Dialog antarumat beragama di Indonesia tentu sudah terjadi sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, karena dialog bisa diartikan sebagai sebuah pertemuan kehidupan dengan orang yang berbeda. Pembahasan tentang dialog di Indonesia dibatasi sejak 1969, atau sejak dialog antarumat beragama mendapat bentuk lebih terorganisir.
Aktor dialog antarumat beragama di Indonesia bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok; pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga akademik (perguruan tinggi).
Tahun 1969 dibuat satu aturan tentang pelaksanaan aparatur pemerintah tentang agama, dialog pada tahun ini menjadi riil yang dubutuhkan karena ketegangan antara Islam-Kristen, dialog lebih diskursif ketika Mukti Ali menjadi menteri Agama, yang basicnya adalah seorang sarjana.
Tercatat dalam sejarah Indonesia, bahwa dialog antarumat beragama yang diparkasai oleh pemerintah lebih pada respon atas konflik yang terjadi di masyarakat. Seperti musyawarah antaragama yang diselenggarakan pemerintah pada 30 November 1967 di Jakarta, pertemuan ini dipimpin oleh Menteri Agama, K.H.M. Dachlan, dihadiri sekitar 20 tokoh muslim, protestan dan Katolik.
Pertemuan ini sesuai sambutan Soeharto, memang merespon atas ketegangan dan konflik agama yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Pertemuan ini tidak menghasilkan sesuatu kesepakatan antarumat beragama mengenai dakwah kepada penganut agama lain.
Mulai dari pertemuan inilah kemudian pemerintah memperkenalkan peraturan tambahan mengenai hubungan antarumat beragama dan menjadi titik tolak munculnya peran pemerintah dalam dialog antaumat beragama untuk sebuah kerukunan. Kerukunan pada masa ini masih dimaknai atau dipahami sangat sempit, yakni menagan diri dari dari membujuk penganut agama lain untuk masuk ke agamanya sendiri.
Selanjutnya pada masa Menteri Agama Mukti Ali (1972-1978) istilah kerukunan tersebut kemudian berkembang menjadi agree in disagremeement (setuju dalam perbedaan). Konsep ini menyesuaikan dengan keinginan pemerintah pada masyarakat untuk melupakan perbedaan dan lebih fokus pada kepentingan bersama yaitu pembangunan bangsa. Dari upaya yang dilakukan oleh Mukti Ali tidak luput dari kritik yang disampaikan beberapa kalangan, mereka menganngap konsep yang ditawarkan hanya menyentuk level politis dan psikologis masyarakat.
Setelah Mukti Ali, Orde Baru kemudian menunjuk Alamsyah Prawiranega (1978-1983) yang notabene seorang militer sebagai Menteri Agama. Orde Baru yang menginginkan terwujudnya Indonesia sebagai negara industri menuntut kestabilan sosial, dan Alamsyah lah yang dianggap orang yang tepat dalam kestabilan bidang agama.
Menurut Suhadi, tahun 1978, pada masa alamsyah diskusi akademik sangat berkurang, dan yang ada hanya peraturan-peraturan. Dia mengeluarkan trilogi kerukunan umat beragama, yang menjadi peraturan untuk kestabilan pembangunan negara.
Pada masa inilah muncul wadah musyawarah antar-umat beragama pertama kalinya, melalui SK No. 35/1980. Wadah tersebut terdiri dari para pemimpin organisasi keagamaan (MUI, MAWI, DGI, Walubi dan PHDI) yang kemudian menyetujui untuk mendandatangani pedoman dasar bagi hubungan antarumat beragama.
Sampai tahap ini, penulis mencoba merespon atas terbuntuknya beberapa lembaga keagamaan yang telah dibentuk oleh pemerintah pada masa itu. Terlihat dari target yang ingin dicapai orde baru demi menjadi Indonesia sebagai negara Industri, maka membutuhkan kestabilan sosial dari semua aspek termasuk agama. Maka kemudian sebenarnya belum terjadi proses dialog yang berdasarkan atas kesadaran masyarakat beragama, melainkan lebih mengarah pada ‘pemaksaan simbolis’ untuk sebuah kedamaian/kestabilan sosial.
Tentu saja penulis mengamini kritik yang disampaikan Djohan Effendi yang mengkritik proses dialog pada masa Mukti Ali dan Almasyah, Mukti Ali percaya bahwa kerukunan antarumat beragama harus dilakukan melalui dialog, sedangkan Alamsyah menekankan pada pentingnya dialog melalui penciptaan peraturan.