Oleh: Denni Pinontoan
Staf Pengajar di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon, Sulawesi Utara
Bagaimanapun, agama (-agama) itu adalah salah satu gejala dan produk kebudayaan. Kalaupun dipahami bahwa agama adalah cara manusia berhubungan dengan Sang Ilahi sehingga dipercayai agama itu turun dari surga, itu mungkin hanya ada di masa awal sejarahnya. Dan, yang mengalami itu hanya satu dua atau segelintir orang. Itu agama sebagai idealisme yang normatif. Sebagai bahasa iman dan tanggapan teologis. Sesungguhnya, agama tidak sekadar surga.
Sebagai produk dan gejala kebudayaan, agama memiliki tugas luhur, yaitu agar manusia bisa hidup dalam kedamaian dan perdamaian, mulai dari diri sendiri, dengan sesama, dengan alam, dan itu merefleksikan perdamaiannya dengan Sang Ilahi. Tapi, justru karena ia sebagai bagian dari kebudayaanlah yang memungkinkan agama menjadi ‘jahat.’ Sungguh paradoks.
Di zaman sekarang, agama (-agama) sudah dipakai sebagai alat atau simbol untuk perjuangan ideologi dan politik: dengan cara kekerasan, penyesatan, arogansi, proselitisme hingga untuk keuntungan finansial. Dengan penuh kebohongan, perjuangan itu diistilahkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam agama sebagai “perjuangan di jalan Allah”, “pelayanan untuk keselamatan”, dan “usaha memberadabkan”.
Apa yang dari sorga dengan penampilan agama seperti itu?
Sekarang ini, tampaknya, agama-agama semakin kering dengan kepedulian, solidaritas, kasih dan perdamaian. Padahal, hal-hal itulah yang mestinya terus diperjuangkan oleh agama-agama untuk mempertahankan statusnya sebagai entitas “dari sorga.”
Sebagai sebuah gejala kebudayaan, agama (-agama) tidak bebas dari kepentingan untuk berkuasa, selain memang ada yang menggunakannya untuk memahami kehadiran diri secara bijaksana di tengah dunia yang terus bergolak.
Dengan memahami bahwa agama-agama adalah produk dan gejala kebudayaan, maka ia mestinya jangan pernah menjadi ‘mutlak.’ Agama selalu berubah seiring cara pemaknaan manusia tentang kehidupan itu yang terus berubah mengikuti perubahan dinamika konteks.
Dengan memahami agama sebagai gejala kebudayaan, maka selalu terbuka untuk mendiskusikan, menginterpretasi dan mengkreasikan agama demi tugas luhurnya memperjuangkan keadilan, kasih dan perdamaian. Selebihnya, dengan demikian agama dapat dipakai sebagai pintu masuk untuk hidup akrab dengan budaya warisan leluhur.