Oleh: Tedi Kholiludin
Bagaimana kondisi perdamaian di dunia tahun 2016? Semakin membaik atau justru sebaliknya?
Institute of Economy and Peace (IEP) membuat 23 indikator (kualitatif dan kuantitatif) yang digunakan untuk melihat kondisi 160-an negara dunia. Hasilnya, dalam laporan tahun 2016 yang mereka rilis disebutkan bahwa 81 negara menunjukkan peningkatan perdamaian, sementara 79 negara kondisinya memburuk.
Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, indeks perdamaian global (global peace index, GPI) pada 2016 mengalami penurunan. Dari sisi keselamatan masyarakat dan keamanan konflik juga mengalami penurunan, meski partisipasi militer untuk mengupayakan rasa aman ada peningkatan. Peningkatan terbesar, menurut IEP, muncul pada peningkatan pendanaan dan keamanan penjaga perdamaian PBB, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada dampak terorisme dan ketidakstabilan politik.
Sisi lain yang menjadi temuan IEP adalah meningkatnya partisipasi masyarakat internasional dan komitmen untuk pendanaan bagi penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Petugas keamanan dan polisi mengalami penurunan di 44 negara dan meningkat di 29 negara. Kriminalitas dan kekerasan meningkat di 13 negara.
Terorisme, sudah barang pasti memiliki dampak. 77 negara memburuk kondisinya sebagai akibat dari gerakan terorisme. Hanya 37 dari 163 negara yang diukur tidak memiliki dampak terorisme, meski berarti tindakan terorisme itu tidak ada. Wilayah dimana terorisme begitu berdampak adalah wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Islandia dinobatkan sebagai negara paling damai. Disusul Denmark, Austria, Selandia Baru serta Portugal. Sementara Syria, Sudan Selatan, Irak, Afganistan dan Somalia merupakan negara dengan kategori terburuk indeks perdamaiannya.
Penilaian terhadap kondisi perdamaian global yang dilakukan oleh IEP terkait dengan rilis lain yang mereka keluarkan dalam isu terorisme, indeks terorisme global (Global Terrorism Index, GTI). Negara-negara seperti Irak, Afganistan, Nigeria, Pakistan dan Syria merupakan lima wilayah yang paling terdampak oleh tindakan-tindakan terorisme. Jadi tak heran jika lima negara tersebut, dalam laporan GPI, terkategorikan sebagai negara dengan indeks perdamaian yang mengkhawatirkan.
Yang menarik dicermati adalah posisi Indonesia dalam indeks perdamaian maupun terorisme. Dalam indeks terorisme, Indonesia ada di urutan 38 dari 163 negara yang disurvey dengan skor 4.429. Indonesia menduduki peringkat ketiga di kawasan Asia Tenggara yang sangat terdampak. Posisinya memang ada di tengah, namun tetap saja mengkhawatirkan. Artinya, terorisme tetap memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan bangsa Indonesia, terutama dari sisi stabilitas ekonomi.
Walaupun menjadi negara yang sangat terdampak akibat tindakan terorisme, tetapi Indonesia justru masuk kategori wilayah dengan indeks perdamaian Tinggi (IEP memberikan peringkat Sangat Tinggi, Tinggi, Menengah, Rendah, Sangat Rendah). Skor yang didapat Indonesia, 1.7999 . Islandia sebagai negara terdamai skornya 1.192 dan Syria yang terendah (3.806). Indonesia ada di peringkat 42 dari 163 negara. Di kawasan Asia Tenggara, Singapura dan Malaysia adalah dua negara terdamai disusul kemudian Indonesia, Laos dan Timor Leste.
Dari dua survey yang dikeluarkan IEP, Indonesia merupakan negara yang cukup terdampak sebagai akibat tindakan terorisme di satu sisi, namun di sisi lain, prestasi perdamaiannya juga terus meningkat. Indikator-indaktor yang berhubungan dengan masalah pembunuhan, militerisasi, konflik politik, kematian akibat konflik dan lain-lain digambarkan mengalami kenaikan dalam penanganannya.
Meski indeks perdamaian Indonesia ada di kategori “High” menurut survey IEP, tetapi mencermati situasi terkini di pelbagai wilayah, nampaknya kita perlu lebih giat melakukan konsolidasi.
Setidaknya ada dua situasi yang dalam kacamata saya menjadi alasan untuk terus membangun sinergi diantara para pegiat-pegiat perdamaian. Pertama, laporan-laporan mengenai problem kekerasan dan perampasan hak sebagai warga negara terus menerus mengalami peningkatan. Sebagai contoh, di Jawa Tengah, tahun 2016 catatan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) menunjukkan ada 20 kasus intoleransi atas nama agama, naik 3 peristiwa dibandingkan tahun sebelumnya. Kedua, memang ada wilayah-wilayah di Indonesia, dimana kita tidak melihat adanya praktek kekerasan, ketakutan atau intoleransi disana. Situasi ketiadaan intoleransi ini, baru masuk kategori “negative peace,” belum “positive peace.”
Perdamaian positif atau positive peace, tidak hanya dicirikan oleh tiadanya tindakan intoleran, tetapi jauh dari itu, model ini meniscayakan adanya sebuah sikap, institusi, serta struktur yang menciptakan dan terus memertahankan masyarakat yang damai tersebut. Penghargaan terhadap hak sesama warga negara, rendahnya tingkat korupsi, pemerintah yang berfungsi baik adalah pilar-pilar yang mendukung terciptanya perdamaian positif.
Ketiadaan atau minimnya tindakan intoleransi, bagaimanapun juga, situasi yang patut diapresiasi. Ini adalah modal bagi kita untuk naik tingkat menuju perdamaian positif. Namun, jika intoleransi masih merebak, maka kerja pemerintah serta masyarakat sipil menjadi berlipat ganda.