Semarang, elsaonline.com – Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang resmi merilis laporan tahunan 2017. Dalam laporan menyebutkan, kondisi kehidupan keagamaan di Jateng masih di dominasi kasus penolakan kegiatan dengan dalih keagamaan.
Kasus penolakan kegiatan keagamaan di Jateng ini menimpa kelompok minoritas agama dan kepercayaan yang rentan diskriminasi. Menariknya, penolakan juga terjadi kepada kelompok yang selama ini dianggap berpotensi melakukan tindakan intoleran.
Penolakan atau penghentian kegiatan keagamaan erat kaitannya dengan tindakan toleransi dan intoleransi. Dalam KBBI, toleran berarti bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. (KBBI: 2008, h. 1538)
Dalam memaknai atau implementasi konsep toleransi terdapat dua penafsiran. Pertama, penafsiran toleransi yang bersifat negatif. Artinya mensyaratkan adanya sikap membiarkan, tidak intervensi, tidak mengganggu, tidak menyakiti orang atau kelompok lain. Baik kepada mereka yang berbeda maupun yang sama agama atau kepercayaan. (Masykuri Abdullah: , 2001, h. 13)
Kedua, penafsiran toleransi bersifat positif. Toleransi positif artinya mensyaratkan adanya bantuan atau dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain yang berbeda agama atau kepercayaan.
Lapang Dada
Menurut filsuf Italia, Norberto Bobbio, toleransi dan intoleransi, masing-masing memiliki arti positif ataupun negatif. Toleransi dalam arti positif adalah respek terhadap orang-orang yang memiliki iman, pemikiran, atau keturunan yang berbeda. (F Budi Hardiman: Kompas.com, 2012)
Aksi-aksi kekerasan atau penolakan kegiatan keagamaan terhadap kelompok minoritas dalam bentuk pembakaran tempat ibadah, pembubaran ibadah, ataupun penganiayaan adalah intoleransi dalam arti negatif. Tentunya ini bertentangan dengan toleransi dalam arti positif.
Toleransi Negatif
Toleransi tidak selalu positif. Toleransi dalam arti negatif adalah pembiaran ataupun ketidakpedulian terhadap kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang berbeda. Negara sedang mengambil sikap toleransi negatif jika tidak tegas menindak kelompok-kelompok yang menindas kelompok minoritas.
Ketidaktegasan aparat kepolisian atau pemerintah dalam menindak intoleransi dapat dinilai sebagai pemihakan terhadap kelompok pelaku diskriminasi dan kekerasan tersebut.
Dalam arti positif ini intoleransi adalah sikap tegas, konsekuen, atau taat asas. Yang dibutuhkan dalam demokrasi adalah toleransi dalam arti positif. Hanya perlu diingat bahwa toleransi dalam arti positif itu hanya dapat dijamin oleh sebuah pemerintahan yang mempraktikkan intoleransi dalam arti positif.
Sikap tegas, konsekuen, dan taat asas dibutuhkan untuk melindungi masyarakat madani (civil society) dari teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang intoleran dalam arti negatif.
Dalam kasus-kasus penolakan kegiatan keagamaan yang terjadi di Jateng selama 2017 ada yang masuk pada kategori intoleransi negatif dan positif. Namun harus diakui, dalam kasus-kasus penolakan kegiatan keagamaan peran masyarakat sipil sangat dominan. Meskipun yang menjadi eksekutor tetap aparat pemerintahan.
Intoleransi Negatif
Di atas telah dijelaskan bahwa aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam bentuk pembakaran tempat ibadah, pembubaran kegiatan atau ibadah, penolakan kegiatan ataupun penganiayaan adalah intoleransi dalam arti negatif. Tentunya ini bertentangan dengan toleransi dalam arti positif.
Dalam kacamata eLSA, tak sedikit aksi-aksi penolakan kegiatan di Jateng yang masuk dalam kategori intoleransi negatif.
Kasus pertama adalah penolakan bedah buku ”Islam Tuhan Islam Manusia” di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Rektor IAIN Surakarta Mudhofir Abdullah memastikan pihaknya akan tetap menggelar diskusi dan bedah buku itu. Meskipun mendapat penolakkan dari sejumlah organisasi massa.
Penolakkan antara lain datang dari Perwakilan ormas Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) dan Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS).
Mereka bahkan telah beberapa kali menemui pihak rektorat untuk mendesak agar agenda diskusi buku tersebut dibatalkan. Alasannya, diskusi dan bedah buku tersebut dianggap bisa memberi panggung bagi kelompok Syiah. Kedua ormas tersebut juga keberatan dengan hadirnya Haidar Bagir yang mereka anggap sebagai tokoh Syiah Indonesia. (Rappler, 8 Mei 2017)
“Dharma Talk Show” Batal
Dalam pandangan eLSA, dua ormas yang melakukan penolakan kegiatan bedah buku di kampus ini bertentangan dengan prinsip toleransi. Toleransi membutuhkan sikap lapang dada kepada yang berbeda keyakinan keagamaan.
Karena bertentangan dengan prinsip toleransi positif ini, maka ormas yang yang melakukan penolakan kegiatan jelas melakukan intoleransi negatif.
Kasus selanjutnya, penggagalan diskusi “Dharma Talk Show” Umat Budha di Kabupaten Sukoharjo. Tragedi tindak kekerasan yang dialami etnis minoritas Rohingya di Myanmar turut berimbas pada eksistensi umat Buddha di Indonesia.
Semula, diskusi bertajuk “Dharma Talk Show” itu akan dilakukan di Hotel Tosan Solo Baru Sukoharjo pada Sabtu, 9 September 2017 pukul 19:00 WIB. Acara itu rencananya akan dihadiri perwakilan dari Wali Umat Buddha Indonesia (Walubi), bernama Bhikkhu Dhammasubhu Mahathera.
Namun, rencana itu batal, setelah beberapa ormas yang dipimpin Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) melayangkan protes kepada pihak panitia. Sekeretaris LUIS, Yusuf Suparno, mengatakan apa yang dilakukan panitia dengan menggelar diskusi umat Buddha bisa memperkeruh suasana di tengah memanasnya konflik Rohingya di Myanmar.
Ia mengaku menentang keras pelaksanaan diskusi tersebut karena saat ini warga Rohingya yang menganut agama Muslim dibantai oleh sekelompok umat Buddha. Yusuf mengatakan, jika panitia tetap ngotot menggelar acara diskusi itu, maka ia tidak dapat menjamin bila acara Dharma Talk Show bisa berjalan aman dan terkendali. (Rappler, 9 September 2017)
Toleransi Negatif
Tindakan penggagalan diskusi yang hendak diadakan oleh umat Budha ini jelas bertentangan dengan prinsip toleransi. Dalam kasus-kasus seperti ini, seharusnya ormas keagamaan menerapkan prinsip toleransi negatif.
Maksudnya dari toleransi negatif adalah ormas yang berbeda paham keagamaan itu cukup diam dan lapang dada. Memberikan kesempatan pada yang berbeda keyakinan untuk menggelar kegiatan.
Dalam hal ini, merujuk pendapat Norberto Bobbio, maka ormas yang melakukan penggagalan kegiatan ini jelas melakukan tindakan intoleransi negatif. Tindakan yang bertentangan dengan intoleransi positif dimana telah menghalangi salah satu kelompok untuk mengekspresikan kegiatan keagamaan.
Kasus selanjutnya adalah penolakan pengajian Asyura di Kota Semarang. Pengajian Asyura untuk memperingati hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali, kembali mendapat penolakan dari segelintir masyarakat Semarang.
Sekelompok ormas berbasis agama menentang penyelenggaraan acara tersebut pada 1 Oktober 2017 di Gedung UTC, Jalan Kelud Raya, Kelurahan Sampangan, Kota Semarang.
Ormas yang tergabung dalam Forum Umat Islam Semarang (FUIS) menentang acara itu karena pengajian Asyura lekat dengan ajaran paham Syiah. Sementara, dalam pandangan mereka Syiah bukan bagian dari Islam dan dianggap aliran sesat.
Menuding Syiah
Mereka menuding perayaan Asyura jadi penanda perpecahan kaum Sunni dan Syiah, sehingga dikhawatirkan dapat memicu perpecahan Islam. Ia mengingatkan agar peristiwa yang terjadi di Iran dan berlangsung juga di Tanah Air.
Tak kalah keras, upaya penolakan juga disampaikan oleh pihak Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS). Tengku Ashar, anggota DSKS mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar menerbitkan buku berisi beragam penyimpangan yang telah dilakukan oleh kelompok Syiah.
Sementara, perwakilan LUIS, Denok, mengancam akan menyerbu jemaah Syiah tidak membatalkan kegiatannya pada 1 Oktober ketika itu. Ia menganggap Syiah telah menyalahi aturan pemerintah. (Rappler, 28 September 2017)
Dalam kasus ini, beberapa kelompok yang melakukan penolakan kegiatan asyuro jelas melakukan tindakan intoleransi negatif. Mereka berusaha menggagalkan bahkan membubarkan saat acara berlangsung.
Beruntung, aparat Polrestabes Semarang sigap mengamankan sepanjang peringatan Asyuro berjalan. Sehingga acara menjadi berjalan lancar meskipun di luar tempat acara ada ratusan orang yang demo menolak dengan salat di jalan.
Selanjutnya, kasus penolakan perayaan Cap Go Meh di Kota Semarang. Rencana perayaan Cap Go Meh pada 19 Februari di halaman Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), Kota Semarang, ditolak sekelompok organisasi Islam di Semarang.
“Silakan Cap Go Meh digelar. Tapi yang penting jangan dilaksanakan di area masjid,” kata Ketua Pemuda Muhammadiyah Semarang Juma’i. (Tempo.co, 18 Februari 2017)
Cap Go Meh Dipindah
Karena mendapat penolakan, panitia perayaan Cap Go Meh memindahkan acara ke halaman Balai Kota Semarang. Kepindahan itu diputuskan demi menjaga suasana damai di Kota Semarang.
Tindakan kelompok yang melakukan penolakan terhadap perayaan Cap Go Meh ini jelas bertentangan dengan prinsip toleransi. Penolakan yang berakibat pada pemindahan kegiatan ini jelas bertentangan dengan sifat atau sikap menghargai, membiarkan, membolehkan, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Kasus terakhir yang masuk pada kategori intoleransi negatif adalah penolakan pork festival. Setelah mendapat protes keras dari organisasi massa Forum Umat Islam Semarang (FUIS), panitia Pork Festival akhirnya memutuskan untuk mengubah nama acara tersebut menjadi Festival Kuliner Imlek.
Ketua Komunitas Kuliner Semarang, Firdaus Adinegoro, sebagai penggagas festival makanan babi tersebut mengatakan, perubahan nama tersebut merupakan hasil kesepakatan dari mediasi yang digelar oleh pihak kepolisian di Mapolrestabes Semarang pada Jumat, 20 Januari.
Hampir tak jauh berbeda dengan kasus-kasus di atas. Aksi penolakan terhadap pork festival ini juga bertentangan dengan prinsip toleransi. Toleransi berarti bersikap menenggang pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Kelompok keagamaan yang melakukan penolakan pada kasus ini bertentangan dengan toleransi yang bersifat negatif. Toleransi negatif ini mensyaratkan adanya sikap tidak intervensi dan tidak mengganggu, kegiatan kelompok lain.
Baik kepada mereka yang berbeda maupun yang sama agama atau kepercayaan. Karena itu, mereka telah melakukan intoleransi dalam arti negatif.
Intoleransi Positif
Dalam kasus-kasus penolakan kegiatan keagamaan yang terjadi sepanjang tahun 2017 di Jateng terdapat beberapa aksi yang menurut pandangan Elsa masuk pada kategori intoleransi positif.
Secara sederhana, intoleransi positif artinya membatasi atau bertindak sesuai asas konstitusi terhadap pelaku-pelaku intoleran.
Ada beberapa aksi-aksi penolakan kegiatan yang dalam pandangan eLSA masuk pada kategori intoleransi positif di Jateng.
Pertama, kasus Pembubaran Acara HTI. Aparat Polrestabes Semarang akhirnya membubarkan acara Masyirah Panji Rasulillah yang digelar DPD Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Tengah (Jateng) di Hotel Grasia, Semarang, Minggu 9 April 2017 malam.
Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol. Abiyoso Seno Aji, beralasan acara itu mengancam kerukunan umat beragama di Semarang karena rawan bentrok fisik antara massa HTI dan organisasi masyarakat (ormas), seperti GP Ansor maupun Laskar Merah Putih.
“Daripada memaksakan kehendak agar kegiatan ini berlangsung dan ada penolakan dari sekian banyak anggota GP Ansor, Laskar Merah Putih, dan ormas lainnya, maka saya minta acara ini dibubarkan,” ujar Kapolrestabes. (Solopos.com, 8 April 2017)
Tolak HTI
Sebelum mediasi itu berlangsung, ratusan orang dari berbagai ormas, seperti GP Ansor dan Laskar Merah Putih mendatangi Hotel Grasia. Mereka datang ke hotel yang terletak di Jl. Letjend S. Parman No. 29, Gajahmungkur, Semarang, itu sejak pukul 18.00 WIB.
Alasan mereka tak lain untuk menggagalkan acara HTI bertajuk Masyirah Panji Rasulillah. Massa menganggap acara HTI itu bernuansa separatisme karena ingin mendirikan negara sendiri di Indonesia dengan paham khilafah Islamiyah.
Kasus selanjutnya penggagalan diskusi publik tentang Khilafah-HTI. Gelaran pelantikan pengurus dan diskusi publik yang berjudul “Diskursus: Islam, Indonesia dan Khilafah akhirnya batal digelar. Diskusi Publik yang direncanakan mendatangkan seorang Guru Besar Fakultas hukum UNDIP di duetkan seorang Dosen Undip MCA ini mendapatkan tekanan dari berbagai pihak.
Selanjutnya, penggagalan acara diskusi Felix-HTI di Unisula Semarang. DPRD Kota Semarang, Jateng, mengapresiasi pembatalan rencana Unisula Semarang mengundang Ustaz Felix Siauw untuk kegiatan halalbihalal.
Jika kemudian ada tokoh HTI yang berkunjung atau diundang suatu kegiatan yang berlangsung di Semarang, kata dia, tentunya akan menimbulkan persoalan yang mempengaruhi kondusivitas yang sudah berjalan baik.
Kasus selanjutnya masih penolakan seputar isu Felix Siauw-HTI. Puluhan orang dari Forum Laskar Santri Sukowati mendatangi Mapolres Sragen, Rabu (12/7/2017).
Kedatangan mereka untuk menyampaikan pernyataan sikap menolak rencana kedatangan Felix Siauw yang hendak mengisi pengajian di Masjid Raya Al Falah Sragen Masjid Raya Al Falah Sragen pada Senin 17 Juli 2017.
Pantauan Solopos.com, laskar santri diterima Kapolres Sragen AKBP Arif Budiman, Wakapolres Sragen Kompol Danu Pamungkas, dan sejumlah perwira lain. Forum Laskar Santri Sukowati menyampaikan sikap mereka menolak kedatangan Felix Siauw demi menjaga ketenangan dan kondusivitas antarumat maupun ormas Islam di Sragen.
Penolakan Sugi Nur
Selanjutnya kasus Penolakan Pengajian Gus Nur di Semarang. Perselisihan terjadi antara Gerakan Pemuda (GP) Ansor dengan pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Tanfidz Qur’an dan Majelis Dzikir Karomah 13, Sugi Nur Raharja atau Gus Nur.
Bahkan, GP Ansor Kota Semarang baru-baru ini menyatakan siap melaporkan Gus Nur ke polisi. Alasannya tak lain karena Gus Nur dianggap kerap menjelek-jelekan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) saat melakukan ceramaah di depan puluhan jemaahnya.
Dalam siaran pers yang diterima Solopos.com, Kamis 19 Oktober 2017, pernyataan Gus Nur dan para pengikutnya yang menjelek-jelekan Banser itu bahkan berulang diunggah ke media sosial Facebook dengan akun Gusnur Ngaji Bareng.
Salah satu unggahan pengguna akun Gusrnur Ngaji Bareng yang membuat GP Ansor murka adalah pernyataan seusai Gus Nur melakukan mediasi dengan kelompoknya di Mapolrestabes Semarang, Minggu 15 Oktober 2017.
Terakhir kasus Pembubaran Deklarasi FPI di Semarang. Kediaman Komisioner Komisi Informasi Publik (KIP) Zaenal Abidin Petir tiba-tiba ramai didatangi massa ormas pada Kamis malam, 13 April.
Hal itu dipicu karena di rumahnya yang berada di Keluarahan Bulu Lor, kota Semarang itu dijadikan lokasi untuk deklarasi pembentukan ormas Front Pembela Islam (FPI).
Tolak Deklarasi FPI
Sekitar 15 ormas gabungan langsung merangsek dan menolak dibentuknya ormas FPI di Jateng. Mereka memasang spanduk-spanduk bernada protes keras terhadap FPI yang diam-diam hendak meresmikan maskas mereka di rumah Zaenal Petir. Seakan tak terbendung, gelombang protes terus berdatangan sejak pukul 19:00 WIB.
Patriot Garuda Nusantara, Nahdlatul Ulama yang notabene dulu pernah bentrok dengan FPI bahkan ikut menggeruduk lokasi acara. Selain itu, ada pula ormas Laskar Merah Putih, Gabungan Nasional Patriot Indonesia (Ganaspati), Banser dan elemen masyarakat lainnya.
Kapolrestabes Semarang, Komisaris Besar Abiyoso Seno Aji bahkan ikut turun ke lokasi untuk meredam situasi yang terus bergolak. Saat bertemu pimpinan FPI, ia menegaskan acara peresmian markas FPI di rumah Zaenal Petir, dibatalkan.
“Banyak keluhan soal kegiatan FPI, saya tentu menolak acara malam ini. Saya minta sekarang juga dibatalkan,” katanya.
Belakangan ini, menurutnya, FPI kerap meresahkan masyatakat terutama dengan sepihak merazia acara Cap Go Meh di Masjid Agung Semarang dan pesta makan babi bertajuk Pork Festival di Mal Sri Ratu. “Saya tidak mau ada yang berbuat onar di sini. Semua komponen warga menolak FPI. Jangan dipaksakan,” kata Abiyoso.
“Apa untungnya ada FPI. Sebab Indonesia sudah aman. Saya enggak ingin kejadian Rizieq Shihab yang ditolak warga Dayak di Kalbar terulang lagi. Barang siapa yang memancing kerusuhan akan kita binasakan. Jadi sebaiknya kalian menahan diri,” lanjutnya.
Perselisihan antar Ormas
Untuk melihat kasus-kasus di atas supaya mendapat kesimpulan yang objektif, apakah ada unsur intoleransi atau justru intoleransi positif harus dianalisis secara konprehensip.
Mengapa demikian? Karena subjek hukum yang menjadi objek penolakan adalah ormas yang selama ini dianggap gemar melakukan tindakan intoleran. FPI kerap melakukan tindakan penolakan kegiatan keagamaan terhadap kelompok minoritas dan HTI kerap melakukan dakwah provokatif yang memicu perselisihan antar ormas keagamaan.
Semua pihak, terlebih pegiat perdamaian, kerukunan, dan kebebasan beragama dan berkeyakinan mengetahui sepak terjang ormas seperti FPI dan HTI. Karena itu, apakah bisa memberikan toleransi kepada ormas yang kerap melakukan tindakan intoleransi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada tulisan menarik yang ditulis Dr. Fransisco Budi Hardiman pada tahun 2012 di koran Kompas berjudul ”toleransi atas intoleran”.
Penulis buku Kritik Ideologi ini membuat tulisan khusus untuk menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri (masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono), Marty Natalegawa. Pada sidang Kelompok Kerja Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Geneva, Marty Natalegawa.
Marty Natalegawa berdalih, bahwa demokrasi yang membawa kebebasan, telah memberi kesempatan pada pihak-pihak yang berpandangan keras dan cenderung ekstrem mengeksploitasi ruang demokrasi demi kepentingan mereka. (Kompas, 24 Mei 2012).
Demokrasi Disalahkan
Bahasa sederhananya, demokrasi bersalah karena memberi ruang kebebasan bagi kelompok ekstrim untuk bertindak intoleransi. Demokrasi seakan menjadi pembenar bagi kelompok-kelompok ekstrim untuk berlaku sewenang-wenang pada kelompok minoritas agama dan kepercayaan.
Menurut Budi Hardiman, dalam kondisi demikian, toleransi harus dikondisikan secara politis. Semua pihak ingin diperlakukan toleran, maka negara mendapat legitimasinya untuk bersikap toleran terhadap warganya. Namun, negara salah memaknai keutamaan ini (toleran pada warga).
Negara salah memaknai, jika sikap toleran itu dipakai untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal yang menindas minoritas dan mengancam kebebasan publik. Dalam situasi itu toleransi justru dirasakan represif oleh masyarakat (utamanya kelompok minoritas).
Artinya, intoleransi mengandung alasan yang baik (legal) untuk dipilih karena dalih demokrasi.
Untuk mengurai persoalan ini Budi Hardiman mengutip pendapat filsuf Italia, Norberto Bobbio. Menurut Norberto Bobbio, toleransi dan intoleransi, masing-masing memiliki arti positif ataupun negatif.
Harus dipahami, dalam kasus-kasus di atas persis seperti pendapat Budi Hardiman ini. Negara jika berpangku tangan terhadap kelompok-kelompok yang gemar melakukan tindakan intoleran artinya negara sedang menjalankan toleransi negatif.
Lakukan Pembatasan
Negara hanya menjadi penonton ketika ada segerombolan kelompok intoleran yang menindas kelompok minoritas. Karenanya, negara harus bersikap aktif melakukan pembatasan gerakan-gerakan kelompok intoleran untuk menghentikan intoleransi.
Menurut Bobbio, intoleransi juga dapat menjadi sebuah keutamaan politis. Dalam arti positif ini intoleransi adalah sikap tegas, konsekuen, atau taat asas. Yang dibutuhkan dalam demokrasi adalah toleransi dalam arti positif.
Hanya perlu diingat bahwa toleransi dalam arti positif itu hanya dapat dijamin oleh sebuah pemerintahan yang mempraktikkan intoleransi dalam arti positif. Sikap tegas, konsekuen, dan taat asas dibutuhkan untuk melindungi masyarakat madani (civil society) dari teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang intoleran dalam arti negatif.
Semua negara maju tahu bahwa demokrasi tidak dapat dijalankan oleh sebuah pemerintahan yang lembek terhadap para musuh toleransi. Dasar filosofisnya diberikan oleh John Rawls. Dalam A Theory of Justice.
Dia berpendapat bahwa toleransi adalah bagian dari sistem keadilan untuk semua orang yang mau hidup bersama secara damai dalam masyarakat majemuk.
Keadilan sebagai Fairness
Asas keadilan sebagai fairness dilanggar jika suatu kelompok yang intoleran de facto diberi toleransi untuk aksi-aksi kekerasannya. Menurut dia, kelompok intoleran ini bahkan tidak memiliki hak untuk berkeberatan atas sikap tegas negara terhadapnya.
Sebaliknya, civil society berhak untuk berkeberatan atas eksistensi mereka. Demi konstitusi, kelompok-kelompok yang toleran dalam masyarakat itu dapat memaksa kelompok intoleran tersebut untuk menghormati hak pihak lain.
Mereka boleh mendesak pemerintah untuk membatasi kebebasan kelompok intoleran kalau aksi-aksi kelompok ini meresahkan masyarakat.
Mengapa? Karena toleransi yang dikehendaki oleh semua pihak itu tak dapat dibangun di atas sikap toleran terhadap intoleransi. Dunia internasional sudah tahu bahwa pembubaran kegiatan keagamaan, ibadah, pembakaran tempat-tempat ibadah, dan penganiayaan atas penganut agama minoritas sering terjadi dalam masyarakat kita.
Semua insiden, seperti penolakan perayaan Cap Go Meh, pembatalan diskusi Umat Budha di Solo, dan Perusakan Masjid Ahmadiyah di Kendal sejatinya dapat dicegah seandainya aparat keamanan memiliki sikap konsekuen, taat asas, dan tegas terhadap kelompok-kelompok intoleran.
Merusak Kerukunan
Supaya tidak terjadi kembali kasus-kasus serupa, maka negara harus berperan intoleransi positif. Artinya, negara harus mulai membatasi gerakan-gerakan kelompok intoleran supaya tidak terjadi intoleransi.
Negara harus bertindak intoleransi positif terhadap gerakan-gerakan seperti penghentian dangdutan dalam rangka HUT RI dengan dalih haram di Desa Sonorejo, Sukoharjo. Negara juga harus bertindak tegas pada pelaku penyerangan acara hajatan dalam rangka HUT RI di Desa Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, pada Sabtu 19 Agustus 2017.
Singkatnya, negara harus bertindak intoleran pada kelompok-kelompok yang berusaha merusak kerukunan, perdamaian, dan Kebhinekaan. Aparat pemerintah jangan tertipu dengan kata-kata “demi NKRI dan Pancasila” yang sesungguhnya bertujuan untuk merusak NKRI dan Pancasila.
Karena pemerintah telah membuat “pedang” berupa UU Ormas, kelompok intoleran ini kian menjadi sangat Pancasilais dalam berkata-kata. Sesungguhnya spirit gerakan mereka masih sama. Merusak kerukunan atas nama agama.
Secara keseluruhan kasus berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jateng tahun 2017 yakni terorisme 8 peristiwa (berdasarkan waktu) dan melibatkan sedikitnya 21 terduga teroris, penolakan rumah ibadah 4 peristiwa, penghentian kegiatankeagamaan 15 peristiwa, dan isu konversi agama 2 peristiwa. Jadi total kasus 2017 (berikut kasus teroris) ada 28 peristiwa. [Cep/003]