FUIS dan Perayaan Cap Go Meh di MAJT

Oleh: Khoirul Anwar

Setidaknya ada dua alasan yang menjadikan sebagian kecil umat Islam yang mengatasnamakan “Forum Umat Islam Semarang (FUIS)” menolak acara pengajian kebangsaan dalam rangka perayaan Cap Go Meh di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Pertama, Cap Go Meh bukan tradisi Islam. Kedua, dengan diselenggarakannya Cap Go Meh di kawasan masjid, tepatnya di tempat parkir, menjadikan banyak non muslim yang ikut serta hadir masuk ke kawasan atau dalam masjid yang menurut para penolak itu hukumnya haram.

Tulisan sederhana ini akan mengkaji dua alasan tersebut.

Pertama, Cap Go Meh memang bukan tradisi Islam. Pun bukan tradisi agama tertentu seperti disalahpahami para penolak yang beranggapan Cap Go Meh bagian dari tradisi perayaan Konghucu. Cap Go Meh adalah tradisi masyarakat Tionghoa dalam memperingati hari ke lima belas setelah tahun baru Imlek. Tidak ada kaitannya dengan paham atau ritual agama tertentu. Persis seperti tahun baru Masehi dan Jawa.

Cap Go Meh sering diidentikkan dengan perayaan Konghucu karena masyarakat Tionghoa belakangan banyak yang menganut agama ini, meski status Konghucu diperdebatkan oleh banyak sarjana, apakah sebagai agama atau sebatas filsafat. Tapi terlepas dari perdebatan itu, Cap Go Meh bukan bagian dari paham atau ritual agama, melainkan “tradisi masyarakat Tionghoa” sebagaimana tradisi-tradisi lain yang dimiliki masyarakat Jawa, Sunda, Batak, dan yang lainnya. Dengan demikian perayaan Cap Go Meh tidak masuk dalam dalil dan argumentasi yang digunakan untuk melarang umat Islam terlibat di dalam “perayaan agama lain”.

Andai, sekali lagi, “andai” Cap Go Meh didudukkan sebagai bagian dari tradisi agama tertentu, bukan berarti umat agama lain yang menghadiri atau terlibat di dalam perayaan ini bisa langsung dikatakan “menyetujui kekufuran”. Kekufuran berkaitan dengan akidah atau keyakinan, sementara menghadiri perayaan hanya keterlibatan lahiriah. Memang dalam hukum Islam (fikih) ada kaidah “nahnu nahkumu bi adh-dhawâhir (kami menghukumi sisi lahiriahnya)” tapi kaidah ini harus diperhatikan konteksnya. Dalam paradigma fikih masa lampau perbedaan politik menggunakan identitas agama, karena itu semua atribut yang menjadi kekhasan agama tertentu tidak boleh digunakan oleh pemeluk agama lain. Dasar yang kerap digunakannya yaitu hadis tasyabbuh.

Baca Juga  Akar Progresivitas Hukum Islam: Diskusi Bersama Ulil Abshar-Abdalla

Seiring perubahan identitas politik dan sistem kenegaraan, maka paradigma berpikir yang menggunakan atribusi agama dengan sendirinya luntur. Dalam bahasan lain, jika fikih pada masa lampau menggunakan istilah “negara kufur (dâr al-kufr)” dan “negara Islam (dâr al-Islâm)” maka istilah tersebut dengan sendirinya tergantikan dengan istilah “warga negara (muwâthinûn) atau kebangsaan (al-wathaniyyah).” Kajian ini bisa dibaca dalam buku Muwâthinûn lâ Dzimmiyyûn karya Fahmi Huwaidî.

Kedua, berkaitan dengan hukum non muslim masuk ke masjid. Dalam literatur fikih persoalan ini diperdebatkan. Ada yang memperbolehkan, dan ini pendapat yang argumentasi dan dasarnya kuat. Juga ada yang tidak memperbolehkan. Menurut Hanafiyyah, hukumnya mutlak diperbolehkan masuk ke semua masjid, tak terkecuali masjidil Haram. Menurut Syâfi’iyyah, mengecualikan masjidil Haram dan masjid-masjid yang ada di Makkah. Jadi berdasarkan pendapat ini, penganut agama selain Islam diperbolehkan masuk ke masjid atau tempat ibadahnya umat Islam, termasuk Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Sedangkan yang tidak memperbolehkan yaitu pendapat Ahmad bin Hanbal. Dasar yang digunakannya yaitu hadis tentang larangan orang-orang yang punya hadas besar seperti wanita haidl dan nifas masuk ke masjid. Menurut Imam Ahmad, jika hadas besar berupa haidl dan nifas saja menjadi faktor larangan masuk masjid, maka hadas berupa “syirik” lebih utama.

Pendapat Imam Ahmad di atas dinyatakan lemah oleh para sarjana lainnya karena dianggap salah dalam mencari titik temu antara hadas dan syirik, atau dalam istilah Ushul Fiqh disebut dengan ‘illat. Haidl dan nifas bisa menjadi faktor larangan masuk masjid karena keduanya dapat mengotori masjid (talwîts), sedangkan “syirik” tidak. Karena itu analogi tersebut tidak tepat. Bahkan Nabi Muhammad sendiri pernah menempatkan orang-orang Nashrani Najrân di masjidnya ketika bertamu kepada nabi.

Baca Juga  Skizofrenia dan Akar-akar Kenabian dalam Budaya Arab Pra-Islam

Kembali ke pokok masalah: “Perayaan Cap Go Meh di Masjid Agung Jawa Tengah”. Acara ini bagian dari rangkaian perayaan Cap Go Meh yang digelar di beberapa tempat lain dengan beragam acara, mulai dari festival makanan khas Tionghoa hingga puncaknya pengajian kebangsaan. Acara ini akan dihadiri Habib Luthfi bin Yahya dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), dua tokoh muslim, dan tokoh-tokoh lainnya dari berbagai agama seperti Romo Aloys Budi Purnomo, Bhante Dhammasubho Mahathera, dan yang lainnya.

Acara di atas kemudian ditolak oleh sebagian kecil, bahkan hanya satu hingga lima orang saja, yang mengatasnamakan “Forum Umat Islam Semarang (FUIS)” dengan alasan di atas. Penolakan ini karena berkaitan dengan tempat, yakni di masjid. Dalam tradisi pesantren, orang-orang yang menolak ini disebut “sû`ul `adâb, tidak memiliki akhlak yang baik” terhadap kiai. Gus Mus dan Habib Luthfi adalah kiai yang dijadikan panutan oleh ribuan, bahkan jutaan santri. Ketika seseorang punya paham berbeda dengan “kiai” atau menganggap “tindakan kiai” salah, maka semestinya “husnudhann, berbaik sangka” bahwa apa yang dilakukannya pasti memiliki dasar keagamaan yang kuat. Itu pun dilakukan kalau sudah klarifikasi (tabayyun), bukan langsung melakukan penolakan dengan tuduhan-tuduhan kasar.

Selain itu status MAJT sendiri sejak didirikannya bukan semata-mata hanya untuk beribadah dan dakwah, tapi punya tujuan lain yaitu sebagai obyek wisata. Karena itu sangat tepat jika acara yang mengandung seruan kerukunan dan persaudaraan lintas agama dan etnis itu ditempatkan di sana. Dengan gagalnya acara Cap Go Meh di MAJT lantaran pengelolanya merasa ketakutan dengan hadirnya kelompok intoleran, maka MAJT menjadi tempat wisata religi yang aneh dan gagal.

Baca Juga  Majorocracy

Berkaitan dengan pembicara dan peserta yang mengundang lintas agama tujuanya sangat jelas, yakni untuk merajut dan memperteguh kebhinekaan yang belakangan terusik sebab ulah sebagian umat Islam seperti yang keberatan dengan tempat acara Cap Go Meh itu. Tujuan pengajian kebangsaan ini sangat jelas manfaat dan maslahatnya. Tapi memang, orang yang setiap hari hanya berkumpul dan berteman dengan orang-orang yang seagama dan membelenggu diri dengan bacaan tertentu, maka akan dengan mudah curiga dan berburuk sangka kepada orang yang berbeda. Atau jika bukan alasan demikian, maka di balik penolakan itu, terdapat niat melanggengkan eksistensinya dalam memperlihatkan intoleransi.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini