Oleh: Ceprudin
“Dia, meski kerempeng otaknya besar dan bekerja. Jokowi harus kembali menerapkan ajaran Trisakti Soekarno, yaitu berdaulat dibidang politik, berdikari bidang ekonomi dan Ketuhanan yang Maha Esa”. Demikian pesan Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif untuk Jokowi. (Suara Merdeka: 5 Mei 2014).
Selain dari pentolan Muhammadiyah, calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mendapat banyak wejangan dari pentolan-pentolan kiai NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama dua hari Sabtu (3/5) dan Minggu (4/5), Jokowi mengunjungi pesantren-pesantren besar dan simbol-simbol pentolan NU.
Di Surabaya ia menemui pentolan perempuan Nahdlatul Ulama (NU) Khofifah Indar Parawasa. Bahkan langsung menunjuk Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU itu menjadi juru bicaranya. Selanjutnya, Gubernur DKI Jakarta itu mengunjungi Pondok Pesantren Pacul Gowang, yang diasuh KH Aziz Mansur dan mengunjungi Pondok Pesantren Tebu Ireng bahkan menyempatkan mengaji kitab kuning.
Setelah itu, Jokowi berkunjung ke kediaman Kiai Salahuddin Wahid sebelum menyempatkan ziarah ke makam mantan pentolan NU, Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Di Jateng ia berkunjung ke pusat-pusat kekuatan politik NU. Di Demak, mantan Walikota Solo ini mengunjungi Pondok Pesantren Giri Kusumo “besutan” Kiai Munif Zuhri. Jokowi melanjutkan safari itu ke Pondok pesantreng Al-Anwar, Sarang, Rembang yang diasuh Kiai paling sepuh, KH Maemun Zubair.
Terakhir, Jokowi mengunjungi Pondok Pesantren Al Fadhlu wal Fadhilah asuhan kiai kharismatik Kendal, Dimyati Rois yang lekat disapa Mbah Dim.
Demikianlah rangkaian safari Jokowi yang penuh dengan simbol ini. Dalam perjumpaannya dengan kiai-kiai besar, Jokowi banyak melakukan isyarat-isyarat khusus tentang ideoligi bangsa. Tentang apa yang selama ini diperjuangkan oleh ulama-ulama yang gugur di medan perang, merdeka!!!!. NKRI harga mati.
Ada sisi-sisi yang sangat menarik dari sisi ideologi bangsa yang dilakukan Jokowi selama safari. Siapa pun tahu, ziarah kubur menjadi polemik selama ini antara orang NU dan kelompok Islam puritan yang mengharamkannya. Jokowi tak segan untuk berziarah dan berdoa di makam Gus Dur.
Bangun Mental
Dengan bahasa tubuhnya itu, Jokowi mampu merengkuh hati kaum Nahdliyin yang selama ini melaksanakan ritual ziarah kubur. Itu sisi politisnya. Ada agenda yang lebih penting dari itu. Jokowi sejak lama menghembuskan visi bahwa hendak membangun mental bangsa.
Jokowi waktu itu tak menjabarkan bagaimana cara membangun mental bangsa yang katanya dari generasi pesimis menjadi generasi optimis. Kata Bung Karno, bangsa yang besar adalah bangsa yang tak lupa akan sejarah. Siapa pun tahu, ulama punya andil besar dalam menjadikan negara ini merdeka.
Dengan demikian, dengan melakukan safari ini hendak mengajarkan kepada generasi bangsa ini supaya tak melupakan sejarah. Sejarah bagaimana bangsa ini yang diberjuangkan oleh berbagai kelompok. Ulama NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah bahkan pahlawan dari non-Muslim juga mempunyai peran penting dalam memperjuangkan negara ini.
Jika menengok sejarah, bangsa ini yang terbangun dari berbagai budaya, ras, suku dan agama. Karena itu, tampaknya tepat apa yang dilakukan Jokowi. Dia berkunjung kepada ulama-ulama moderat yang menerima seutuhnya dasar negara Pancasila dan menghargai perbedaan yang ada.
Ulama-ulama besar di Jawa tak pernah menghendaki Islam Indonesia menjadi puritan yang sama sekali tak mengakomodir budaya dan tardisi. Sejak beratus-ratus tahun lamanya, ulama Jawa membangun generasinya dengan mental yang pandai menghargai tradisi.
Seperti yang telah banyak dibahas oleh berbagai literatur, saat penyebar Islam tiba di Nusantara, tak begitu saja mengharamkan tradisi ritual-ritual yang ada. Namun, ulama penyebar Islam pertama yang disebut dengan Walisongo ini mengakomodir tradisi ritual yang sembari sedikit-sedikit diisi dengan nilai keislaman.
Dengan berkunjung ke pesantren, mengaji kitab kuning dan berziarah kubur Jokowi tak diragukan lagi penghayatannya terhadap kebudayaan bangsa ini. Benar apa yang dinyatakan Buya Syafii Maarif, meski bertubuh kerempeng, Jokowi berotak besar, mampu memahami sisi-sisi keragaman dan budaya bangsa sendiri.
Budaya Islam Murni yang mengharam-haramkan pemahaman agama yang lain itu bukan budaya bangsa ini. Islam yang mengaku paling benar sembari menghujat kelompok lain yang beda agama, itulah Islam inpor dari Timur Tengah yang sama sekali tak menghargai budaya lokal yang ada.
Inilah sisi lain dari safari Jokowi ke Jogjakarta, Jateng dan Jatim. Selain agenda politik, ada agenda besar yang patutu menjadi renungan berkait sejarah, budaya dan agama bangsa ini. Budaya yang mendengar petuah orang tua, menuakan peran orang tua, meskipun beda partai, petuah orang tua, patut direnungkan.