasca bom Kepunton Solo, mengalir rajutan lintas iman. Pasca pemenggalan kepala Patung Maria muncul sinergi lintas iman setempat yang sangat kuat. Sebab, warga setempat yang mayoritas muslim langsung berjaga-jaga dan meningkatkan kewaspadaan untuk serangan berikutnya.
Kelima, terkait dengan rekomendasi. Empat rekomendasi disampaikan eLSA dengan subjek sasaran pemerintah, FKUB, penegak hokum, dan tokoh-tokoh agama. Subjek rekomendasi ini sangat tepat. Namun, hemat saya, kurang lengkap. Masih ada dua subjek yang perlu disebut. Yakni, institusi pendidikan dan masyarakat sipil. Kita tahu, sejumlah lembaga pendidikan sangat rawan menjadi produk intoleransi, sementara masyarakat sipil kerap menjadi obyek rentan provokasi intoleransi. Karena itu, dua pilar masyarakat ini perlu mendapat perhatian dalam rangka penyampaian rekomendasi atas laporan tahunan eLSA sehingga laporan tahunan serta keprihatinan dan tujuan yang hendak dicapai sungguh semakin menyentuh berbagai pihak demi terwujudnya persaudaraan sejati. Kalau demikian, eLSA akan menjadi salah satu promotor persaudaraan sejati di Jateng khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Bahkan, di tingkat global.
Ajaran tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Upaya yang dibuat eLSA dalam rangka monitoring kebebasan beragama dan berkeyakinan, dalam perspektif Konsili Vatikan II sangat dekat dengan ajaran tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut KV II, kebebasan beragama berarti, semua orang harus kebal terhadap paksaan dari pihak orang-orang perorangan maupun kelompok-kelompok sosial atau kuasa manusiawi mana pun juga, sedemikian rupa, sehingga dalam hal keagamaan tak seorang pun dipaksa untuk bertindak melawan suara hatinya. Atau, dihalang-halangi untuk dalam batas-batas yang wajar bertindak menurut suara hatinya, baik sebagai perorangan maupun di muka umum, baik sendiri maupun bersama dengan orang-orang lain.
Selain itu, Konsili menyatakan, hak menyatakan kebebasan beragama sungguh didasarkan pada martabat pribadi manusia, sebagaimana dikenal berkat sabda Allah yang diwahyukan dan dengan akal-budi. Hak pribadi manusia atas kebebasan beragama harus diakui dalam tata hukum masyarakat sedemikian rupa, sehingga menjadi hak sipil (Dignatatis Humanae,Pernyataan tentang Kebebasan Beragama, artikel 2). Lebih lanjut, KV II menegaskan, pada hakekatnya termasuk tugas setiap kuasa sipil: melindungi dan mengembangkan hak-hak manusia yang tak dapat diganggu gugat.
Maka, kuasa hak sipil wajib, melalui hukum-hukum yang adil serta upaya-upaya lainnya yang sesuai, secara berhasil-guna menanggung perlindungan kebebasan beragama semua warga negara, dan menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan untuk mengembangkan hidup keagamaan. Dengan demikian, para warga negara dapat sungguh-sungguh mengamalkan hak-hak serta menunaikan tugas-tugas keagamaan, dan masyarakat sendiri akan menikmati baiknya keadilan dan damai, yang muncul dari kesetiaan manusia terhadap Allah dan terhadap kehendak-Nya yang suci (Dignitatis Humanae, artikel 6). Dalam porsi dan kapasitasnya, eLSA telah menjalankan fungsi “kuasa sipil” tersebut dalam rangka kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam rangka merajut persaudaraan sejati.
Dalam rangka persaudaraan sejati dan rasa hormat (to respect), melalui dokumen lain, Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Non-Kristiani, KV II menegaskan, “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup. Kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri. Tetapi, tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Maka, Gereja mendorong para puteranya, suapaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil member kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosial-budaya, yang terdapat pada mereka” (Nostra Aetate, artikel 2).
Penutup
Demikian beberapa catatan kecil atas laporan tahunan yang diterbitkan eLSA terkait dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Sekali lagi, profisiat! Maju terus dalam upaya merekomendasikan toleransi, harmoni, keadilan, dan perdamaian dalam tata hidup bersama. Salam dan berkat Tuhan.
Tanah Mas, 1 Januari 2012