Oleh: Khoirul Anwar
Dalam seminar tentang Ahlus sunnah wa al-jamâ’ah salah satu pembicara dengan perawakan kecil dicaci maki, disesatkan, bahkan dikafirkan oleh para pembicara lainnya dan peserta yang memberikan tanggapan pertanyaan. Di dalam masjid tempat halaqah diadakan, ia tetap gagah dan tenang meski tidak punya pendukung, apalagi pembela. Ia dituduh telah memperbolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi jamaah laki-laki, ia terlibat membela Yusman Roy, orang Malang Jawa Timur yang memperbolehkan shalat dengan menggunakan bahasa Indonesia, ia dihujani berbagai tuduhan karena dianggap bagian dari Jaringan Islam Liberal (JIL), dan sejumlah tuduhan lainnya yang menurut orang-orang itu sudah cukup untuk melabeli pembicara asal Cirebon Jawa Barat sebagai orang sesat dan menyesatkan, murtad, bahkan kafir.
Pembicara itu bernama KH. Husein Muhammad, cendekiawan Muslim dengan latar belakang pendidikan pondok pesantren tradisional di salah satu kota di Jawa Timur. Peristiwa itu terjadi pada Kamis malam Jumat di awal tahun 2006. Ia sengaja diundang oleh salah satu PCNU di Jawa Timur untuk menjadi pembicara dalam seminar tentang Aswaja, namun setelah menyampaikan materi sesuai dengan tema, pembicara dan sebagian peserta seminar memberikan pertanyaan dan tanggapannya tentang hal lain, yaitu mempertanyakan isu-isu keislaman kontemporer yang selama ini ia wacanakan, seperti emansipasi perempuan, kebebasan beragama, dan wacana keislaman termutakhir lainnya disertai dengan berbagai tuduhan mengerikan: sesat, murtad, kafir.
Bagi kiai yang akrab disapa Kang Husein, inti dari ajaran Islam adalah keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Karena itu hukum Islam atau fikih tidak boleh mengandung kekerasan terhadap siapapun. Nilai-nilai universal Islam yang dipegangi Kang Husein, bagi sebagian kiai dan santri di Jawa Timur dianggap telah melenceng dari aturan fikih yang selama ini diajarkan dan dipraktikkan di lingkungan pondok pesantren dan Nahdlatul Ulama. Dalam rangka tabayyun atau klarifikasi, Kang Husein diundang untuk mengisi acara dengan penyelenggara PCNU salah satu kota di Jawa Timur dan di tempatkan di pondok pesantren tempat ia dulu belajar. Tak hanya itu, dalam seminar yang dimoderatori oleh Ketua STAIN di kota itu, para kiai yang menjadi gurunya saat nyantri juga dihadirkan. Di forum itulah Kang Husein diadili, disesatkan, dimurtadkan, bahkan dikafirkan.
Di hadapan para kiai dan ratusan santri yang hadir, Kang Husein tetap tenang, ia terlihat tak gentar dan tak akan pernah meragukan keimanan dan prinsip keislamannya yang memegangi nilai-nilai kemanusiaan sebagai akhir dari segala rumusan hukum Islam. Kang Husein tak membalas cacian meski kata sesat dan kafir terus berdatangan dari berbagai penjuru arah ruangan. Kang Husein dengan santun menjawab berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya, berbagai wacana kesetaraan gender ia konfirmasi berikut argumentasinya, karena baginya perempuan memang haram mendapatkan diskriminasi baik dalam ibadah maupun muamalah. Tuduhannya dalam membela dan menjadi saksi ahli atas kasus Yusman Roy juga diiyakan, karena baginya ada teks keislaman yang bisa dijadikan landasan hukumnya, selain itu Islam juga menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Tuduhan sebagai aktivis JIL, ia klarifikasi. “Saya bukan anggota JIL, tapi saya memang sering diundang mengisi diskusi di sana,” katanya.
Bagi Kang Husein, memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai bidang, membela kelompok minoritas agama yang tertindas, dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran Islam yang harus ada di sepanjang masa dan harus menetap di semua tempat. Keimanannya yang tulus, pemahaman keagamaannya yang mendalam, serta gagasannya tentang Islam sebagai agama kemanusiaan meski saat itu dianggap kontroversi hingga mengantarkannya ke “meja hijau pesantren” sudah puluhan tahun silam terus menerus disuarakan dan tak pernah mengalami perubahan. Karena baginya, itulah ajaran yang tetap di dalam Islam (mâ tsabata fî al-Islâm).
Kang Husein hingga kini tetap memegangi prinsip dan pemahaman keagamaannya yang emansipatoris, sementara orang-orang yang dulu menyesatkan dan mengkafirkannya telah banyak mengalami perubahan dalam pemikiran; dari yang konservatif berubah menjadi progresif, dari yang mengekang hak-hak perempuan dan menindas kelompok minoritas keagamaan berubah menjadi paham keislaman yang membebaskan dan penuh kesetaraan sebagaimana yang puluhan tahun silam sudah didiskusikan, ditulis, dan diwacanakan Kang Husein. Kang Husein dalam mendaki berbagai literatur keislaman sudah sangat lama sampai pada puncak pemahaman tertinggi, yakni “Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nila-nilai kemanusiaan”, sementara yang mengadilinya saat itu belum memulai melakukan pendakian. Karena itu, Kang Husein menjadi “yang tetap” dan para pengkritiknya telah menjadi “yang berubah”, bahkan pemikiran Kang Husein yang dulunya dicibir dan disesatkan, kini dibuktikan oleh sejarah sebagai pemikiran yang relevan dan diikuti banyak orang, termasuk orang-orang yang dahulu mencaci makinya.
Dalam hal ini telah terbukti perkataan pemikir muslim asal Mesir, Amîn al-Khullî (w. 1966). Ia mengatakan: “Dalam suatu masa, pemikiran dianggap sebagai kekafiran. Karena itu diharamkan dan dimusuhi. Tapi, seiring berjalannya waktu pemikiran itu kelak akan menjadi madzhab, bahkan menjadi keyakinan dan pembaharuan yang menjadikan kehidupan terus berjalan melaju ke depan (Tu’addu al-fikrah hînan mâ kâfiratan tuharramu wa tuhârabu, tsumma tushbihu ma’a az-zamani madzhaban, bal ‘aqîdatan wa ishlâhan, takhthû bihi al-hayâh khathwah ilâ al-amâm)”.
***
Kisah di atas adalah kesaksian langsung penulis yang sebab kejadian itu penulis terdorong untuk menggali informasi mendalam tentang Kang Husein, mencari dan membaca karya-karyanya yang sangat sulit sekali didapatkan mengingat saat itu penulis tinggal di pondok pesantren almamaternya.
Akhirnya, selamat kepada KH. Husein Muhammad yang akan mendapatkan gelar doktor kehormatan dalam bidang Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang pada Selasa 26 Maret 2019. Beliau adalah sosok kiai ‘âlim al-‘allâmah yang tak kenal lelah dan pantang mundur dalam menyebarkan tafsir keislaman yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Beliau seorang kiai besar yang tak pernah mengambil jarak dalam bergaul dengan siapapun. Bisa mengenalnya dan dapat berdiskusi menimba ilmunya bagian dari anugerah terbesar yang sangat penulis syukuri. Wallahu A’lam bi ash-Shawâb.