Oleh: Tedi Kholiludin
Pasar adalah ruang yang egaliter. Penjual dan pembeli beradu harga mencari kesepakatan. Sesekali pembeli menggerutu sembari menenteng barang yang dibeli. “Dasar Cina.” Namun sudah cukup disitu saja. Keesokan harinya ia kembali ke penjual yang sama.
Di pasar, penjual dan pembeli tak pernah mempertanyakan soal agama atau etnis. Asal barang bagus dan sesuai dengan yang dikehendaki, serta penjual mau melepasnya, maka terjadilah transaksi. Rumus di pasar hanyalah keuntungan dan pemenuhan akan kebutuhan.
Dalam “Man, Economy and State with Power and Market”, Murray N. Rothbard menempatkan bahasan masyarakat kontraktual (contractual society) ini dalam konteks tindakan interpersonal dan pertukaran sukarela (voluntary exchange).
Bentuk utama dari tindakan sukarela adalah pertukaran sukarela antar person. Seseorang memberikan sesuatu yang baik kepada yang lain, untuk ditukar hal baik dari orang lain pada dirinya. Rothbard menambahkan esensi dari pertukaran adalah kedua individu melakukan hal tersebut karena mereka berharap akan mendapatkan manfaat, jika tidak ada manfaat yang didapat, maka hal tersebut tidak akan dilakukan.
Jejaring dari hubungan interpersonal itu kemudian membentuk sebuah masyarakat, yang membentuk sebuah pola keterkaitan yang dikenal dengan pasar. Masyarakat yang hanya dibentuk oleh pasar mengandung apa yang oleh Rothbard disebut sebagai “unhampered market,” atau pasar bebas, sebuah pasar yang tidak dibebani oleh ganggguan kekerasan. Masyarakat yang didasarkan atas pertukaran sukarela itu disebut masyarakat kontraktual (contractual society).
***
Studi Jennifer Alexander (1999) tentang pola perdagangan di Jawa menyimpulkan bahwa orang Jawa terlibat dalam perdagangan, tetapi tidak dalam pemupukan modal. Mereka mungkin adalah pengusaha, tetapi bukan kapitalis. Kenyataan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masuknya mereka ke dalam pola perdagangan kecil itu bukan karenanya tidak adanya keinginan atau kemampuan, tetapi ada kesulitan praktis dalam menyesuaikan secara efektif perputaran keuangan dan tenaga kerja lain.
Pasar dimana mereka beroperasi tidak dibangun dalam konteks untuk membangun dan memudahkan peningkatan ekonomi yang kapitalistik. Posisi mereka sebagai bawahan dalam ekonomi koloni dan pascakolonial menyulitkan untuk membangun organisasi modern dan organisasi sosialnya tidak memiliki contoh hubungan yang hierarkis, dapat digali dan ekonomis.
Tubagus Svarajati pernah mengatakan tentang kultur masyarakat Semarang. Menurutnya, karena terpengaruh oleh kultur perdagangan, maka apapun yang dilakukan, harus memiliki value langsung, pragmatis, egaliter dan karenanya ia individualistik. Ia menambahkan, orang-orang Semarang jauh lebih individualistik dibanding dengan Solo dan Jogja yang bisa guyub.
***
Dengan begitu, masyarakat kontraktual bisa digambarkan dalam dua contoh kasus. Pertama, kontraktual yang bersifat vertikal. Hubungan antara atasan dan bawahan seperti dalam kasus orang-orang Jawa yang bekerja pada keluarga Tionghoa adalah contohnya. Disini kesepakatan terjadi, dan masing-masing mengambil keuntungan atas kesepakatan yang telah dibuatnya. Namun, bawahan tetap dalam posisinya sebagai bawahan. Ada hierarkis, dan karenanya, mereka tidak egaliter.
Kedua, sifat kontraktual yang horisontal. Pasar, seperti gambaran yang diulas diatas, adalah contoh tepat tentang hal ini. Pasar adalah contoh nyata mengenai sebuah lanskap dimana semua yang ada terfasilitasi secara sama. Tidak ada atasan dan begitu juga bawahan. Etnisitas dan agama bukanlah isu penting disini. Mungkin ada persaingan antara pedagang Tionghoa dengan Arab misalnya. Tapi dalam urusan yang bersifat transaksional, semuanya mendapatkan ruang yang sama.