Pendidikan Anak Berperspektif Gender; Harapan atau Utopia?

Oleh: Siti Rofi’ah

Pendidikan dimulai dari pangkuan Ibu. Setiap kata yang diucapkan dalam jarak dengar anak-anak kecil cenderung membentuk wataknya (Hosea Balou)

Pemerhati dan pejuang kesetaraan gender, sedang mengalami masa-masa sulit. Masyarakat menganggap bahwa persoalan gender hanya proyek yang mengada-ada dan hanya ingin merusak tatanan yang sudah mapan. Ketika perempuan sudah berhasil menjadi politikus, polwan, ataupun presiden, maka bagi mereka kesetaraan gender sudah terealisasi, otomatis memperjuangkan gender dianggap sebagai hal yang mubadzir. Beberapa kaum feminis yang setia memperjuangkan keadilan gender malah mendapat cap kacung ideologi barat yang kurang kerjaan.

Padahal, kalau ditelisik lebih jauh tanpa kita sadari di lingkungan sekitar kita ketimpangan gender masih banyak terjadi. Bahkan di tempat yang paling dekat dengan kita (rumah tangga) berbagai bentuk ketimpangan gender masih marak. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.

Dalam bidang ekonomi, pada budaya patriarkis, laki-laki sebagai pemimpin keluarga memiliki peran utama. Sebagian besar kebijakan ditentukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan berada pada posisi subordinat di belakang suami. Oleh karena dianggap sebagai makhluk ‘kedua’, perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin masyarakat. Tradisi ini masih dianut sampai sekarang, terbukti ketika beberapa tahun lalu ada calon pemimpin perempuan di negara kita banyak pihak yang mempermasalahkannya. Hal ini lah yang membuat termarginalkannya peran politik perempuan.

Ketimpangan gender sealur senada dengan ungkapan Mansour Fakih. Menurutnya, perwujudan ketimpangan gender sangat beragam. Diantaranya marginalisasi atau pemiskinan perempuan, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban ganda. Padahal, membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.

Baca Juga  Syiar Agama di Tengah Masyarakat Plural

Banyak kaum laki-laki yang ikut menderita karena ketimpangan gender. Misalnya saja laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, kemudian dicap telah gagal menjadi laki-laki. Atau ketika seorang laki-laki sedang stres karena menahan beban permasalahan yang dihadapinya, maka dia akan menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis karena takut dicap ‘perempuan’. Namun pada kenyataannya memang perempuan lebih banyak mengalami kerugian akibat ketimpangan gender ini.

Setiap hari di berbagai tempat yang berbeda, dengan mudah kita akan menemukan siulan, colekan, omong jorok, komentar iseng  terhadap perempuan, dsb. Hal yang sudah dianggap biasa tersebut sebenarnya termasuk pada pelecehan seksual. Namun karena sudah dianggap biasa, maka masyarakat menerimanya begitu saja. Inilah yang kemudian disebut dengan dehumanisasi (menganggap biasa sesuatu yang sebenarnya tidak biasa dan seharusnya tidak terjadi). Di media massa pelecehan seksual justru semakin marak. Perempuan—atau lebih tepatnya tubuh perempuan—dijadikan aksesoris dan komoditi komersil. Sayangnya masyarakat terutama kaum perempuan tidak sadar akan hal ini. Bahkan, banyak perempuan yang justru bangga akan hal tersebut, mereka tidak sadar telah menjadi budak kapitalis.

Berbagai ketimpangan gender diatas memang sudah mengakar dan sulit diubah. Aparat ideologi yang terus memelihara ketimpangan gender semakin tumbuh subur dalam struktur masyarakat kita, baik yang berwujud  tokoh, kegiatan maupun teks. Pendidikan sebagai salah satu sektor penting dalam kehidupan tanpa disadari juga telah menganut sistem ini. Lihatlah pada buku ajar sekolah dasar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki, atau gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas mengasuh atau mendidik. Atau dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Ketika seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, seringkali guru akan mengatakan “Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh cengeng“. Atau ketika melihat murid perempuan duduk diatas meja, ia akan mengatakan “Anak perempuan kok tidak tahu sopan santun“. Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.

Baca Juga  Problem Ke(tidak)setaraan Gender di Kampus

Menegakkan keadilan gender bertolak dari pendidikan sejalan dengan pemikiran Paulo Freire, ia mengecam pendidikan yang selama ini dianggap sebagai sumber kebajikan sebagai telah ternyata justru menjadi penindas ulung. Menurutnya, pendidikan yang pada umumnya dianggap memiliki misi umum untuk mencerdaskan anak didik ternyata malah berperan aktif mengkerdilkan, karena tidak mampu membuat mereka lebih humanis atau lebih manusia. Secara lebih ekstrim ia berpendapat bahwa sesungguhnya pendidikan yang salah justru  turut serta menjadi pengekang kebebebasan, dengan cara-caranya  yang terselubung.

Pendidikan Anak Perspektif  Gender

Sejak sejarah manusia lahir mewarnai rutinitas kegiatan alam fana ini, pendidikan merupakan “barang penting” dalam komunitas sosial. Adam sebagai manusia pertama senantiasa diberi ‘akal’ untuk memahami setiap yang ia temukan dan kemudian menjadikannya sebagai konsep atau pegangan hidup.

Pada dasarnya, pendidikan laksana eksperimen yang tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini. Dikatakan demikian, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Hal ini sejalan dengan pembawaan manusia yang memiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupan.

Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.

Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas “apa kata ayah” yang biasanya terjadi di masyarakat kita. Jadi, orang tua yang berwawasan gender sangat diperlukan bagi pembentukan pola pikir anak.

Baca Juga  15 Sedulur Sikep Sedang Bersekolah

Yang juga perlu ditanamkan pada orang tua barangkali persoalan-persoalan kecil dalam rumah tangga. Misalnya, memberikan pendidikan agar berperan yang sama dalam sektor domestik. Menyapu lantai dan memasak tidak harus dipandang pekerjaan perempuan. Pekerjaan domestik yang diasosiasikan pekerjaan perempuan adalah juga pekerjaan laki-laki. Rumah tangga sebagai lembaga pendidikan kedua selain sekolah, dengan menanamkan penghargaan sama terhadap perempuan dan laki-laki, akan mempercepat pengembangan kehidupan bangsa yang berperspektif keadilan gender.

Dalam pendidikan formal, kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standarisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka gender.

Namun yang terpenting, para pendidik (guru) harus memiliki pemahaman yang komprehensif terlebih dahulu tentang gender, baru kemudian diterapkan pada anak didiknya. Dengan demikian guru diharapkan melakukan sedikit perubahan dalam proses pelaksanaan belajar-mengajar. Proses ini harus dilakukan secara bertahap dan terus menerus.

Mengubah bias gender dalam pendidikan dan dalam masyarakat sehingga lebih berkeadilan gender memang perjuangan panjang. Namun, perjuangan itu akan menjadi lebih ringan kalau ditanggalkan perasaan superioritas pria dan anggapan perempuan disubordinasi pria. Semua bisa berjalan bersama-sama bila saling ada pengertian dan pemahaman.

Secara substansial, setiap agama mengemban misi pembebasan. Oleh karena itu menegakkan keadilan gender sebenarnya selaras dengan misi agama. Namun, pemahaman yang salah terhadap agama justru menjadikan manusia terhegemoni dengan alasan agama itu sendiri. Maka, marilah kita mulai menghapuskan bias-bias gender yang ada di lingkungan sekitar kita dengan hal yang paling sederhana, kita harus memulainya dari diri kita sendiri.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

1 KOMENTAR

  1. sline to nek emg gender bener-bener terealisasikan,opo bener wong wadhon kuat….heheheheh

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini