
[Jakarta –elsaonline.com] Segelas kopi tersaji di meja kayu yang sepertinya sudah udzur. Pagi itu (27/3), pria berkemeja putih garis lurus tampak mengotak-atik laptopnya. Sebatang rokok terselip diantara jari tengah dan telunjuknya. Korek api gas hijau bermerk salah satu waralaba, tersimpan di samping laptopnya itu.
Sesekali ia buka social media terpopuler di jagat raya, facebook. Entah informasi apa yang ia cari dari teman-teman di media sosialnya tersebut. Sembari menyeruput kopi, ia minimize program mozilla firefox dan beralih membuka folder di jendela penjelajah. Mungkin ia sedang mencari file penting.
Belum sempat menemukan file yang dimaksud, datanglah laki-laki sepuh berkaos hijau menghampiri. Mereka kemudian bercakap-cakap. Dari logatnya yang agak enteng, sepertinya laki-laki berusia 65 tahun itu berasal dari daerah Sunda. Namanya laki-laki itu adalah Abdul Gaos. Sementara, pria satunya adalah Palti Panjaitan.
“Pak Pendeta, mumpung ketemu, saya mau minta pandangan,” kata Gaos memulai pembicaraan. Palti Panjaitan adalah Pendeta di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Bekasi. “Gimana Pak Gaos?,” jawab Pendeta Palti.
Oleh para korban kekerasan atas nama agama dan keyakinan, Palti diangkat sebagai koordinator. HKBP Filadelfia merupakan korban kelompok intoleransi.

Pengadilan Tata Usaha Negeri Bandung (PTUN) Nomor 42/ G/ 2010/PTUN-BDG, tertanggal 02 September 2010 dan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta Nomor 255/ B/ 2010/ PT.TUN.JKT tertanggal 30 Maret 2011 menyatakan batal Surat Keputusan (SK) Bupati Bekasi No: 300/ 675/ Kesbangponlinmas/ 09, tertanggal 31 Desember 2009, perihal Penghentian Kegiatan Pembangunan dan Kegiatan Ibadah, Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, RT 01 RW 09 Dusun III, Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Bekasi, Jawa Barat dan bupati Bekasi harus mencabut SK tersebut, dan memberikan izin untuk mendirikan rumah ibadah bagi HKBP Filadelfia sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Singkatnya, HKBP Filadelfia boleh berdiri di tanah yang mereka miliki. Tapi apa lacur. Kelompok intoleran tak pernah mau tunduk pada hukum.
Berulangkali Pendeta Palti memimpin jemaatnya di pinggiran jalan. Bukan satu dua kali juga jemaat HKBP ini diintimidasi. Kidung ibadah kerap bertaut dengan isak tangis.
“Begini Pak Pendeta Palti. Soal Mesjid yang di Kupang itu. Kami kan sudah memenuhi semua persyaratan. Dari Izin mendirikan bangunan hingga persetujuan dari warga kami sudah penuhi,” kata Gaos.
Rupanya Gaos tengah bercerita ihwal kesulitan yang kurang lebih sama dengan apa yang dialami Pendeta Palti. Gaos dan umat muslim lainnya bermaksud mendirikan mesjid untuk keperluan beribadah. Tempatnya di Rt 017/07 Kelurahan Batuplat, Kecamatan Alak, Kota Kupang Mesjid yang diberi nama Nur Musafir itu bahkan sempat berpindah tempat karena terlalu berada di tengah-tengah perkampungan yang mayoritas beragama Kristen.
Meski lokasi baru ini terbilang agak sepi, tapi penolakan tak pernah sepi. Padahal saat peletakan batu pertama, perwakilan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan pendeta gereja terdekat. Tapi, pada Juli 2013, pembangunan yang baru mencapai 20 persen itu dihentikan sementara atas instruksi wali kota yang baru terpilih, Jonas Salean. “Mereka (yang menolak, red) meminta kami melengkapi persyaratan. Tapi setelah persyaratan dilengkapi, tetap saja pembangunan tak boleh dilanjutkan” terang Gaos laki-laki berdarah Sunda yang sudah tinggal di Kupang sejak 1975.
Pendeta Palti mendengarkan dengan seksama keluhan Gaos. Alumnus Sekolah Tinggi Teologi HKBP itu kemudian mencoba mencermati upaya yang selama ini dilakukan oleh Gaos dan panitia pembangunan masjid lainnya. “Bapak Gaos sudah berkomunikasi dengan pemuka agama di sekitar?” tanya Palti. “Oh sudah semuanya Pak Pendeta,” jawab Gaos. “Sebagian besar tokoh agama mendukung upaya kami. Tinggal Walikotanya saja bisa bersikap tegas atau tidak,” Gaos menambahkan.
Gaos kemudian mengambil stofmap hijau yang sepertinya sudah sangat disiapkan. Isinya dokumen pendirian mesjid. Ada rekomendasi dari FKUB, tanda tangan masyarakat yang mendukung, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan lain-lain. “Ini Pa Pendeta dokumennya, biar dipelajari,” tukas Gaos. “Baik saya bawa ini ya,” kata suami dari Emeliana Tambunan dengan logat Batak yang khas.
Palti kemudian perlahan membuka dokumen-dokumen itu. Satu dua surat ia baca, perhatiannya dialihkan ke laptop. Ia mulai menutup satu laman yang menghubungkannya ke dunia maya. Termasuk halaman facebooknya. Setelah laptop ia matikan, ayah Asima Rohana Panjaitan itu kembali mencermati dokumen yang diberikan koleganya, Abdul Gaos.
Ah, memang selalu ada kerunyaman di kolong langit ini. Di negeri ini, Tuhan diakui, diagungkan dan dijadikan dasar konstitusi. Tak ada satu pun warga yang tak boleh bertuhan. Namun, penduduk di republik ini kerapkali kesulitan membangun tempat untuk beribadah kepadaNya. Kasihan, Tuhan tak punya rumah. [elsa-ol/T-Kh-@tedikholiludin]