Arifin memaparkan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia yang masih terjebak pada demokrasi prosedural tak pelak hanya ditegakkan oleh prosedur-prosedur formal dengan biaya tinggi. Akibatnya, imbuh dia, ketika seseorang terpilih menjadi anggota legislatif akan berorientasi bagaimana mengembalikan ongkos politik yang telah dihabiskan. “Padahal prinsip bagi caleg dan parpol, orientasi yang terpenting bukan pada demokrasi yang bersifat prosedural, melainkan lebih ditujukan pada demokrasi substansial,” ujar alumni Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta.
Selain itu, lanjut dia, mengenai tantangan terbesar dalam mewujudkan demokrasi yang substantif adalah pola kepemimpinan transaksional yang masih mendominasi sistem pemerintahan di Indonesia. Menurut dia, di mana kepemimpinan transaksional tersebut sulit untuk membawa Indonesia mencapai kemandirian ekonomi. “Maka pemilu 2014 sejatinya adalah tantangan untuk mencari pemimpin yang transformatif. Yakni pemimpin terbaik yang memang diinginkan oleh rakyat Indonesia,” terangnya.
Meskipun demikian, pihaknya tidak menutup mata bahwa pada awal reformasi lalu, proses penyusunan undang-undang dibiayai oleh asing.? Akibatnya, kata dia, banyak undang-undang bernuansa liberal yang semata-mata memihak kepentingan asing. “Misalnya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), lalu UU Mineral, Energi dan Batubara (Minerba) dan beberapa UU lain yang semuanya bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 serta prinsip dasar tujuan negara,” bebernya.
Karena itu, pihaknya menambahkan bahwa demokrasi substansial yang dibangun di Indonesia yaitu demokrasi mental orang di belakangnya yang kuat, cerdas hati dan cerdas otak, sehingga tidak pikun mendengar keluhan suara rakyat karena ia adalah wakil rakyat. Adapun untuk memperbaiki kondisi seperti ini yang perlu dilakukan ialah adanya perbaikan struktural menyangkut perbaikan sistematis. “Meskipun perubahan tersebut memungkinkan dilakukan melalui penyelenggaraan Pemilu,” tandasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]