Masjid Menyanan, Masjid Muslim Cina Tahun 1650

Masjid Annur (Masjid Menyanan) hanya terlihat bagian atapnya karena dikelilingi gedung-gedung tinggi dan perkampungan padat penduduk
Masjid Annur (Masjid Menyanan) hanya terlihat bagian atapnya karena dikelilingi gedung-gedung tinggi dan perkampungan padat penduduk

[Semarang elsaonline.com] Menelusuri jejak-jejak kejayaan Islam di Kota Semarang pada masa lampau tak pernah ada habisnya. Setiap sudut kota, terutama di Semarang Utara, Timur dan bagian Tengah hingga kini masih tersisa bangunan-bangunan kuno yang selalu menarik untuk diulas ceritanya.

Selain Masjid Kauman dan Masjid Layur yang selama ini diberitakan, terdapat pula Masjid Annur yang ada di Jalan Beteng Kampung Menyanan Kecil. Masjid ini tak kalah menariknya untuk dikaji. Jalan Beteng berada di kawasan Pecinan Semarang yang suasana orientalnya masih begitu terasa.

Di Kawasan Pecinan sendiri terdapat banyak gang yang namnya sangat unik. Di antaranya Gang Beteng, Gang Kranggan, Gang Pinggir, Gang Warung. Selain itu juga ada Gang Lombok, Gang Petudungan, Gang Baru, Gang Belakang, Gang Gambiran, Gang Tengah, Gang Besen, dan Jalan Wotgandul.

Masing-masing nama jalan tentunya mempunyai arti sejarah dan makna tersendiri. Gang Beteng sendiri konon diberi nama itu karena dekat dengan bangunan benteng yang melindungi rakyat. Di sepanjang gang ini, terdapat bangunan-bangunan tua berjejeran dengan gaya arsitektur Tionghoa.

Masjid An-Nur, oleh warga disebut masjid menyanan karena berada di Kampung Menyanan. Meskipun masjid ini berada di pojokan gang, namun semua warga tahu keberadaannya. Saat orang bertanya masjid menyanan pasti akan ditunjukan ke sebuah gang kecil yang hanya bisa dilalui sepeda motor dan pejalan kaki.

”Lurus saja, Mas. Nanti kanan jalan ada tulisan Masjid Menyanan dan tulisan Masjid Menyanan, Kampung Menyanan Kecil. Nah kira-kira 20 meter nanti ada masjid tingkat berukuran minim. Nah itu masjidnya,” tuduh seorang tukang parkir yang ada di Gang Beteng, saat dimintai keterangan lokasi masjid tersebut.

Baca Juga  Muda-Mudi Katolik Live In di eLSA

Sepanjang Jalan Gang Beteng penuh dengan kendaraan roda dua dan empat yang terparkir di pinggiran jalan. Maklum, gang ini merupakan pusat perdagangan yang selama ini menjadi urat nadi utama di kawasan Pecinan. Di trotoar jalan terdapat aneka makanan kuliner khas Cina dan Jawa.

Bau aneka masakan dan bakaran berbagai macam sate pun merebak sepanjang jalan. Tak jauh dari masjid itu juga terdapat klenteng-klenteng kecil sehingga bau dupanya masih sampai ke area masjid tersebut.

Menurut cerita warga RT1/RW1 Kelurahan Kauman Tengah, Ahmad Sholeh, konon masjid itu bekas petilasan Pangeran Diponegoro saat diburu tentara kolonial Hindia Belanda. Warga menyatakan itu atas dasar lokasi masjid yang berada di tengah perkampungan sempit dan dikelilingi tembok-tembok tinggi.

Karena itu cukup logis jika masjid itu digunakan untuk tempat persembunyian. “Kata orang-orang sih, kemungkinan masjid itu memang peninggalan Pangeran Diponegoro. Itu berdasarkan bukti ditemukannya sebilah keris di masjid tersebut. Namun kini keberadaan keris itu tak lagi diketahui, ya ndak tahu juga ada dimana sekarang” ujarnya.

Hanya Cerita

Namun, pendapat yang menyatakan bahwa masjid itu pernah digunakan untuk persempunyian Pangeran Diponegoro ditepis oleh sejarawan Semarang, Djawahir Muhammad. Dia menegaskan, tak ada literatur yang menyebutkan Pangeran Diponegoro singgah di Kota Semarang selama dalam kejaran Belanda.

”Pertama dari tahunnya, Pangeran Diponegoro itu ke daerah Semarang sekitar 1825-1830 an ya. Pada tahun itu memang mushola sudah berdiri. Namun tak ada literatur yang menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro pernah singgah di Semarang. Paling pernah singgah di Benteng Wiliam yang ada di Ambarawa,” ujarnya.

Pasca itu, katanya, Pangeran Diponegoro kemudian tertangkap Belanda. Selama dalam penangkapan itu, tuturnya, Pangeran Diponegoro memang pernah dibawa ke Semarang. Namun berada dalam kawalan ketata tentara Belanda. ”Jadi setahu saya gak pernah keluyuran di Semarang, karena tak lama langsung diasingkan juga,” tuturnya.

Baca Juga  Manusia, Agama dan Negara

Mantan korektor Koran Suara Merdeka ini menambahkan, masjid tersebut memang termasuk salah satu masjid tua di Kota Semarang. Ia memperkirakan masjid itu dibangun pada tahun 1600 an oleh sekelompok kecil warga Muslim Cina yang ada di daerah Pecinan.

”Jadi awalnya sekelompok masyarakat Cina Muslim yang berdomisili di situ dan membangun masjid. Itu sekitar tahun 1650-an kira-kira ya. Langgar itu lama-lama berkembang menjadi masjid. Awalnya memang yang beribadah di situ hanya orang Cina Muslim,” tambahnya.

Masjid tua ini pada tahun 1993 dirombak total menjadi bangunan bertingkat dengan dilengkapi kaligrafi yang indah di setiap sudut dindingnya. Satu-satunya bagian masjid tua ini yang masih dipertahankan keasliannya adalah 6 pilar tiang setinggi 2,5 meter.

Bagian bawah pilar tua itu telah ditutup dengan keramik sementara bagian atasnya nampak sudah terkelupas temboknya. Masjid itu saat menjadi persinggahan orang-orang yang merasa lelang bekerja.

Kala siang itu elsaonline berkunjung ke masjid tersebut, terdapat beberapa orang sedang tiduran di sudut-sudut masjid yang tak terlalu bersih itu. Naik di lantai dua, terdapat pula orang-orang dalam keadaan tertidur. Sebagian lagi sedang beristirahan melepas penat dari hiruk-pikuk pasar sekitar Pecinan.

Bagian atap lantai dua tampat belum selesai pengerjaannya. Di lantai dasar bagian dalam beberapa ubinnya sudah terkelupas. Itulah sedikit gambaran masjid Muslim Cina yang ada di kawasan Pecinan ini. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini