Oleh: Ubbadul Adzkiya’
Indonesia dengan segala kekayaan budaya dan tradisinya merupakan sebuah anugrah yang luar biasa, setiap daerah bisa dipastikan mempunyai tradisi yang unik, yang terkadang menjadi hal yang sakral dan pantangan apabila dilakukan di masyarakatnya. Sebagai contoh yang ada Kabupaten Kudus, kota kretek, orang-orang tidak mau menyembelih sapi, baik sebagai pelaksanaan ibadah kurban ataupun dalam penyelenggaran upaya lainnya, termasuk pernihakahan, khitanan, dan lain sebagainya. Dulu, Sunan Kudus melarang warganya untuk menyembelih sapi. Di Kudus, Sapi menjadi Kudus (suci).
Menurut Sri Indrahti (2012: 42), hal itu dilakukan untuk menghormati orang Hindu. Dalam ajarannya, umat hindu menghormati sapi. Mereka tidak menyembelih dan tidak memakannya. Sampai sekarang masyarakat Kudus masih memegang teguh ajaran tidak menyembelih sapi, termasuk pada hari raya kurban.
Alasan lain mengapa masyarakat Kudus tidak menyembelih sapi karena melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Sunan Kudus. Konon, Sunan Kudus pernah merasa dahaga, kemudian ditolong oleh seorang pendeta Hindu dengan diberi air susu sapi. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, Sunan Kudus melarang masyarakatnya menyembelih sapi (Sri Indrahti 2012: 42)
Terlepas dari pergeseran pandangan masyarakat akan sebuah kesakralan sapi, sejak dahulu masyarakat Kudus sudah menghormati dan melaksanakan apa yang menjadi adat bersama bersama masyarakat untuk tidak menyembelih sapi. Kalau dilihat dengan kacamata Mircea Aliade atau Eliade hewan tersebut telah menjadi hewan “Yang Sakral”.
Eliade melalui karyanya The Sacred and The Profane (1957) menerangkan tentang langkah-langkah yaang diambil pertama kalinya menentukan kita dalam memahami agama, baginya yang sakral adalah yang abadi, penuh substansi dan realitas. Dan sebaliknya yang profane itu yang mudah hilang (L Pals, 2006: 233).
Masyarakat Kudus yang telah melakukan penghormatan terhadap sapi, sapi menjadi sebuah Yang Sakral dan dihormati sebagai sebuah simbol toleransi yang masih dijaga dan dihormati di sana. Hal ini senada dengan pandangan Eliade bahwa tujuan simbol yang sangat sederhana, yaitu membuat masyarakat agar selalu memenuhi tanggung jawab sosial mereka. Dengan adanya pantangan masyarakat atas hal tersebut sapi telah menjadi aturan bersama masyarakat kudus yang mengandung muatan sosial untuk tidak melanggarnya, meskipun pada perkembangan selanjutnya sudah ada sebagian masyarakat yang mempunyai cara pandang berbeda.
Bagi Eliade, semua benda mempunyai dua dimensi, bisa hanya sebuah benda biasa yang tidak mempunya arti dan di sisi lain bisa mempunyai arti. Seperti halnya sebuah batu biasa, namun suatu saat batu bisa menjadi yang sakral, proses kesakralan ini yang disebut oleh Eliadei sebagai “dialektika Yang Sakral” (L. Pas, 243). Ka’bah yang sangat disucikan dan diagungkan umat Islam, hanyalah sepotong batu besar, namun karena adanya hierophany batu tersebut menjadi hal yang sakral bagi seluruh umat Islam di dunia.
Sama halnya dengan sapi yang ada di Kudus, semua hewan sapi pada dasarnya adalah sama yang tidak mempunyai spesial atau kesakralan dalam umat Islam, namun dengan adanya dialektika dan sejarah yang terjadi di masa Sunan Kudus akhirnya sapi menjadi sebuah hewan Yang Sakral yang dihormati untuk tidak menyembelihnya. Kesaklalan tersebut tentunya karena adanya sentuhan yang Sakral, dalam hal ini menurut penulis adalah sabda Sunan Kudus atau Perintah Sunan Kudus untuk tidak membunuh/menyembelih sapi untuk kepentingan apapun.
Perspektif lainnya juga bisa digunakan dalam melihat fenomena masyarakat kudus akan sapi, Sigmund Freud dalam Totem and Taboo (1913) memperlihatkan kepada kita bahwa masyarakat bisa bertahan apabila mampu menundukkan hasrat pribadinya pada aturan dan batasan yang ditentukan oleh masyarakat (L Pals, 105).
Totem didefinisikan Freud sebagai suatu sistem agama sekaligus sistem sosial. Sebagai sistem agama ia terdiri dari hubungan saling menghormati antara seseorang dengan totemnya, dan sebagai sistem sosial ia terdiri dari kewajiban timbal balik antar anggota kelompok dan terhadap suku lain (Freud, 2002: 167). Totem sendiri diidentifikasikan dalam binatang-binatang tertentu yang tidak boleh dibunuh atau dimakan, melainkan manusia harus membesarkannya dan merawatnya.
Fenomena sapi di masyarakat Kudus bisa dikatakan sebagai Totem dilihat dari definisi totem sebagai sebuah hewan yang tidak boleh dibunuh, dan sebagai sistem sosial dimana masyarakat wajib menghormati atas kesakralan sapi. Meskipun sebenarnya dalam Islam tidak ada larangan tentang penyembelihan sapi, tapi karena di masyarakat Kudus sudah ada semacam adat aturan bersama yang apabila dilanggar menjadi hal yang tabu dan haru dihindari. Sapi dalam masyakat kudus tidak pada umumnya sebagai sebuah totemisme yang disembah dan diadakan pemujaan terhadapnya, namun hanya sebatas penghormatan untuk tidak menyembelihnya.
Dengan demikian penyembelihan sapi merupakan hal yang tabu, Freud memaknai tabu ke dua arah yang berlawanan, di sisi lain tabu berarti suci, kudus, dan di sisi lain berarti aneh, berbahaya dan terlarang. Dalam tabu terkandung konsep menjaga, terutama terekpesikan dalam pelaranga dan pembatasan (Freud, 31-32).
Pembatasan atau pelarangan penyembelihan sapi di masyarakat kudus merupakan sebuah ketabuan, sebagaimana yang tabu diartikan Wundt dalam Freud, sebagai kode hukum tak tertulis milik manusia yang paling tua dan sudah ada sejak dahulu. Tentu saja kalau dikontekskan kemudian ini sesuai dengan adat masyarakat kudus yang tidak tertulis atas kode pelarangan penyembelihan sapi.