Oleh: Tedi Kholiludin
Di pintu kedatangan sebuah bandara di Pulau Sumatera, laki-laki sepuh berusia sekira 65 tahun itu mengangkat kertas bertuliskan nama saya. Sebelumnya, teman pendeta memberitahukan bahwa aka nada yang menjemput saya ke bandara. Melihatnya, tak syak lagi, inilah orang yang dimaksud teman saya itu yang akan membawa saya ke tempat dimana disana sebuah diskusi ringan hendak dihelat.
Sembari menggendong Najma, saya kemudian menghampiri, menyalami dan menghaturkan terima kasih tentu saja.”Bapak dan Ibu tunggu disini, saya akan mengambil mobil di parkiran,”katanya. Tak lama kemudian, mobil bertulis nama sebuah gereja berhenti persis di depan saya dan Meiga. Saya pun masuk dan duduk di bangku depan bersama Najma, sementara Meiga di belakang.
Shofwan, nama bapak tersebut. Terhadap mereka yang kali pertama bersua, pastilah perkenalan yang menjadi agenda awal. Dari sinilah saya tahu kisahnya, perjumpaanya dengan gereja, jemaat dan pendetanya. Dan, Shofwan adalah seorang muslim.
***
Sembari berkonsentrasi di balik kemudi, Shofwan bercerita tentang asal-usulnya. Ia lahir, besar dan menyelesaikan pendidikan hingga sekolah menengah atas di Jogjakarta. Takdir yang kemudian membawanya ke Pulau Sumatera. Ia mengikuti seorang tetangganya untuk mencari kerja hingga “terdampar” di Sumatera. Mulai dari menjadi tukang bangunan hingga berjualan ia lakoni. Sampai, akhirnya ia memutuskan untuk menerima tawaran menjadi sopir gereja.
Sopir adalah pekerjaan biasa dan wajar belaka. Pun pula dengan sopir gereja. Tetapi menjadi “tidak biasa” ketika yang menjadi sopir itu seorang muslim. Hanya saja, bagi Shofwan yang tidak biasa itu sejatinya biasa saja. Dia tidak punya beban apapun. Keimanannya pun tidak sedang ia gadaikan. Shofwan tetap menjadi muslim yang taat sekaligus sebagai karyawan gereja yang baik dan bertanggungjawab.
Tentu saja ada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga dekatnya, terutama isteri dan tetangganya ketika kali pertama ia melontarkan rencana untuk menjadi karyawan gereja. Tapi, seiring dengan perjalanan, termasuk bagaimana ia menjelaskan posisinya, semuanya bisa menerima. Mungkin ada satu dua tetangga yang belum menerima, tetapi secara umum, Shofwan merasa tidak banyak menemukan kesulitan.
Rupanya, berinteraksi dengan kelompok keyakinan bukan barang baru bagi Shofwan. Ketika menempuh pendidikan menengah dan atas, Shofwan bersekolah di sebuah yayasan milik kelompok Katolik. Wajar jika pergaulan ini membentuk cara pandangnya yang terbuka terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Shofwan sama sekali tidak terlalu punya persoalan dalam berelasi dengan “yang lain.”
Shofwan menjadi karyawan gereja selama 20 tahun. Bahkan ketika memasuki masa pensiun sekalipun, ia masih tetap dikaryakan, karena keluarga besar gereja merasa berhutang budi. Sebagai karyawan tetap pada masanya, Shofwan tak hanya mendapatkan gaji selama 12 kali setahun. Di luar itu, ia mendapatkan gaji ke 13 dan ke 14. Setelah pension, ia mendapatkan tunjangan pensiun bulanan laiknya pegawai negeri serta tambahan gaji selama ia dikaryakan.
Menilik besaran gajinya, sebagai manusia biasa, kata Shofwan, selalu ada naluri untuk menghendaki lebih. Tapi, baginya, apa yang didapatkannya saat itu dan sekarang, patut disyukuri. Karena tak mudah mendapatkan pekerjaan di era yang semakin kompetitif.
Puluhan tahun bekerja di gereja, Shofwan tak pernah sekalipun diajak untuk menjadi seorang Kristen. Tak pernah ada ajakan baik dari jemaat maupun pendeta untuk berpindah agama. Sebaliknya, ia selalu mendapatkan perlakuan baik dari segenap komponen gereja. Kebaikan itu, sejauh amatan Shofwan, sangat tulus.
Ketika lebaran, hampir semua keluarga gereja tempatnya bekerja datang bersilaturahmi ke rumahnya untuk mengucapkan selamat Idul Fitri. Tak kurang dari lima ekor ayam dan 80 ketupat ia sediakan untuk tamu-tamunya saat lebaran, termasuk dari gereja dalam jumlah yang banyak. Tetangga Shofwan pun kerap terheran-heran melihatnya.
Shofwan menjelaskan kepada tetangganya tentang apa dan bagaimana pandangan orang gereja terhadapnya. Kata Shofwan, ia tetap beribadah laiknya sholat, puasa, meskipun bekerja di gereja. Tidak ada halangan sedikitpun baginya untuk tetap menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Betapapun sibuknya aktivitas di gereja, Shofwan tak pernah meninggalkan sholat. Pendeta yang bertugas dimana ia bekerja juga sering mengingatkannya untuk segera sholat ketika panggilan adzan sudah dikumandangkan.
***
Bagi Shofwan, “mengalami” adalah menjelajahi alam raya kebajikan. Pengalaman adalah sebuah argumentasi yang tak terpatahkan. Memandang rendah yang lain, apalagi hanya berdasarkan cerita tanpa dasar. Shofwan tentu tidak kesulitan untuk menjelaskan tentang bagaimana orang Kristen seperti yang ia jumpai dalam kehidupan keseharian. Itulah faktanya. Tak bisa dibantah.