(Semarang, elsaonline.com) Sejumlah pendeta dari Gereja Isa Almasih (GIA) berkunjung ke Pesantren Al-Itqon, Gugen, Tlogosari Semarang Senin (26/9) kemarin. Para pendeta jemaat GIA itu tak hanya berasal dari Semarang, tetapi juga datang dari Kendal, Pati dan Bandung. Mereka adalah peserta “Short Course on Islamic Studies” yang diselenggarakan oleh Komisi Dialog Antar Agama (KDAA) Majelis Pengurus Harian GIA. Kunjungan ke Pesantren Al-Itqan adalah rangkaian dari kegiatan tersebut.
Rony Chandra Kristanto, Ketua KDAA mengatakan pengenalan seperti ini penting agar pendeta tidak hanya memahami realitas keberislaman secara text book. “Mungkin dulu di perkuliahan ada mata kuliah agama Islam sebanyak dua sks. Itu pun yang mengajar bukan tangan pertama”, ungkapnya. Mengingat betapa minimnya pengetahuan tentang Islam, maka ia berinisiatif untuk membuat kursus singkat bagi pendeta untuk mendapatkan pengetahuan tentang Islam dari “tangan pertama”.
Tak hanya itu, pendeta-pendeta yang berjumlah kurang lebih 20 orang itu juga diajak langsung melihat salah satu lembaga pendidikan Islam tradisional, yakni pesantren Al-Itqon. “Kalau di media, kita hanya disuguhi Islam yang intoleran, lekat dengan teror, maka kursus ini juga dimaksudkan untuk membaca Islam, yang pada nyatanya tidak tunggal” terang Rony.
Dalam kursus tersebut, peserta diberi materi antara lain, “Varian Ormas Islam di Indonesia”, “Islam Politik”, “Sejarah perkembangan Islam di Indonesia”, “Perkembangan Pesantren sebagai Institusi Pendidikan” dan materi lainnya.
Di Pesantren Al-Itqon rombongan Pendeta GIA disambut hangat oleh pengurus Yayasan Al-Wathaniyyah yang menaungi pesantren tersebut. Kyai Sholahuddin Shodaqoh atau yang biasa dipanggil Gus Sholah, salah satu pengasuh Pesantren Al-Itqan memberi ucapan selamat datang di Al-Itqan. Tak lupa, Gus Sholah menyampaikan duka yang mendalam atas tragedi Bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo pada Minggu (25/9) kemarin.
Menurut Gus Sholah, pesantren betapapun ia adalah institusi tradisional, tetaplah menghargai perbedaan. “Dalam Islam, toleransi itu bukan barang aneh. Kalau ada orang Islam yang tidak toleran, itu justru jadi aneh” tutur Gus Sholah. Prinsip paling penting yang diajarkan dalam Islam ketika berhadapan dengan perbedaan adalah ta’aruf atau saling mengenal. “Tentu bukan hanya kenal namanya, tetapi juga budayanya dan lain sebagainya” lanjut Gus Sholah.
Khoirul Anwar salah satu pengurus Pesantren Al-Itqon menambahkan kalau pesantren sering disebut-sebut media sebagai sarang kelompok garis keras. “Pandangan ini sebenarnya keliru, karena yang menjadi produsen para teroris itu adalah pesantren dalam tanda kutip”, tutur Khoirul. Menurut alumnus Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta itu, yang disebut pesantren sejak awal adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang menjaga aspek moderatisme dan menghindari ekstrimisme. “Kalau ada pesantren yang mengabsahkan kekerasan, itu bukan dari kalangan pesantren Nahdlatul Ulama (NU)” tegas Khoirul. Pesantren yang berada di bawah garis perjuangan NU selalu terbuka untuk beradaptasi dengan nilai baru yang lebih baik sembari mempertahankan nilai lama yang baik. (elsa-ol)