Oleh: Tedi Kholiludin
Isi Buku Pendidikan Agama Islam untuk siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ditengara membuka ruang untuk radikalisme, menyita perhatian. Apakah pemerintah memang tidak melakukan saringan terhadap materi buku-buku tersebut sehingga ada perintah “untuk membunuh orang musyrik” di dalamnya?
Bukan hanya tentang “membunuh orang musyrik” yang menjadi sorotan, tapi bahasan tentang Wahabisme yang ajarannya dianggap menyinggung kelompok tertentu juga menjadi bahan polemik lain. Disebutkan misalnya disana, Gerakan salaf ini…mempunyai ciri sebagai berikut…3)Memerangi orang-orang yang menyimpang dari aqidah kaum salaf seperti kemusyrikan, khuraat, bid’ah, taqlid, dan tawasul.” Kita tahu, kalau sebagian besar umat Islam sejatinya melakukan praktek-praktek tawasul.
Siswa SMA/SMK, dalam beberapa kasus memang kerap ada di lapangan saat aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Para “pengantin,” istilah bagi suicide bomber dalam kasus-kasus terorisme, hampir kebanyakan adalah anak-anak usia SMA/K. Lalu dari mana ideologi kekerasan yang diajarkan kepada mereka itu berasal?
Kurikulum atau materi dalam buku panduan untuk siswa SMA memang bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi pengetahuan siswa. Ada soal lain, yakni bagaimana peran sang guru. Ajaran Wahabisme yang ada di buku sesungguhnya bisa kita maknai sebagai informatif belaka. Menjelaskan secara berimbang tentang apa itu Wahabisme dan bagaimana memahaminya dalam konteks kehidupan umat beragama di Indonesia, ada dalam kendali guru.
Sejauh yang saya amati, latar belakang guru-guru agama Islam di lingkungan SMA/K negeri (terutama di wilayah Semarang dan sekitarnya), mayoritas memiliki pandangan yang inklusif, meski tidak dikatakan pluralis. Dalam konteks pengetahuan serta wawasannya mereka tentang Islam dan Pancasila cukup baik. Saya belum menjumpai sosok guru agama yang anti Pancasila di sekolah-sekolah negeri. Kalaupun ada yang harus dicermati dari guru-guru agama itu adalah soal pandangan terhadap agama-agama lain. Sejauh yang pernah saya tanyakan kepada mereka, hampir semuanya berpandangan bahwa keselamatan eksklusif menjadi milik umat Islam. Cuma, menurut kebanyakan dari guru-guru tersebut, eksklusivitas tidak lantas membuat umat Islam harus menegasikan umat lain.
Mungkin situasi berbeda ada di sekolah-sekolah swasta. Perlu penelaahan kembali untuk memastikan sekolah mana saja yang potensial menanamkan benih-benih radikalisme kepada anak didik.
Pendidikan agama di SMA/K negeri diajarkan dalam durasi kurang lebih 2 jam. Beberapa siswa yang merasa belum terpuaskan dengan materi dalam pelajaran agama di sekolah, kemudian berupaya mencarinya di luar jam sekolah. Peluang ini ditangkap dengan baik oleh kelompok-kelompok eksklusivis. Melalui kegiatan-kegiatan di luar sekolah, ajaran yang berpotensi membentuk anak-anak eksklusif mulai dikenalkan.
Faktor lain adalah konsekuensi era banjir informasi. “Generasi gadget” akan dengan mudah menangkap pengetahuan apapun yang tersebar melalui dunia maya. Jika tidak dibimbing, maka mereka tidak akan memiliki filter untuk menyaring mana yang relevan dengan konteks keIndonesiaan, dan mana yang tidak.
Pendidikan di level menengah atas memang menjadi tempat strategis menanamkan pelbagai ideologi. Itu artinya, bukan hanya ideologi kebencian saja yang bisa tertanam kuat-kuat, tapi juga ideologi toleransi dan perdamaian. Di aspek inilah saya kira, pengarusutamaan perdamaian sebagai life style, harus terus digemakan.
Salah satu kesepakatan yang dilakukan guru-guru agama dalam sebuah diskusi bersama kami adalah berupaya semaksimal mungkin mempersempit ruang kelompok eksklusivis. Setiap kali kegiatan yang berhubungan dengan agama, semuanya harus sepengetahuan guru agama. Sehingga kegiatan-kegiatan agama di sekolah semuanya dalam pantauan guru agama. Cara ini memang masih memungkinkan anak-anak itu mencari informasi lain di luar jam sekolah dan di luar sekolah. Di ranah ini persoalan berada di luar deteksi pihak sekolah, tapi setidaknya jam pelajaran agama di sekolah bisa dioptimalkan untuk menanamkan semangat perdamaian dan toleransi.
Soal lain yang mesti dikenalkan adalah tentang keragaman ekspresi berislam serta beragama. Karena sejatinya, hakikat berislam di Indonesia itu haruslah sejalur dengan nilai-nilai toleransi dan sebangun dengan budaya di sekitarnya. Selain itu, penting untuk menanamkan semangat kebhinekaan kepada murid-murid tersebut tentang arti sejarah perjuangan Indonesia. Kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia, tentu saja tidak berasal dari kontribusi satu golongan atau kelompok agama saja. Didalamnya ada keterlibatan banyak pihak. Semuanya punya peran dan tidak bisa dinafikan.