[Semarang –elsaonline.com] Para peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia mengakui bahwa masih ada penyuluh agama yang masih memperdebatkan status kearifan lokal sebagai media untuk membangun harmoni.
Kesimpulan demikian terekam dalam diskusi pengembangan modul tentang model pembinaan kerukunan beragama bagi penyuluh agama berbasis kearifan lokal di Balitbang Semarang, Rabu (7/6). Menurut Joko Tri Haryanto, salah seorang peneliti Balitbang, meski tidak bisa digeneralisir, masih ada penyuluh agama yang memiliki apresiasi rendah terhadap budaya. “Memang masih ada beberapa penyuluh yang wawasannya kurang terhadap agama,” kata Joko.
Konsepsi mengenai kearifan lokal diharapkan bisa menjadi alat pemersatu di tengah masyarakat yang plural. Karenanya, Balitbang berinisiatif untuk mengembangkan modul yang bisa menjadi pegangan bagi penyuluh agama saat ia berperan aktif di masyarakat.
Selain soal isi, diskusi berkembang pada masalah gaya atau metode penyuluhan yang dirasakan masih sangat konvensional. “Belum ada inovasi dari penyuluh, sehingga kesannya sedikit membosankan. Modul ini diharapkan menjadi petunjuk praktis bagi penyuluh masyarakat,” sambung Joko.
Kendala penyuluhan agama memang tak hanya menyangkut soal penerimaan penyuluh terhadap budaya itu sendiri. Masalah minimnya peta sosial yang dimiliki Kemenag juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh. Tak hanya itu, tingkat penerimaan masyarakat terhadap penyuluh juga masih rendah. “Mereka masih sangat bisa menerima titah pemimpin agama ketimbang penyuluh. Ini yang mengharuskan penyuluh bisa membangun jejaring dengan tokoh-tokoh agama setempat, imbuh alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang ini. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]