Tahun 2019, Jawa Tengah kasus-kasus yang berkaitan dengan tindakan terorisme relative lebih kecil ditemukan ketimbang tahun sebelumnya. Dua kasus penangkapan terduga teroris yang terhubung dengan Bom di Medan, merupakan peristiwa yang terpantau. Sisanya, kami tak melihat kasus-kasus terorisme di tahun 2019 tersebut. Meski tidak dikatakan subur, kasus-kasus yang berkaitan dengan intoleransi juga masih terjadi. Yang bisa jelas teridentifikasi, setidaknya ada 4 kasus. Sisanya, ada kasus yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan, meski belum bisa dikategorisasikan sebagai tindakan intoleransi ataukah masih sebatas dinamika kehidupan keagamaan saja. Yang jelas, tindakan-tindakan tersebut berarsiran dengan kehidupan agama.
Kasus yang terjadi di beberapa kota, melibatkan agen yang sama. Di Surakarta, baik dalam kasus penolakan paving yang dianggap berbentuk salib maupun bentrokan di depan PCNU, jelas dilakukan oleh kelompok-kelompok yang lama beredar di kawasan tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Semarang pada kasus penolakan atas rencana pemutaran film Kucumbu Tubuh Indahku. Yang mencuat dan menyita perhatian tentu saja penolakan pendirian Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari, Semarang. Tak hanya soal penolakannya saja sebenarnya yang menjadi sorotan tetapi juga pihak-pihak didalamnya, termasuk Pemerintah Kota Semarang, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) maupun elemenelemn lainnya. Ada kesan, bahwa aspek sosial menjadi kendali disamping aspek legal yang nyata-nyata sudah terpenuhi. Persoalan kemudian menjadi pelik, karena legalitas yang sudah ada, kerap luput dalam setiap percakapan maupun mediasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun, sinyal positif ditunjukan oleh Walikota Semarang, yang dalam satu kesempatan audiensi, ia mengatakan bahwa dirinya tak pernah mencabut IMB Gereja Baptis Indonesia yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota pada tahun 1998. Artinya, hingga kini, IMB tersebut masih berlaku hingga sekarang. Ini penting dicermati, karena dasar hukum inilah yang menjadi acuannya. Meski di sisi lain, ada kesan yang muncul, bahwa pemerintah terlampau berhati-hati dalam mengambil tindakan, karena memperhatikan situasi sosial dan jejaring diantara kelompok-kelompok yang menolak tersebut.
Tahun 2019, seperti kami jelaskan di bagian pengantar, ada perhelatan politik, yakni pemilihan umum. Pada momen ini, politisasi agama, meski terjadi, namun ada dalam batas yang masih bisa ditolerir. Meski terjadi penggunaan rumah ibadah sebagai tempat kampanye, tapi kasus yang ditemukan, relatif kecil, hanya dua kasus saja.
Betapapun demikian, hal ini tentu saja bisa diperdebatkan. Apakah kecilnya angka itu karena memang kenyataan di lapangannya demikian, ataukah karena banyak yang menemukan tetapi masyarakat tidak berani melapor.
Sementara, tahun 2020, akan juga terjadi pemilihan bupati/walikota serentak di 21 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Jika analisis tentang minimnya angka politisasi agama pada 2019 disebabkan karena adanya dekonsentrasi, maka 2020, panggung pemilihan terkonsentrasi pada pemilhan bupati/walikota. Ada potensi politisasi agama disini. Situasi tersebut kiranya bisa menjadi perhatian bersama.