Oleh: Yayan M. Royani
Berbicara kerukunan antar umat beragama, tidak akan lepas dari delik agama sebagai konsekuensi pemanggilan hukum pidana dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut. Istilah delik pidana sendiri dapat diartikan dalam beberapa penertian:
- Tindak pidana menurut agama
- Tindak pidana terhadap agama
- Tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama
Poin pertama dan kedua menjadi fokus permaslaahan yang akan di bahas, karena poin pertama berkaitan dengan keyakinan yang merupakan wilayah privat dan tidak memasuki ruang publik. Jika menggunakan pendekatan kebijakan hukum pidana, maka kedua point tersebut tidak terlepas dari bagian penaggulangan kriminal untuk terciptanya ketertiban umum dan kerukunan antar umat beragama.
Ketentuan tentang delik agama tersebar dalam berbagai undang-undang. Diantaranya dalam undang-undang KUHP dan UU no. 1 Pnps 1965. Dalam KUHP sebagaimana ditentukan dalam UU Pnps 1965, maka ditambahkan satu pasal yaitu pasal 156a tentang penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama. Adapun yang terkait delik yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama, dalam KUHP tersebar antara lain dalam pasal 175-181 dan pasal 503 ke-2.
Delik agama yang tidak masuk KUHP dan terdapat dalam UU Pnps 1965 terdapat dalam pasal 3 jo. Pasal 1 dan pasal 2 UU no. 1 Pnps 1965. Inti perbuatan yang di larang pada pasal 1 tersebut bukan terletak pada keyakinan seseorang dalam menafsirkan dan menjalankan kegiatan keagamaan secara pribadi, akan tetapi berkaitan dengan penyampaian dan pengajaran keyakinan untuk mendapatkan dukungan umum. Berbeda dengan pasal 156a dalam KUHP yang terdapat devergensi, sebagaimana pendapat Prof Umar Senoadji, dimana pasal tersebut penempatannya dalam Bab V (kejahatan terhadap ketertiban umum), akan tetapi jika dilihat dari rumusan tekstual pasal, delik tersebut ditujukan terhadap agama.
Selain itu, delik agama terdapat dalam undang-undang di luar KUHP yaitu dalam UU Pers no. 40 tahun 1999, pada pasal 18 (2). Juga pada UU Penyiaran no. 32 tahun 2002, yaitu pasal 57 jo.36 (6) dan pasal 58 jo. 46 (3).
Dalam konsep KUHP sendiri telah menentukan bab khusus mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan agama. Dalam bab ini terdiri dari dua bagian, pertama berkaitan dengan tindak pidana terhadap agama, kedua tentang tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Bagian pertama terdapat dalam pasal 341-345, sedangkan bagian kedua terdapat dalam pasal 346-348.
Dalam perkembangannya, telah di gagas Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama, dimana dalam pasal pasalnya memuat ketentuan delik pidana dan pidana. Pada bab VIII tentang larangan, yaitu pada pasal 44-48 dan bab IX tentang ketentuan pidana, yaitu pada pasal 49-53. Sebagaimana yang menjadi landasan pada Konsep KUHP yaitu pasal 29 UUD 1945, tentang kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dalam RUU Kerukunan Umat Beragama terdapat tambahan yaitu pasal 20, 21 tentang kebijakan legislatif dan pasal 28E tentang kebebasan berkeyakinan.
Sebagaimana dalam konsep pasal 346-348 yang bertujuan untuk melindungi kebebasan agama, juga untuk mencegah terjadinya bentrok dan keresahan antar umat beragama, dalam RUU Kerukunan Umat Beragama terdapat perkembangan, sebagaimana pada pasal 44 yang menitikberatkan kepada berbagai bentuk ancaman terhadap umat beragama lain.
Pasal 44: “Untuk menjamin terselengaranya kerukunan umat beragama, setiap orang dilarang:
- Menggunakan kata-kata yang diucapkan ataupun tertulis dan /atau tingkah laku yang mengancam umat beragama lain;
- Mencetak dan mempublikasikan tulisan dan/ gambar yang menghina dan mengancam umat beragama lain;
- Melakukan pertunjukan publik dengan kata-kata dan/atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan kepatutan ajaran agama lain; atau
- Mendistribusikan, menunjukan, dan memainkan rekaman, baik berupa gambar atau suara yang menghina, mengancam, dan tidak sesuai dengan kepatutan ajaran agama lain.
Jika melihat kembali kepada permasalahan konsep KUHP terkait masalah kerukunan beragama, Barda Nawawi Arif memberikan catatan bahwa salah satu masalah yang rawan adalah masalah penyiaran/ penyebaran agama kepada orang lain yang sudah beragama. Jika dalam konsep hanya terdapat pada pasal 345 terkait penghasutan peniadaan kepercayaan/keyakinan terhadap agama, maka dalam RUU Kerukunan Umat Beragama terdapat perluasan.
Pasal 45 “Setiap orang dalam menyebarluaskan ajaran agama dilarang:
- Ditujukan kepada orang atau kelompok orang yang telah emeluk atau enganut agama lain;
- Mendiskreditkan agama lain;
- Menganggap ajaran agamanya paling benar;
- Menyebarkan ajaran yang menyimpang;
- Menyebabkan perasaaan permusuhan antar umat beragama; dan
- Menimbulkan perasaan kebencian terhadap umat agama lain.
Hemat penulis, pasal-pasal di atas terdapat kelemahan dan menjadi kontroversi berbagai pihak. Sebagaimana pada ayat c, diamana tidak memperbolehkan menganggap ajaran agamanya paling benar, adalah urusan keyakinan internal umat beragama. Lebih dari itu, kebanyakan tokoh agama tidak menyetujui apabila penyiaran agama kepada orang yang telah beragama dijadikan sebagai tindak pidana. Dalam RUU Kerukunan Umat Beragama juga terdapat permasalahan yuridis, yaitu tidak menentukan kualifikasi delik antara kejahatan atau pelanggaran. Lebih dari itu, RUU Kerukunan Umat Beragama belum menentukan nilai sanksi.
Seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman, maka pembaharuan dalam Konsep KUHP harus terus dilakasanakan. Tanpa terkecuali dengan tercecernya rumusan delik agama dan yang berhubungan dengan kehidupan beragama, maka diperlukan kebijakan hukum pidana yang komprehensif untuk menciptakan kerukunan umat beragama dan tercapainya tujuan hukum nasional.