Kebaikan Seorang Sekuler

Oleh: Sumanto Al Qurtuby

 

Suatu saat di Musim Semi saya pernah tinggal serumah dengan seorang teman yang kebetulan warga negara Amerika. Sebut saja James Williams (bukan nama sebenarnya).

Saya tinggal serumah dengan James selama kurang lebih dua bulan di sebuah kota kecil di pinggiran Negara Bagian Massachusetts.

Ini adalah untuk kesekian kalinya saya tinggal serumah dengan warga Amerika. Sebelumnya saya juga pernah tinggal serumah dengan warga Mennonite Amerika di Harrisonburg, Negara Bagian Virginia. Pengalaman ini kemudian saya tulis dalam sebuah buku yang diterbitkan eLSA, Among the Believers.

Kota tempat James tinggal ini tampak sangat mini dan sunyi bila dibandingkan dengan Boston, ibukota Massachusetts, yang begitu megah dan hiruk-pikuk bertaburan kampus-kampus beken dan gedung-gedung pencakar langit. Untuk mencapai kota kecil ini dibutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan dengan mobil dari Boston.

Saya beruntung ada teman yang dengan baik hati menawari saya tinggal selama kunjungan singkat saya di almamater saya, Boston University (BU). Di kota-kota besar di Amerika seperti Boston tidak mudah untuk mendapatkan apartemen untuk sebuah kunjungan singkat kurang dari satu semester. Rata-rata pemilik apartemen akan menyewakan apartemennya minimal satu semester atau biasanya satu tahun. Saya juga kesulitan mendapatkan apartemen yang bersedia disewa selama kurang lebih dua bulan.

Ceritanya bermula dari sebuah undangan dari Professor R. Scott Appleby, sejarawan Katolik terkemuka dan Direktur Kroc Institute for International Peace Studies di University of Notre Dame, kepada saya untuk mengikuti “pertemuan antar-direktur” yang digelar di Institute on Culture, Religion, and World Affairs (CURA) di Boston University. Oleh Profesor Scott Appleby dan Profesor Robert Hefner (Direktur CURA), kebetulan saya ditunjuk sebagai “Country Director to Indonesia” untuk sebuah proyek riset multi-disiplin jangka panjang tentang “Contending Modernities: Catholic, Muslim, Secular.” Selain itu saya juga sebagai salah satu tim Steering Committee di mega proyek yang melibatkan berbagai ilmuwan terkemuka di dunia ini. Di proyek ini ada tujuh kluster riset, yaitu, (1) Science and Human Person, (2) Global Migration and the New Cosmopolitanism,  (3) Gender, State, and Society, (4) Human Development and Globalizing Economy, (5) Authority, Community, and Identity, (6) Religion and State: Governance and Citizenhsip, dan (7) Deadly Violence and Conflict Transformation.

Karena undangan ini, saya pun mendadak berangkat ke Boston pada 24 Maret 2012 untuk menghadiri rapat tersebut. Sebetulnya tujuan saya ke Boston waktu itu bukan hanya untuk rapat tetapi juga persiapan ujian disertasi yang alhamdulillah sukses digelar pada awal Mei 2012.

Di saat sedang bingung mencari tempat tinggal sementara, tiba-tiba James mengirim email dan menawarkan kepada saya untuk tinggal di rumahnya. Dalam email ia memberi catatan kalau rumahnya itu terletak di downtown yang sepi jauh dari Boston. Sebelum memutuskan untuk tinggal bersamanya ia menyarankan kepada saya untuk mencari lokasi yang lebih strategis dulu yang dekat dengan kampus. Setelah saya pikir cukup lama dan susah mencari apartemen, akhirnya saya mengiyakan tawaran James.

James, 45 tahun, adalah seorang ayah dengan satu anak. Istri James bukan warga Amerika melainkan Republik Korea. Karena ingin fokus menyelesaikan disertasi dan studi doktoralnya, ia memilih tinggal seorang diri. Sementara anak dan istri James ditinggal di Korea. Orang tua James sudah meninggal semua. Sang ayah, mantan profesor sejarah di Boston University, sudah wafat beberapa tahun silam, disusul sang ibu yang belum lama meninggal, belum genap setahun, akibat serangan kanker. Sementara sang kakak tinggal jauh di London. Jadi James tinggal seorang diri di rumah warisan orang tuanya.

Siang itu James menjemput saya di CURA.

Where is CURA? I’ll pick you up,” tanya James lewat ponsel milikku. Saya kemudian jelaskan alamat CURA yang sebetulnya masih di lingkungan kampus Boston University.

Setelah mendengar penjelasan saya, dia kemudian langsung menimpali, “Oh you meant, Peter Berger’s Institute?”

Yes,” jawabku.

CURA memang pada awalnya sebuah lembaga yang didirikan oleh sosiolog kondang, Peter L. Berger. Selama bertahun-tahun sejak awal berdiri, Professor Berger memimpin lembaga ini. Baru beberapa tahun lalu tampuk kepemimpinan diserahkan ke Professor Robert Hefner yang sebelumnya menjabat wakil direktur alias menjadi wakil Peter Berger di CURA. Alasan inilah kenapa CURA juga dikenal sebagai “lembaga-nya Peter Berger.”

Dengan mobil sedannya yang sudah agak tua, James menjemput saya di CURA, kemudian mengantarku ke rumahnya.

***

Rumah James sudah tampak usang. Sedikit renta. “Rumah ini peninggalan orang tuaku. Sudah lebih dari 50 tahun, belum sempat direnovasi,” terang James sambil memandang dinding-dinding kusam rumahnya yang terbuat dari papan kayu. Dari luar, rumah James memang tampak tidak fresh lagi tetapi interior rumahnya bersih tertata rapi apalagi dapur dan ruang tamu. Dapur rumahnya, sebagaimana rumah-rumah di Amerika sangat rapi, bersih, wangi, dan nyaman.

Pemandangan ini tentu saja kontras dengan “konsep tradisional” dapur di Jawa dan Indonesia pada umumnya. Di Jawa, dapur itu sangat kotor dan kumuh. Istilah pawon—nama dapur dalam bahasa Jawa—konon kepanjangan dari “panggenane barang awon” alias tempat menaruh barang-barang kotor, jelek, dan “rongsokan.” Karena itu tidak mengherankan kenapa dapur-dapur di rumah-rumah orang Jawa begitu kumuh.

Bagi orang Amerika, sebaliknya, dapur sangat dijaga kualitas dan kesehatannya karena dapur adalah tempat memproduksi segala jenis makanan dan minuman yang akan dikosumsi oleh anggota keluarga. Karena itu, dalam filosofi orang Amerika, peran dapur dipandang sangat sentral. Tidak ada bahan-bahan makanan dan minuman yang dibiarkan keleleran (berserakan) diluar seperti umumnya di Indonesia. Semua bahan makanan dan minuman disimpan dalam “kitchen cabinet” dan kulkas-kulkas berukuran jumbo.

Baca Juga  “Iman yang Terganggu:” Membaca Argumen Penolakan Pendirian Gereja

Selain dapur, yang membedakan konsep rumah di Amerika dan Jawa adalah kamar mandi dan toilet. Rata-rata toilet-toilet di Amerika sangat bersih, rapi, dan nyaman. Orang Amerika berpandangan toilet adalah bagian integral dari rumah. Karena itu ketika membangun rumah atau apartemen, mereka tidak membedakan antara “toilet” dan ruang tamu.

Ini tentu saja berbeda dengan konsep pembangunan rumah di Indonesia dimana toilet pada umumnya selalu dianaktirikan. Filosofi orang Indonesia terhadap toilet adalah “tempat kotor” karena tempat pembuangan kotoran yang menjijikkan. Karena itulah, toilet atau WC, tidak ubahnya seperti “jamban” yang bau dan kotor. Sangat tidak nyaman ketika berada di kamar mandi dan toilet. Ironisnya pemandangan WC yang bau dan kotor ini tidak hanya terjadi di kampung-kampung atau di kawasan kumuh perkotaan tetapi bahkan di gedung-gedung pemerintahan, kampus, perkantoran, mal, bandara, dan sebagainya.

Di tempat-tempat “modern” ini, kondisi toiletnya tidak ubahnya seperti jamban yang jorok dan bau pesing. Itu terjadi lantaran mentalitas dan perilaku “orang-orang modern” yang “jadul” dan tidak bertanggung jawab yang tidak memperhatikan masalah kebersihan dan kesehatan toilet. Meski di muka tampak wangi dan perlente, “di belakang” sangat jorok.

Karena kebiasaan buruk yang berlangsung berabad-abad ini, tidak jarang orang Indonesia dan Muslim khususnya[1] diidentikkan dengan “kejorokan.”

Pernah suatu saat ada seorang teman dari Indonesia berkunjung ke apartemen saya di Newton, Massachusetts, sewaktu saya masih sekolah di program doktoral di Graduate School of Arts and Sciences, Boston University. Melihat interior apartemenku yang bersih-terawat, ia berkelakar: “Saya tidak menemukan Indonesia dan Islam di apartemen kamu ini.”

Memang harus diakui, meskipun hadis Nabi “Kebersihan sebagian dari iman” sering dikutip dan ditempel dimana-mana, kaum Muslim masih sulit untuk mentradisikan dan membudayakan kebersihan ini.

Antropolog Undip Mudjahirin Thohir pernah mengisahkan perilaku jorok orang-orang Jawa (dan Indonesia pada umumnya) yang hendak/sedang menunaikan ibadah haji, baik ketika sedang berada di asrama haji, pesawat maupun di hotel-hotel di Jeddah, Makah, dan Madinah. Toilet yang kumuh dan bau pesing dan menyengat adalah pemandangan sehari-hari. “Bahkan ada sejumlah orang yang tidak menyiram air kencing dan berak mereka saat berada di pesawat sehingga membuat pramugari kesal dan marah,” kenang Mudjahirin.

***

Ketika saya sedang asyik menikmati indahnya dapur di rumah James, ia tiba-tiba berkata, “Selain rumah ini, saya punya rumah satu lagi di New Hamsphire yang usianya sudah 200-an tahun. Suatu saat kamu akan saya ajak kesana,” tambahnya.

Saya hanya manggut-manggut saja mendengarkan paparannya.

Sesaat kemudian James mengantarkan saya ke sebuah kamar yang sederhana tapi bersih di lantai dua.

This is your room,” kata James.

Sesaat saya memandang sekeliling ruangan: ada meja belajar, lemari pakaian, rak buku, dan alat pemanas ruangan (heater). Di sebelah kamar tidur ada kamar mandi dan toilet yang sederhana tapi bersih serta lengkap dengan peralatan mandi.

Meski rumah James tampak kusam, tanaman dan taman bunga di sekitar rumah masih segar dan tertata rapi.

Sebagaimana umumnya rumah-rumah di AS, rumah James juga dibiarkan terbuka tanpa pagar—apalagi kawat berduri—seperti rumah-rumah di kota-kota di Indonesia.

Rumah adalah cermin situasi lingkungan. Rumah yang dibiarkan terbuka tanpa pagar menunjukkan “keterbukaan” dan “keamanan.” Itulah sebabnya di kampung-kampung, tidak seperti di kota, jarang sekali rumah yang ditutup rapat dengan pagar. Masyarakat kampung, satu sisi, merupakan cermin dari “masyarakat terbuka” serta aman.

Sebaliknya, rumah yang tertutup rapat dengan pagar seperti umumnya di kota-kota bisa jadi merupakan “simbol eksklusifitas” (baca, tidak mau diganggu privacy-nya) dan potret dari situasi lingkungan yang tidak aman karena mungkin banyak maling, perampok, atau orang-orang jahat yang setiap saat bisa menyatroni rumah.

***

James adalah pribadi yang unik. Ia mengaku sebagai seorang Protestan. “But I’m not a devout Protestant,” jelasnya. “Sekarang bahkan saya mulai ragu terhadap kebenaran sebuah agama. Terhadap klaim-klaim agama tentang keselamatan (salvation) di dunia paska kematian,” terang James menjelaskan kebimbangannya terhadap otoritas agama.

Saya perhatikan ia memang tidak pernah ke gereja terutama kalau hari Minggu. Ia juga tidak pernah membaca Injil. Tidak pernah meritualkan doa-doa khas pengikut Kristen. Setiap hari, rutinitasnya adalah ke kampus (Boston University), kalau pagi, untuk mengajar mahasiswa undergrad (S1). Kebetulan waktu itu ia menjadi “Teaching Assistant” (TA).

Sepulang dari kampus ia tidur siang sampai kira-kira jam 4 sore. Selepas tidur siang ia menyeruput beer. Ya, beer dan wine adalah minuman favoritnya. Setiap hari ia menenggak berbotol-botol bir. Bagi James, seolah-olah tiada hari tanpa bir dan wine.

Selain minuman favoritnya ini, ia juga pecandu marijuana, sejenis ganja. “Darimana marijuana ini didapat?,” tanyaku penuh penasaran. “It’s very easy to get this stuff here,” jawab James singkat. Sambil menyetir mobil butut-nya yang full musik ala hip hop ia menjelaskan kepada saya kalau “barang haram” ini ia dapatkan dari “pasar gelap” (black market) di Boston dan kota-kota kecil lain di Massachusetts. Para penjual ganja disini sudah tahu James sebagai pelanggan, jadi mudah untuk mendapatkannya. Para pengecer ganja itu biasanya sambil bekerja sebagai “delivery pizza” atau pekerjaan apa saja untuk “mengelabuhi” petugas keamanan.

Baca Juga  Indonesia (Masih) Sebagai Model?

James mengaku kalau mengosumsi marijuana ini bukan untuk “mencari sensasi” atau bahkan untuk melakukan perbuatan kriminal. Ia mengosumsi “barang haram” ini, akunya, adalah untuk “meningkatkan konsentrasi, kinerja, dan kreatifitas berfikir.” Ia mengaku sulit berkonsentrasi membaca buku atau menulis paper/tugas-tugas mata kuliah atau disertasi jika belum menghisap marijuana ini.

“Saya tidak merokok, jadi marijuana ini sebagai pengganti rokok untuk menenangkan pikiran dan meningkatkan konsentrasi,” klaimnya.

Selain hobi minum bir dan wine, atau mengosumsi marijuana, James yang menulis disertasi tentang komunitas hip hop Jepang ini juga gemar memasak. Untuk urusan yang satu ini, ia sangat “perfeksionis.” Semua bahan makanan yang akan dimasak harus sehat dan berkualitas. Karena itu ia tidak pernah belanja bahan-bahan makanan di pasar-pasar murah seperti Walmart atau “pasar gremeng” di pinggiran kota karena menganggap bahan makanan yang dijual di tempat-tempat seperti ini tidak sehat.

Alasan kesehatan ini pulalah yang membuat James tidak pernah makan makanan produk Dunkin Donuts (DD), McDonnald (McD) atau Kenthucky Fried Chicken (KFC) yang oleh James disebut “junk foods” alias “makanan sampah” karena tidak memperhatikan standar kesehatan dalam pengolahannya. Menurut James, penyebab orang-orang Amerika kegendutan (obesitas) itu antara lain karena sering mengonsumsi makanan-makanan siap saji ini. Di Amerika sendiri, DD, McD atau KFC adalah “simbol kelas bawah” atau mereka yang “berkantong tipis” seperti pekerja kasar, buruh, atau bahkan gelandangan (homeless).

Orang-orang Amerika kelas menengah lebih suka pergi ke Starbuck untuk minum dan restoran-restoran untuk makan malam. Atau kalau kepepet, mereka menyantap Subway yang lebih fresh dan sehat. Pemandangan ini tentu saja berbanding terbalik dengan di Indonesia atau negara-negara berkembang pada umumnya yang menganggap DD, McD dan KFC sebagai “makanan elit,” “maju” dan “modern.” Karena itu kita lihat para pembeli di “warung-warung asal Amerika” ini berpakaian necis dan wangi, kontras dengan di Amerika sendiri. Bahkan tidak jarang ada persepsi di masyarakat kita kalau makan di tempat-tempat ini bisa meningkatkan “status sosial” dan “gengsi.”

Lebih lanjut, bagi James, tempat dan area memasak juga harus bersih. Pada saat memasak juga harus sempurna: temperatur “dapur listrik” diatur sedemikian rupa, tidak boleh terlalu panas karena dapat membuat wajan dan masakan gosong. Ia tidak mau makan telur dadar atau ikan goreng yang gosong, meski hanya sedikit. Kalau ada ikan goreng atau telor dadar gosong, maka saya yang menyantapnya (“daripada mubazir dibuang ke tong sampah,” pikirku waktu itu). Pernah suatu saat kami mengadakan barbecue (BBQ) memanggang ikan laut dan burung puyuh. Oleh James, saya tidak dibolehkan memasak karena khawatir gosong. Akhirnya dia semua yang meracik bumbu dan memanggang ikan dan burung puyuh. Saya tinggal menyantapnya saja.

Waktu memasak juga diatur sedemikian rupa. Tidak boleh kurang atau lebih. “Kalau mau merebus telor waktu yang bagus harus 12 menit,” jelasnya.

Sudah tak terhitung berapa kali James memasak untuk dinikmati bersama. Karena saya tidak bisa masak, maka semua dikerjakan oleh James: dari mulai memilih bahan-bahan makanan yang bagus di supermarket, menyiapkan bumbu sampai proses memasak. Tugasku biasanya mencuci piring, gelas, dan alat-alat memasak lainnya alias “cleaning service.” Itupun tidak berat karena semua peralatan tinggal dimasukkan ke mesin cuci. Beres.

Setelah masakan matang, James biasanya hanya mencicipi sekedarnya saja. Ia tidak pernah memakan sampai banyak apalagi menghabiskan makanan. Porsi makananku selalu lebih banyak daripada dia. Ia akan sangat senang jika saya menyantap hasil masakannya dengan lahap. Itu pertanda masakannya enak. Sebaliknya, ia akan meminta maaf kepadaku kalau ia merasa masakannya tidak enak, atau ikan yang ia pilih ternyata tidak segar. James selalu merasa bersalah jika melihat saya lemas, kurang makan.

Ia tahu kalau laki-laki dari Asia, apalagi Indonesia, kebanyakan tidak bisa memasak. Sebelum studi di Boston University, James pernah bergaul dengan orang Indonesia sewaktu belajar magister antropologi di sebuah kampus di Manoa, Honolulu. Salah satu dari gurunya yang mengajar gamelan dan kesenian Indonesia juga orang Indonesia. Ketika saya tanya siapa nama gurunya yang orang Indonesia itu, dengan cepat ia menjawab, “Pak Susilo.” Dari Pak Susilo inilah, James mengaku mengenal musik gamelan, wayang, dangdut dan sebagainya.

Mungkin ia merasa iba melihat saya yang tidak bisa masak, kecuali membuat mie rebus atau memasak nasi. Karena itu ia berinisiatif kalau membeli bahan-bahan makanan dilebihkan supaya bisa dinikmati berdua dengan saya. Sering juga ia memasak untuk makan malam secara diam-diam. Setelah matang, ia kemudian memanggil saya di kamar, “Manto, food is ready.”

***

Saya melihat ada sederet kesalehan pada diri James yang mengidolakan “tokoh kiri” Amerika, Naom Chomsky ini. Di balik sikap “sekular”-nya ia memiliki jiwa sosial yang tinggi. Di balik “kebiasaan buruknya” mengonsumsi marijuana, ia mempunyai spirit dan semangat untuk menolong sesama. Saya kaget—sekaligus gembira—ketika ia menolak uang sewa kamar rumah yang saya tempati. Padahal saya sudah menganggarkan US$ 700 untuk sewa kamar per bulan—sebuah harga sangat murah untuk ukuran Boston.

Baca Juga  Maret, eLSA Press Luncurkan Dua Karya Abu Hapsin

I’m not a landlord my friend. I just wanna help you,” kata James menolak halus uang sewa yang aku berikan kepadanya.

James berkisah, sewaktu penelitian disertasinya di Jepang selama sembilan bulan, ia pernah ditolong seseorang dengan cara diminta menempati rumahnya secara gratis selama fieldwork. Sebagai seorang mahasiswa yang tidak mendapatkan research grant cukup, tentu tawaran ini sangat membantunya. Merasa pernah ditolong orang lain di negara lain, ia pun ingin melakukan hal yang sama kepada saya. Waktu itu saya hanya diminta iuran membayar biaya listrik saja totalnya sekitar $80. Rupanya ia ingin membalas jasa kebaikan seseorang yang pernah berbuat baik kepadanya dengan memberi pertolongan serupa kepada orang lain.

Selain membebaskan biaya sewa kamar atau menyediakan makanan/masakan untuk saya santap, James juga membantu menyiapkan berbagai keperluanku selama tinggal di rumahnya termasuk mengantar ke kampus jika ada waktu luang. James juga menjadi salah satu “supporter”-ku ketika saya ujian disertasi (dissertation defense), sesuatu yang juga saya lakukan terhadapnya.

Seminggu sebelum ujian disertasi, ia menghibur saya dengan mengajakku refreshing ke New Hampshire untuk mengunjungi rumah warisan orang tuanya yang lain. Dibutuhkan waktu sekitar tiga jam dengan mengendarai mobil untuk sampai ke tempat ini.

Betapa terkejutnya saya ketika tiba di rumahnya. Letak rumahnya persis di tengah hutan belantara. Tidak ada tetangga kanan-kiri. Tidak ada alat penghangat ruangan (heater). Padahal cuaca waktu itu masih sangat dingin. Hanya perapian tradisional dengan kayu bakar yang bisa menghangatkan tubuh. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku saya menggunakan pakaian sampai rangkap lima untuk melindungi tubuh dari serangan hawa dingin yang menyeruap. Selama tinggal disini, saya dan James juga tidak pernah mandi karena air membeku. Akibatnya buang hajat dan kencing juga pun di tengah hutan.

Rumahnya juga tampak sangat renta karena sudah berumur 200-an tahun sehingga menambah suasana angker dan mitis. Momen yang paling menegangkan adalah ketika malam hari karena saya harus tidur sendiri di kamar sementara James tidur di ruang terpisah di belakang yang berjarak sekitar 50 m. Kala itu bukan hantu yang saya takutkan melainkan binatang buas atau manusia jahat seperti dalam film-film horor Hollywood.

Berkali-kali saya mencoba untuk tidur tetapi mata ini susah untuk dipejamkan. Mata tidak bisa terlelap ketika pikiran juga belum tenang. Malam sudah sangat larut. Suasana begitu hening dan mencekam.

Tiba-tiba saya mendengar ada langkah kaki seseorang masuk ke dalam rumah. Ia kemudian membuka pintu dan masuk ke kamarku. Ternyata James. Saya pura-pura tidur. Ia membawa sejumlah kayu bakar dan menyalakan perapian di sampingku yang sudah mulai redup untuk menghangatkan ruangan. Ia juga membetulkan selimut yang menutupi tubuhku. Sejenak ia mengecek jendela untuk memastikan kalau sudah terkunci. Ketika semua dipandang sudah beres, ia meninggalkan ruangan dan kembali ke ruang tidurnya.

Sengaja saya dibawa ke tempat ini karena menurutnya, sebelum ujian disertasi dibutuhkan situasi jiwa dan pikiran yang “peaceful” supaya tenang, terkendali, dan tidak stres sehingga saya diharapkan tidak gugup menghadapi momen paling menegangkan dan menentukan dalam studi doktoral ini. Memang rumah ini sangat sepi. Tidak ada suara mobil. Yang terdengar hanyalah suara burung yang berkicau, gemericik hujan, atau gemuruh angin.

Selama retreat di rumahnya yang terletak di area sekitar 26 ha ini, James tidak henti-hentinya menghiburku dengan aneka guyonan ala Amrik, mengajariku memanah dan menggunakan senapan serta cara menghadapi beruang jika sewaktu-waktu binatang ini muncul dan menyerang. Saya tidak menduga sebelumnya ternyata James sangat mahir memanah dan menembak. Panahannya jarang meleset. Tembakannya juga jitu. Ia pernah menembak “tupai merah” di pohon yang tinggi berjarak puluhan meter dengan sekali tembak: dor! Tupai pun jatuh terkapar. Ia juga tidak pernah lelah mengatakan kepada saya untuk santai dan rileks serta menganggap hari ujian nanti seperti hari-hari biasa.

Lagi, selama liburan di New Hampshire ini, ia pula yang menyiapkan bahan makanan dan minuman serta memasak untuk disantap bersama: ada ikan, daging sapi, ayam, kentang, udang/lobster, buah-buahan dan masih banyak lagi. Tidak lupa ia membawa barang-barang kesukaannya: bir, anggur, dan marijuana.

Akhirul kalam, ada banyak pelajaran berharga yang saya petik selama saya tinggal dan bergaul dengan James. Tidak hanya belajar memasak, memanah, menembak, atau main golf. Lebih jauh saya mempelajari tentang kecermatan, kehati-hatian, kesederhanaan, tanggung jawab, kepedulian, keceriaan, dan kesalehan dari seorang “Protestan kiri-liberal” seperti James.

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia saya terus-menerus merenung: “James yang sudah menjadi yatim-piatu saja dan hidup sebatangkara di Amerika tanpa sanak-saudara bisa dengan rileks, ceria, dan semangat yang terus membara menghadapi kehidupan, tentunya saya harus lebih bersemangat ketimbang dia.” Meski ayah sudah wafat, saya masih punya ibu. Meski ada salah satu kakakku yang meninggal, saya juga masih mempunyai kakak kandung serta keponakan yang tinggal di kampung.

Diam-diam James telah menjadi inspirator dan penyemangat hidupku yang kadang-kadang lunglai karena ditinggal pergi kakak dan ayah tercinta untuk selamanya.



[1] Ini bukan berarti warga non-Muslim di Indonesia lebih bersih dan tidak jorok. Karena Indonesia negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, maka “label” Indonesia sering dihubungkan atau dikait-kaitkan dengan Islam.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini