[Semarang – elsaonline.com] Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang dinisiasi oleh komisi VIII DPR RI terus menjadi polemik. Banyak pasal-pasal krusial yang mendapat catatan kritis aktifis civil society di Semarang. Berawal dari kerisauan itu, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menggelar diskusi yang bertema “Analisis terhadap RUU KUB”, Rabu (18/4).
Diskusi ini berlangsung di kantor LBH Semarang Jalan Jomblang Sari IV no.17 Semarang. Target awal kegiatan ini bertujuan untuk menganalisis pasal-pasal yang dianggap justru akan memperuncing konflik keagamaan di masyarakat. Nyatanya beberapa pasal dalam RUU tersebut sarat memunculkan multitafsir. Karena itu sangat potensial menimbulkan legitimasi tindakan sepihak di masyarakat. Karenanya, nampak penting bagi aktifis kegamaan di Semarang untuk menganalisisnya.
Direktur eLSA, Tedi Kholiludin mengatakan bahwa semangat yang terkandung dalam RUU KUB tersebut tidak lagi untuk merukunkan umat beragama. Karena pasal-pasal yang ada sudah mengandung unsur diskriminasi. “Nampaknya kita wajib turut mengkritisi isi dari RUU KUB ini. Secara prinsipil yang terkandung dalam RUU KUB itu memang sudah tidak berlandaskan semangat keadilan” ujar Tedi Kholilludin.
Dalam RUU KUB tersebut masih sama dengan undang-undang sebelumnya. Dimana masalah hubungan antar agama sebelumnya sudah diatur dalam UU No. 1 PNPS 1965. Dalam UU tersebut memang selama ini juga masih menyisakan masalah dimasyarakat terutama menyangkut definisi agama dan kepercayaan.
“Pasal-pasal krusial itu antara lain menyangkut definisi agama dan penodaan agama yang masih terpengaruh dengan UU No. 1 PNPS 1965. dalam pasal 1 (1). Agama adalah agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Kemudian pasal ayat di atas diperjelas oleh ayat (2) yang menyataakan: Umat beragama adalah pemeluk agama. Nah dari definisi agama diatas masih sangat kental dengan UU PNPS. Dimana tidak sedikit pun mengakomodir semua elemen keyakinan yang ada di masyarakat,” ujar Yayan M Royani, dari aktifis eLSA.
Dalam naskah akademik definisi agama sudah memasukkan agama-agama lokal seperti aliran-aliran kepercayaan yang sudah lama ada di Nusantara, Tetapi kemudian asumsi yang dibangun dalam pasal-perpasal yang ada dalam RUU tersebut tersebut jelas hanya mengakui ke 6 agama resmi. Disatu sisi aliran kepercayaan eksistensinya diakui oleh negara. Namun UU yang mengatur sama sekali tidak melibatkan aturan terhadap kepercayaan.
Pengakuan terhadap agama dan kepercayaan lokal haruslah lebih eksplisit, agar tidak menimbulkan tafsir ganda. Ini belum terkait dengan sesama agama resmi yang diakui oleh negara. Hubungan antar agama resmi akan sangat rancu ketika kita melihat pasal mengenai pasal menodai agama.
“Dalam Pasal 47 dijelaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu,” jelas Khoirul Anwar, pengurus Divisi Kajian eLSA.
Pasal ini oleh Anwar dinilai sarat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Kemudian dari perbedaan penafsiran terhadap pasal di atas akan sangat gampang menyulut emosi warga ketika nanti ada di masyarakat ada yang melakukan penafsiran yang berbeda terhadap suatu agama tertentu. Bahkan ini akan terjadi bukan hanya akan terjadi antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Lebih jauh dari itu, interen dalam satu agama saja akan sangat mudah terjadi perbedaan penafsiran sehingga memunculkan perbedaan yang berujung pada konflik agama.
Dalam pasal selanjutnya masih banyak juga yang substansinya dinilai akan bermasalah. Direktur LBH dalam diskusi itu menjelaskan bahwa RUU KUB ini justru akan menjadi bumerang bagi kerukunan umat beragama. Ini dilihaat dari pasal yang membahas mengenai pemakaman yang harus sesuai dengan agamanya masing-masing.
“Dalam pasal 19 (1) dijelaskan bahwa pemakaman jenazah dilaksanakan menurut ajaran agama orang yang meninggal dunia. Lebih lanjut mengenai pemakaman dalam pasal 20 ayat (1) juga dijelaskan bahwa pemakaman jenazah dilakukan di tempat pemakaman sesuai dengan agama yang dianut oleh orang yang meninggal dunia. Dalam ayat (2) diperinci bahwa tempat pemakaman jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan sesuai dengan agama. Dari pasal di atas pasti yang terjadi di masyarakat akan timbul gejolak,” jelas Slamet Haryanto.
Sesuai dengan pengalaman LBH yang sudah terjadi di lapangan saat ini saja banyak terjadi penolakan terhadap seseorang yang meninggal dunia tapi ia tidak beragama atau agamanya selain mayoritas yang ada pada suatu tempat tersebut. Itu padahal yang seagama. Dari pasal di atas kemudian tersirat penafsiran bahwa orang aliran kepercayaan tidak bisa dimakamkan di pemakaman umum. Karena dalam pasal itu sama sekali tidak membahas aliran kepercayaan.
RUU KUB; Perlukah?
Menyambung dari pembicaraan sebelumnya, aktifis Pattiro Semarang bahkan menilai kalau RUU KUB itu tidak dibutuhkan lagi. Setelah mencermati isinya memang RUU ini banyak cacatnya. Karena terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan ditimbulkan. Dalam pasal yang membahas tentang pendirian rumah ibadah itu sangat ganjal.
“Keganjalan itu nampak dalam Pasal 24 (1) bahwa pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Kemudian dalam ayat (2) dijelaskan bahwa dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/ desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.
Selanjutnya dalam ayat (3) dijelaskan bahwa selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam pendirian rumah ibadat juga mempertimbangkan kondisi geografis dan/atau kearifan masyarakat setempat,” papar John Ari salah satu aktifis Pattiro.
Untuk komposisi wilayah, saat ini masih saja masih menyisakan banyak sekali masalah yang timbul di masyarakat. Untuk agama yang penganutnya masih sangat minoritas ini akan menjadi masalah serius. Dalam pasal di atas dijelaskan mengenai komposisi wilayah dimana angka 90/60 itu dibatasi dalam satu desa. Tidak berlaku komposis kecamatan. Nah ini dari itu akan sangat menjepit penganut agama yang masih minoritas dan itu jauh dari akses ke kota.
Sementara misalkan tempat ibadahnya hanya tersedia di kota yang jaraknya jauh. Bagi kalangan yang tidak mampu untuk beribadah ke kota karena akses jalan yang jauh disini akan terbatasi dengan adanya RUU tersebut. Selain masalah agama resmi, John Ari juga menambahkan kita kembali lagi ke kelompok penganut aliran kepercayaan. Dalam pasal itu juga, aliran kepercayaan sama sekali tidak disinggung.
Sementara itu, aliran kepercayaan juga sama membutuhkan tempat ibadah yang memadai bagi penganutnya. “Ini baru saja terjadi di Kabupaten Rembang, dimana aliran Sapto Darmo yang hendak membangun sanggar tempat mereka melakukan ibadah. Namun pembangunan tersebut terpaksa dihentikan karena oleh masyarakat dianggap aktifitasnya meresahkan masyarakat setempat,” ujarnya.
Disela-sela pembicaraan tersebut kemudian Slamet menyambung kembali pembcaraan. Selamet menilai bahwa sebenarnya tanpa RUU KUB pun, kerukunan umat beragama sepertinya sudah terjamin. Asalkan masyarakat ini sudah sadar hukum. “Jaminan kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya kan sudah dijelaskan dalam UU HAM No. 39 Tahun 1999 dan ratifikasi UU No. 12 Tahun 2005 tentang hak-hak sipil dan politik,” ujar Selamet.
Sebetulnya kalau implementasi dari UU di atas sudah berjalan dengan baik, kehidupan kerukunan umat beragama akan berjalan dengan baik. Namun sayang, implementasinya di lapangan saat ini masih sangat menyedihkan, sehingga diskriminasi terhadap minoritas menjadi hal yang tak terhindarkan.